Malut, investigasi.news- Pagi ini, saat kopi masih mengepul dan udara laut dari arah pelabuhan Sanana menyapa pelan, pikiran saya melayang pada dua istilah yang mungkin jarang dibahas dalam obrolan warung kopi kita: Konsep Madinah dan civil society. Dua istilah dari dunia yang tampaknya berbeda, satu dari sejarah Islam klasik, satu dari ranah demokrasi modern, tapi keduanya sama-sama bicara tentang masyarakat ideal.
Dalam sunyi pagi yang hangat, saya bertanya dalam hati: mungkinkah kita di Kepulauan Sula membangun peradaban lokal yang kuat jika dua konsep ini kita pertemukan, bukan kita pertentangkan?
Konsep Madinah bukan sekadar memori sejarah tentang Rasulullah SAW hijrah dari Mekkah ke Yatsrib. Lebih dari itu, ia adalah percontohan nyata tentang bagaimana membangun masyarakat yang hidup rukun dalam keberagaman, diikat oleh nilai dan kesepakatan moral yang tinggi. Dalam Piagam Madinah, Rasulullah memposisikan seluruh kelompok Muslim, Yahudi, bahkan suku-suku lokal dalam kedudukan setara sebagai warga.
Yang menarik, kata madinah sendiri berasal dari akar kata dīn agama, nilai, atau jalan hidup dan madana, yang berarti berbudaya. Artinya, Madinah adalah kota yang hidup oleh nilai dan peradaban.
Di pagi ini, saya membayangkan apa jadinya jika konsep ini diterapkan di Kepulauan Sula? Apakah mungkin birokrasi kita dijalankan dengan prinsip amanah dan musyawarah, bukan semata prosedur dan kekuasaan?
Di sisi lain, civil society atau masyarakat sipil adalah konsep dari Barat, tapi bukan berarti asing bagi kita. Ia bicara tentang kekuatan warga di luar negara: media, ormas, komunitas pemuda, kampus, hingga kelompok adat. Mereka berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan, sekaligus penjaga nilai.
Kata Prof. Azyumardi Azra, civil society dalam Islam sudah ada sejak awal: masjid bukan hanya tempat ibadah, tapi juga pusat komunitas, pendidikan, dan advokasi sosial. Di Madinah, pasar tidak dimonopoli oleh negara, tapi dikontrol oleh nilai.
Di Kepulauan Sula hari ini, kita seolah punya banyak organisasi, tapi kehilangan ruh-nya. Banyak yang melemah di hadapan kekuasaan, tidak lagi kritis, tidak lagi independen. Maka saya percaya, yang kita butuhkan bukan lebih banyak LSM, tapi lebih banyak kesadaran sipil warga yang peduli, berani, dan berdaya.
Kita di Sula berdiri di persimpangan antara keinginan membangun dan ketakutan kehilangan jati diri. Politik lokal makin dinamis, pembangunan makin cepat, tapi apakah nilai-nilai ikut tumbuh?
Jika Konsep Madinah adalah pondasi etik dan spiritual, maka civil society adalah pagar demokrasi. Keduanya saling melengkapi. Yang satu menjaga ruh, yang satu menjaga arah. Dan Sula butuh keduanya, agar tidak hanya berjalan, tapi juga bertumbuh dengan jiwa.
Secangkir kopi ini sudah mulai dingin. Tapi refleksi saya masih hangat: jangan-jangan, selama ini kita terlalu sibuk mengejar pembangunan fisik, tapi lupa membangun “madinah” di dalam diri dan masyarakat.
Maka mari kita mulai dari yang kecil: membangun ruang diskusi yang jujur, memperkuat komunitas yang berintegritas, dan mendidik anak-anak kita dengan semangat keberadaban. Sebab madinah bukan hanya tempat, dan civil society bukan hanya teori. Keduanya adalah jalan menuju masyarakat yang kita impikan: adil, terbuka, dan manusiawi.
Semoga pagi ini bukan hanya tentang kopi, tapi juga tentang kesadaran. Rahman