Oleh : Y. Tabaika/ Korlip Nasional Investigasi.news
Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif di Pulau Taliabu kini sedang diuji setelah munculnya dugaan lima anggota DPRD yang mengantongi anggaran reses tanpa melaksanakan kewajibannya. Reses, yang seharusnya menjadi sarana menyerap aspirasi rakyat, justru menjadi formalitas yang tidak membawa perubahan berarti bagi mereka yang menaruh harapan.
Kasus ini seakan mengingatkan kita pada istilah “ada uang ada suara” yang sering kali terdengar dalam politik praktis. Apakah ini mencerminkan praktik politik yang lebih mengutamakan keuntungan pribadi ketimbang melayani rakyat yang telah memberikan suara? Atau, bisa jadi ini adalah pembalasan terhadap rakyat yang suara mereka telah “dibeli” dalam proses politik?
Dugaan ketidaklaksanaan reses oleh lima anggota DPRD Kabupaten Pulau Taliabu – Amrin Yusril Angkasa, Dinan Budaya, Meilan Mus, Ibrahim La Imu, dan Muhammad Alnajib Sarihi – adalah bukti nyata bahwa wakil rakyat tersebut lebih sibuk mengantongi anggaran tanpa memberikan manfaat kepada masyarakat. Padahal, reses adalah kewajiban mereka untuk turun ke lapangan dan mendengarkan aspirasi rakyat di daerah pemilihan masing-masing.
Ketua DPRD Pulau Taliabu, Muhammad Nuh Hasi, telah mengonfirmasi bahwa kelima anggota tersebut menerima anggaran reses, namun tidak melaksanakan kegiatan tersebut. Hal ini jelas menambah kekecewaan masyarakat, yang berharap agar uang negara yang mereka bayar melalui pajak dapat dipergunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi para wakil rakyat.
Sikap ini semakin memperburuk citra DPRD Pulau Taliabu di mata masyarakat. Dapatkah kita menilai bahwa anggota DPRD ini hanya mengejar anggaran dan tidak peduli dengan amanat rakyat? Tindakan ini berpotensi memperdalam jurang ketidakpercayaan publik terhadap lembaga legislatif, yang pada gilirannya dapat memperburuk iklim politik di daerah tersebut.
Perilaku seperti ini semakin menunjukkan betapa pentingnya ketegasan dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang terjadi. Masyarakat perlu melihat bahwa lembaga legislatif tidak hanya berfungsi sebagai tempat pembuatan kebijakan, tetapi juga sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap rakyat yang telah memilih mereka.
Pertanyaannya kini, apakah ini adalah dampak dari praktik politik yang lebih mengutamakan transaksi suara daripada kepentingan publik? Atau, apakah ini merupakan cara untuk “membalas” rakyat yang telah memberikan suara mereka dengan imbalan yang tidak sesuai harapan? Dalam kedua kasus tersebut, yang paling dirugikan adalah rakyat kecil yang berharap pada perubahan.
Kini, saatnya bagi DPRD dan partai politik untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap integritas dan pelayanan publik yang sesungguhnya. Jika tidak, citra DPRD Pulau Taliabu akan semakin tercoreng, dan kepercayaan rakyat akan semakin hilang.