Tapteng, Investigasi.News – Dugaan pencemaran lingkungan oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik PT. Dalanta Marsada Sukses (DMS) kembali mencuat. Temuan lapangan oleh Komisi C DPRD Tapanuli Tengah (Tapteng) yang dipimpin Ketua Fraksi PDIP, Famoni Gulo, dalam kunjungan kerja ke pabrik tersebut pada 26 Mei 2025 mengungkap potensi pencemaran akibat limbah sisa produksi.
Tim wartawan Investigasi.News mencoba menelusuri lebih jauh dengan mendatangi sejumlah instansi pemerintah, termasuk Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PMPPTSP) Kabupaten Tapteng. Namun, hasilnya justru memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tapteng, Erniwati Batubara, melalui Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup (P2KLH), Togu Hutajulu, mengklaim bahwa limbah buangan dari PT DMS telah memenuhi standar. Pernyataan ini berdasarkan dokumen hasil uji laboratorium yang dikirimkan pihak perusahaan setiap semester.
“Kita hanya sekali turun ke lapangan pada tahun 2023. Setelah itu, kita hanya menerima hasil uji laboratorium dari perusahaan setiap semester,” ujar Togu saat ditemui wartawan.
Ironisnya, ketika diminta untuk menunjukkan atau memberikan salinan dokumen hasil uji limbah tersebut, Togu enggan menyerahkannya dengan alasan “rahasia perusahaan.” Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan independensi verifikasi yang dilakukan DLH.
Kunjungan wartawan ke Dinas PMPPTSP Tapteng pada Rabu, 3 Juni 2025, juga menemui kebuntuan. Sekretaris Dinas Irwansyah Putra dan Kabid Perizinan Jinto Siburian menyatakan bahwa PT DMS telah memiliki seluruh izin yang diperlukan. Namun, keduanya menolak menunjukkan dokumen izin tersebut.
“Surat ini tidak bisa difotokopi, difoto, atau direkam karena merupakan dokumen penting perusahaan,” ucap salah satu pejabat dengan nada tegas.
Sikap tertutup ini menimbulkan kecurigaan baru. Jika izin dan pengelolaan limbah perusahaan telah sesuai aturan, mengapa kedua instansi menolak memberikan akses terhadap dokumen publik yang seharusnya bisa diverifikasi?
Indikasi Lemahnya Pengawasan dan Transparansi
Mengacu pada regulasi nasional, pengelolaan limbah industri diatur sangat ketat. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 22 Tahun 2021, dan Permen LHK No. 5 Tahun 2021 dengan jelas menetapkan kewajiban pelaku usaha dalam menangani limbah berbahaya.
Limbah PKS dikenal berpotensi mencemari tanah, air, dan udara serta membahayakan kesehatan manusia. Pengawasan ketat dan keterbukaan informasi adalah keharusan, bukan pilihan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan minimnya inspeksi dan lemahnya transparansi dari lembaga yang seharusnya menjadi pengawas utama.
Pertanyaan Besar untuk Pemerintah Daerah
- Mengapa DLH hanya sekali turun ke lapangan dalam dua tahun terakhir?
- Mengapa hasil uji limbah hanya berdasarkan laporan internal perusahaan?
- Mengapa dokumen izin lingkungan tidak bisa diakses publik?
- Apakah ada pembiaran sistemik terhadap potensi pencemaran oleh PT DMS?
Publik berhak tahu dan mendapatkan kejelasan. Jika dugaan pencemaran benar adanya, maka ini bukan hanya soal pelanggaran administratif, tapi juga ancaman serius terhadap ekosistem dan kesehatan masyarakat Tapanuli Tengah.
Kasus ini menggarisbawahi perlunya audit menyeluruh terhadap perizinan dan operasional PT DMS serta peninjauan ulang terhadap pengawasan yang dilakukan DLH. DPRD, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil didesak untuk tidak diam dan segera turun melakukan verifikasi independen.
Transparansi bukan musuh investasi. Justru sebaliknya, keterbukaan dan kepatuhan hukum adalah fondasi investasi berkelanjutan. Jika benar PT DMS tak bersalah, maka mereka tak perlu menyembunyikan dokumen.
Tapanuli Tengah butuh industri yang taat hukum, bukan yang sembunyi di balik kertas berstempel dan “rahasia perusahaan.”
Wr. Warasi