Malut, Investigasi.news – Tanggal 2 Mei kembali kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Sebagai warga negara yang lahir dan tumbuh dalam sistem pendidikan negeri ini, kemudian sebagai orang tua, sekaligus bagian dari komunitas lokal, saya menyambut peringatan ini dengan rasa hormat sekaligus perenungan. Tahun ini, tema yang diangkat: “Partisipasi Semesta Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”, secara konseptual terasa megah, namun dalam prakteknya saya bertanya: apakah ini sudah menjadi fakta di lapangan, atau masih sekadar retorika tahunan?
Saya mengikuti upacara Hardiknas di MAN 1 Kepulauan Sula, dan seperti biasa, ada nuansa khidmat, semangat kebangsaan, dan pesan-pesan moral dari Pimpinan. Anak-anak sekolah, Guru dan Pegawai tampil dalam pakaian adat, lagu-lagu nasional dikumandangkan, dan pidato Menteri Pendidikan dibacakan dengan penuh keyakinan. Tapi sebagai warga yang hidup di daerah, saya sadar bahwa makna dari “partisipasi semesta” itu masih jauh dari konkret.
Mari kita tengok kenyataan. Di Kepulauan Sula tempat saya tinggal, akses pendidikan masih belum merata. Ada sekolah yang tak punya fasilitas dasar memadai—atap bocor, toilet rusak, ruang belajar sempit. Banyak guru honorer yang digaji di bawah standar hidup layak. Di sisi lain, anak-anak harus berjuang menyeberangi sungai dikala banjir atau berjalan kaki hanya untuk bisa mengenyam pendidikan.
Jika benar ini adalah “partisipasi semesta”, maka seharusnya negara, masyarakat, dunia usaha, dan seluruh pemangku kepentingan hadir, bergerak bersama. Tapi faktanya, sebagian besar beban pendidikan masih bertumpu pada guru dan orang tua. Perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di daerah tidak semua terlibat dalam tanggung jawab sosial pendidikan. Bahkan, kadang pemerintah pun lebih sibuk mengatur laporan dan angka statistik daripada merasakan denyut kebutuhan di lapangan.
Saya tidak ingin bersikap sinis. Tema besar ini sebetulnya bisa menjadi jalan pembuka. Ia bisa menjadi motor penggerak bila dijalankan dengan niat tulus dan langkah konkret. Tapi hingga hari ini, kita belum melihat “partisipasi semesta” itu sebagai fakta luas. Banyak pihak masih menjadi penonton dalam urusan pendidikan, bukan pelaku. Masyarakat mengeluh, dunia usaha abai, dan elite kebijakan kadang terlalu birokratis.
Lalu, bagaimana menjadikannya fakta? Jawabannya adalah aksi konkret dari semua lini. Pemerintah daerah harus berani memprioritaskan anggaran pendidikan dengan bijak dan tepat sasaran. Dunia usaha bisa mulai dengan program beasiswa atau pembangunan sekolah di sekitar operasional mereka. Masyarakat sipil, termasuk tokoh agama dan pemuda, bisa membangun budaya literasi lokal. Dan kita sebagai orang tua, bisa memperkuat komunikasi dengan guru dan sekolah, mendampingi anak-anak belajar tanpa sekadar menyalahkan sistem.
Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah momen untuk jujur, mengakui kekurangan, dan memulai langkah baru. Tema besar seperti “partisipasi semesta” tidak boleh hanya berhenti di baliho dan pidato. Ia harus menjelma menjadi aksi kolektif: nyata, terukur, dan menyentuh langsung kehidupan anak-anak bangsa—terutama mereka yang selama ini belum tersentuh oleh janji-janji pembangunan pendidikan.
“Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025. Mari perkuat partisipasi bersama dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu, inklusif, dan berkeadilan bagi seluruh anak bangsa.”
Oleh: Mohtar Umasugi (Akademisi Kepulauan Sula).