Di tengah arus globalisasi dan keterbukaan informasi, muncul sebuah bentuk organisasi yang mencoba menolak tatanan negara: Anarko – Anarkis Sindikalis. Ini adalah gerakan yang menolak struktur kekuasaan formal, mengabaikan aturan hukum negara, dan bertumpu pada prinsip kebebasan tanpa batas.
Gerakan ini mulai menunjukkan geliatnya di Indonesia sekitar tahun 2016. Menariknya, momen ini beriringan dengan langkah strategis Pemerintah Republik Indonesia dalam mengakuisisi lebih dari 50% saham PT Freeport Indonesia — tonggak penting dalam mengembalikan kedaulatan ekonomi nasional.
Namun, di balik capaian tersebut, muncul dinamika baru. Gerakan Anarko di Indonesia mengakar pada kelompok-kelompok buruh yang merasa terpinggirkan. Mereka digiring pada narasi kebebasan bekerja tanpa intervensi aturan negara. Tujuannya bukan semata menuntut keadilan, namun untuk menciptakan kegelisahan sosial — agar iklim investasi menjadi tidak kondusif, pengusaha hengkang, dan investor menarik diri.
Dampaknya sangat sistemik: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang berujung pada ketidakpercayaan buruh terhadap pemerintah yang sah secara konstitusi. Kekacauan (chaos) menjadi lahan subur bagi kepentingan-kepentingan asing yang terorganisir rapi di balik tirai organisasi rahasia dunia — dikenal sebagai Iluminati ekonomi tangga 13. Tujuan mereka jelas: menguasai sektor-sektor vital Indonesia, mulai dari keuangan hingga pertambangan.
Inilah bentuk serangan A simetris yang nyata. Jika kita sebagai bangsa tidak peka terhadap dinamika persaingan ekonomi — baik makro maupun mikro — kita akan mudah terjebak dalam narasi “itu bukan urusan kita”. Padahal, narasi tersebut menjadi senjata ampuh agen-agen asing untuk menyudutkan pemerintah dari tingkat daerah hingga pusat.
Indonesia bukan hanya tanah kelahiran kita, tapi juga rumah besar yang harus kita jaga bersama. Mari lebih waspada, cerdas memilah informasi, dan tidak terprovokasi oleh gerakan-gerakan yang mengusung kebebasan semu tanpa fondasi nasionalisme.
Tulisan singkat ini saya persembahkan sebagai ajakan untuk membuka mata, bahwa kita hidup dan
bernafas di Indonesia – negeri yang harus kita jaga bersama.
Salam Rahayu.
Oleh: Yuli Suharyono
Ketua Lembaga Jepara Membangun (LJM)
Editor : Petrus