Dogma dan Fanatisme: Refleksi atas Realitas Politik di Kepulauan Sula

Baca Juga

Malut, Investigasi.news – Dalam dinamika politik di Kabupaten Kepulauan Sula-Maluku Utara, kita sering menyaksikan bagaimana dogma dan fanatisme telah menggerus logika masyarakat dalam menentukan pilihan. Bukan lagi pertimbangan rasional yang mendominasi, tetapi keyakinan buta yang diwarisi turun-temurun, seakan menjadi doktrin yang tak terbantahkan.

Sebagai masyarakat yang hidup dalam alam demokrasi, seharusnya kita menggunakan akal sehat dan logika dalam memilih pemimpin. Sayangnya, di Sula, politik lebih sering dikendalikan oleh sentimen emosional, loyalitas kelompok, dan bahkan ikatan genealogis yang kuat. Alih-alih menilai calon pemimpin berdasarkan kapasitas, integritas, dan visi mereka untuk daerah ini, banyak di antara kita yang masih terjebak dalam pola pikir “asal dari kelompok kami, pasti baik.”

Fanatisme politik di Sula juga menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar antar sesama warga. Perbedaan pandangan politik seharusnya menjadi ruang untuk berdiskusi dan mencari solusi terbaik bagi daerah ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—perbedaan itu dijadikan alasan untuk saling mencaci, bahkan memutus hubungan kekerabatan. Mereka yang mencoba bersikap netral atau berpikir kritis sering kali dianggap sebagai pengkhianat, bukan sebagai warga yang ingin melihat kemajuan daerahnya.

Dogma politik yang diwariskan dari generasi ke generasi juga memperkuat sikap pasif terhadap perubahan. Banyak yang berpikir bahwa keadaan tidak akan pernah berubah, karena yang berkuasa akan selalu mempertahankan status quo. Padahal, perubahan hanya bisa terjadi ketika masyarakat berani melawan fanatisme yang membutakan dan mulai berpikir secara objektif.

Saya sering merenungkan, mengapa banyak orang lebih memilih berpegang teguh pada keyakinan tertentu tanpa mau membuka diri terhadap perspektif lain? Seolah-olah mereka telah menemukan “kebenaran mutlak” yang tidak boleh diganggu gugat. Dalam kondisi seperti ini, logika dan daya kritis seakan tak lagi memiliki tempat. Yang tersisa hanyalah keyakinan yang kaku, tak bisa disentuh oleh argumen atau bukti sekalipun.

Dogma dan fanatisme adalah dua hal yang paling berbahaya dalam menggerus logika manusia. Dogma membuat seseorang menerima sesuatu tanpa bertanya, tanpa membandingkan, tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain. Sementara fanatisme membuat seseorang begitu terikat pada satu kelompok, tokoh, atau ideologi, hingga menolak untuk mempertimbangkan pandangan yang berbeda. Akibatnya, mereka lebih mengutamakan kesetiaan daripada kebenaran, lebih memilih membela daripada mencari tahu, dan lebih sibuk menyerang daripada mendiskusikan.

Saya melihat bahwa salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah ketidakmauan untuk berpikir secara mandiri. Banyak orang merasa lebih nyaman mengikuti apa yang sudah ada daripada bersusah payah mencari pemahaman baru. Namun, jika kita terus membiarkan diri kita terjebak dalam pola pikir semacam ini, maka kita sedang menutup pintu bagi perkembangan intelektual kita sendiri.

Sebagai masyarakat yang menginginkan kemajuan, kita harus berani berpikir kritis dan keluar dari bayang-bayang fanatisme yang membutakan. Kepulauan Sula butuh pemimpin yang memiliki visi besar, bukan sekadar pemimpin yang menang karena dogma dan fanatisme. Jika kita terus membiarkan logika kita tergerus, maka jangan heran jika daerah ini akan tetap berjalan di tempat, tanpa perubahan berarti.

Sebagai closing stetment ” Kesejahteraan ” adalah tanggung jawab sejarah yang ada di setiap pundak masyarakat kabupaten kepulauan Sula
Semoga…!

Oleh: Mohtar Umasugi
( Akademisi STAI Babussalam Sula-Maluku Utara)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest

More articles