Penjual Donat itu Pernah Ditolak Berdonasi

More articles

Sedekah bukanlah soal seberapa besar isi dompet kita, melainkan seberapa luas hati kita untuk berbagi. Rezeki sudah diatur Allah dengan sangat rapi, dan dari sanalah muncul ajakan agar kita tak menunggu kaya untuk bersedekah.

Suatu hari, saya menerima pesan WhatsApp dari seorang perempuan. “Pak, ini saya P. Betul pondok Pesantren Alquran Darul Inqilabi Lubukbasung yang Bapak pimpin menjalankan puasa Senin dan Kamis?” Saya jawab, “Benar, Buk. Ada apa, ya?” Ia membalas, “Saya mau berdonasi donat, Pak, untuk berbuka puasa santri.” Saya langsung menjawab, “Alhamdulillah. Toko Ibu di mana?” Ia menjawab jujur, “Saya belum punya toko, Pak. Masih jualan keliling ke kantor-kantor.” Jawabannya membuat saya terdiam sejenak, kagum.

Hari Senin berikutnya, Ibu P menghubungi bahwa ia akan mengantar donat ke pondok. Saya menyambut kabar itu dengan syukur. Ia datang naik ojek dan saya tak sempat bertemu. Namun yang membuat saya takjub, donat yang dibawa cukup banyak, hingga setiap santri mendapat tiga buah. Hari Kamisnya, kami akhirnya bertemu. Saya ucapkan terima kasih, dan beliau hanya tersenyum, “Iya, Pak.”

Sebelum pulang, saya sempat bertanya, “Sudah banyak langganan, Buk?” Ia tertawa kecil. “Belum, Pak. Kadang hanya laku satu kotak sehari, kadang dua. Tapi mohon doa dari anak-anak pondok ya, Pak. Mudah-mudahan makin banyak langganan dan saya bisa terus berdonasi tiap Senin dan Kamis.”

Saya sempat khawatir dan bertanya, “Kalau belum banyak langganan, kenapa masih terus berdonasi? Apa nggak rugi?” Jawabnya pelan, tapi penuh keyakinan, “Rezeki santri sudah ada jalannya, Pak. Saya percaya, rezeki dari Allah itu tidak akan tertukar.”

Waktu berlalu. Donat buatan Bu P semakin laris. Awalnya ia keliling sendiri, kini sudah menggunakan jasa kurir. Pembeli terus bertambah, langganan juga makin banyak. Pada Desember 2022, ia menelepon saya lagi. Ternyata beliau ingin membeli mobil dan meminta bantuan untuk mencarikan. Ia dulu pernah ngaji dengan istri saya semasa SMA.

Saya pun menghubungi beberapa kenalan di Padang dan akhirnya menemukan mobil yang cocok. Bersama anak dan staf kantor, saya menemani beliau dan keluarganya melihat mobil tersebut. Setelah cocok, langsung dibayar uang muka dan keesokan harinya mobil itu resmi jadi miliknya.

Kami semua di pondok turut bahagia. Kini jika hujan, Bu P bisa antar donat dengan mobil. Tapi yang lebih membanggakan, semangat sedekahnya tidak pernah surut. Ia bahkan sering menyumbangkan nasi untuk berbuka dan berdonasi saat Ramadhan. Ketika saya bilang, “Bu, mungkin cukup berdonasi seminggu sekali saja, biar nggak berat,” ia menolak dengan halus. “Saya ingin tetap sedekah Senin dan Kamis, Pak. Itu nazar saya.”

Dan begitulah Allah membuktikan janji-Nya. Rezeki Bu P mengalir dari arah yang tak disangka-sangka. Ketulusan hatinya mengantarkan berkah yang bahkan melebihi doa-doanya sendiri.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa sedekah bukan soal kemampuan, tapi soal kemauan. Bukan soal siapa yang paling banyak harta, tapi siapa yang paling ikhlas memberi. Rezeki memang tak pernah salah alamat. Yang penting, kita berani melangkah dan tak pernah lelah percaya.

Oleh: Hasneril, SE

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest