Pemerintah Itu Wifi Mati

Baca Juga

Malut, Investigasi.news – Penulis menyampaikan Kritik Kepada Pemda Sula dalam Logika Mad Hatter, “Pemerintah itu seperti WiFi mati, ada tapi bikin frustrasi. Lampunya menyala, sinyalnya nihil, dan setiap kali rakyat mencoba konek, yang muncul cuma loading panjang penuh harapan palsu”.

Dalam dunia politik lokal yang kian kompleks, seringkali kita terjebak dalam absurditas yang menyerupai dunia fiksi. Andaikan kita semua adalah Mad Hatter, tokoh nyentrik dalam Alice in Wonderland yang hidup dalam logika terbalik dan pesta tanpa akhir, barangkali kita akan memahami kondisi Kepulauan Sula dengan cara yang lebih jujur. Mad Hatter menjadi metafora dari sistem yang kacau, penuh kesenjangan antara harapan dan realitas, dan diwarnai oleh kepentingan yang saling tumpang tindih. Ketika DPRD dan Pemda yang seharusnya menjadi institusi rasional justru bersekutu dalam ketidakteraturan, maka masyarakat akan terus menjadi penonton dalam panggung ketidak warasan politik.

Infrastruktur: Pembangunan Setengah Hati yang Mengakar Masalah

Salah satu ironi terbesar adalah bagaimana proyek-proyek infrastruktur lebih sering berorientasi pada pencitraan ketimbang kebutuhan rakyat. Papan proyek berdiri megah di pinggir jalan, namun di baliknya hanya ada kerangka tak selesai atau jalan setengah cor. Ketika rakyat mengeluh, pejabat bersembunyi dibalik alasan teknis dan keterbatasan anggaran, padahal anggaran itu sendiri telah dipatok dengan logika politik, bukan logika kebutuhan.

Lebih parah lagi, infrastruktur yang gagal ini tak pernah benar-benar diaudit. Tak ada pertanggung jawaban yang jelas, hanya rotasi proyek dan aktor yang terus berulang dalam siklus yang sama. Mereka yang gagal di satu proyek justru kembali mendapat proyek lain di tahun berikutnya. Seolah-olah kegagalan adalah bagian dari sistem, bukan kesalahan yang harus diperbaiki.

Dalam logika Mad Hatter, semua ini adalah bagian dari pesta: semua orang duduk di meja, berganti tempat, minum dari cangkir berbeda tapi isinya tetap kosong. Infrastruktur kita mengalami hal yang sama hanya berganti nama dan lokasi, tapi kualitasnya stagnan. Dan rakyat? Mereka disuruh bersyukur karena “setidaknya ada pembangunan”.

Infrastruktur mestinya menjadi indikator utama pembangunan. Namun di Kepulauan Sula, proyek infrastruktur tampak seperti tambalan dari pada fondasi. Jalan kabupaten banyak yang rusak parah, jembatan penghubung desa rapuh, dan proyek air bersih sering mandek. Dalam APBD, sektor ini mendapat porsi anggaran signifikan, tapi realisasi di lapangan jauh dari kata layak.

Relasi antara DPRD dan Pemda yang harusnya kritis justru menjelma jadi persekongkolan dalam alokasi proyek. Banyak proyek diberikan tanpa perencanaan yang matang dan minim pengawasan. Kontraktor yang dekat dengan elite politik mendapat prioritas, sementara desa-desa yang tidak “strategis secara politik” terus dibiarkan tertinggal.

Mad Hatter akan menyebut ini logika pembangunan terbalik: proyek dimulai bukan dari kebutuhan rakyat, melainkan dari kebutuhan kekuasaan. Hasilnya, rakyat hanya mendapat infrastruktur ala kadarnya yang rusak sebelum sempat dimanfaatkan maksimal. Pembangunan yang seharusnya memperkuat konektivitas justru mempertegas ketimpangan.

Pendidikan: Sekolah Tanpa Arah, Guru Tanpa Dukungan

Kurikulum yang berubah-ubah tanpa kesiapan, buku pelajaran yang datang telat, dan guru honorer yang gajinya tak sebanding dengan tanggung jawab, semua ini memperlihatkan bahwa sistem pendidikan kita tidak pernah diperlakukan sebagai prioritas strategis. Di balik narasi “pembangunan SDM”, tidak ada roadmap yang jelas untuk mencapai itu.

Anak-anak di desa hanya menjadi angka dalam laporan. Kehadiran mereka penting untuk data, tapi bukan untuk masa depan. Mereka belajar dalam kondisi minim fasilitas, dengan harapan yang kian menipis. Ketika kelulusan datang mereka dihadapkan pada realitas bahwa pendidikan mereka tidak cukup untuk bersaing atau bahkan bertahan.

Mad Hatter barangkali akan menyebut ini sekolah tanpa waktu terus berlangsung tapi tidak bergerak. Ujian datang dan pergi, kepala sekolah berganti, guru-guru datang dari luar lalu pulang karena tak kuat dengan kondisi. Pendidikan di Sula adalah jam rusak yang terus berdentang tanpa arah.

Pendidikan seharusnya menjadi tulang punggung kemajuan daerah. Namun di Kepulauan Sula, ia justru seperti panggung teatrikal tampak sibuk dipermukaan, kosong didalam. Banyak sekolah belum memiliki fasilitas dasar yang memadai. Guru sering ditempatkan tanpa kejelasan sistem pembinaan. Bahkan, tidak sedikit siswa di desa terluar belajar di kelas darurat atau bergantian menggunakan ruang.

DPRD hanya menjadi penyetempel kebijakan anggaran tanpa melakukan evaluasi mendalam. Pemda membanggakan pembangunan fisik sekolah, namun abai terhadap mutu pengajaran dan kesejahteraan guru. Tidak ada standar kualitas yang diterapkan, tidak ada sistem penilaian berbasis capaian belajar, dan pelatihan guru hanya formalitas belaka.

Seperti pesta teh Mad Hatter, sektor pendidikan dipenuhi simbol dan kebisingan, tapi miskin substansi. Rakyat dibuat seolah-olah sedang menikmati kemajuan, padahal yang terjadi hanyalah stagnasi dalam bentuk yang lebih rapi. Pendidikan dibiarkan menjadi ruang absurd di mana realita dan narasi tak pernah bertemu.

Jaringan Internet: Sinyal Lemah, Janji Kuat

Pemda kerap memamerkan jargon “Sula Bahagia”, tapi tak satu pun programnya mengakar di kebutuhan warga. Pendaftaran daring, sistem absensi digital, hingga layanan kesehatan berbasis aplikasi semuanya hanya bisa diakses jika sinyal tersedia. Di desa-desa pesisir, anak-anak masih harus mendaki bukit demi mengirim tugas sekolah.

Tidak sedikit program pemerintah pusat yang gagal karena Pemda tidak siap secara teknis. Alih-alih membangun menara sinyal atau menjalin kerja sama dengan penyedia layanan, Pemda justru lebih sibuk membeli perangkat tanpa memastikan konektivitasnya. Ini seperti membagikan kompor listrik di desa tanpa listrik: alatnya ada, gunanya nihil.

Dan dalam pesta logika Mad Hatter, janji adalah suguhan utama. “Tahun depan kita akan tambah bandwidth”, “Akan ada WiFi gratis untuk desa”, “Akan dibangun BTS baru” semuanya hanya bagian dari menu kata-kata yang disuguhkan setiap tahun. Tapi seperti teh di cangkir Mad Hatter, semua itu sudah basi bahkan sebelum diseruput.

Di era digital, akses internet bukan lagi kemewahan, tapi kebutuhan mendasar. Sayangnya, di Kepulauan Sula, koneksi internet adalah kemewahan yang hanya dinikmati sebagian kecil wilayah. Sementara pemerintah berbicara tentang digitalisasi pelayanan publik dan pendidikan daring, kenyataan di lapangan justru bertolak belakang.

Pemda dan DPRD tidak memiliki peta jalan tentang penguatan infrastruktur telekomunikasi. Bantuan perangkat digital diberikan ke sekolah-sekolah, namun tanpa jaminan jaringan internet yang stabil. Desa-desa hanya mengandalkan satu-dua titik WiFi publik yang seringkali tidak berfungsi.

Ini adalah simbol paling jelas dari logika WiFi mati, infrastruktur ada tapi tidak bisa diakses. Sinyalnya kosong, harapannya besar. Rakyat dibuat percaya bahwa mereka sedang masuk ke era digital, padahal mereka masih hidup dalam keterisolasian informasi. Dan lebih celakanya pemerintah menganggap ini sebagai kemajuan.

Sudah saatnya kita mengakhiri pesta gila ini, kita tidak bisa terus-menerus dipimpin oleh sistem yang menganggap absurditas sebagai kelaziman. DPRD harus kembali ke fungsi awalnya sebagai corong rakyat. Pemda harus menjalankan mandat eksekutif dengan akuntabilitas dan visi jangka panjang. Rakyat harus mengambil peran lebih aktif dalam pengawasan dan partisipasi kebijakan.

Kita tidak sedang kekurangan potensi, kita hanya kekurangan sistem yang waras. Jika ingin perubahan nyata, maka kita harus mulai dari menyadari betapa rusaknya logika yang saat ini memimpin kita. Jangan biarkan logika Mad Hatter menjadi fondasi politik daerah. Mari bangun koneksi baru bukan hanya internet, tapi antara rakyat dan kekuasaannya.

31 Mei nanti kita akan mengucapkan Dirgahayu Kabupaten Kepulauan Sula. Umur boleh bertambah, tapi jangan biarkan ketimpangan ikut menua. Jalan masih berlubang, sinyal masih hilang, janji masih menggantung. Apa yang urgen untuk dirayakan?

Oleh: Gahral Umasugi, S.IP (Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta).

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest

More articles