Lima Puluh Kota, Investigasi.news — Praktisi hukum sekaligus pengacara senior Iwat Endri, SH., MH., angkat suara soal vonis ringan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Padang terhadap tiga terdakwa kasus korupsi pengadaan seragam sekolah SD dan SLTP di Kabupaten Lima Puluh Kota. Menurut Iwat, putusan tersebut sangat tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat dan berpotensi merusak semangat pemberantasan korupsi di daerah.
“Jaksa Penuntut Umum Kejari Payakumbuh seharusnya segera mengajukan banding atas vonis tersebut. Ini soal marwah hukum dan kepercayaan publik. Jika koruptor divonis ringan, apalagi menyangkut kebutuhan dasar anak-anak sekolah, maka itu sudah mencederai keadilan,” ujar Iwat Endri kepada Investigasi.news, Selasa (15/7/2025).
Vonis tersebut dijatuhkan oleh majelis hakim dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada 24 April 2025 lalu di Pengadilan Negeri Padang. Dalam perkara ini, tiga terdakwa masing-masing berinisial MR, YA, dan YP diadili atas dugaan korupsi proyek pengadaan seragam sekolah di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Lima Puluh Kota tahun anggaran 2023.
Dari informasi yang beredar, ketiganya sebelumnya dituntut berat oleh JPU Kejari Payakumbuh. MR dan YA masing-masing dituntut enam tahun penjara, sementara YP dituntut lima tahun penjara. Namun dalam vonisnya, majelis hakim hanya menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara untuk MR dan YA, serta satu tahun enam bulan untuk terdakwa YP.
Putusan ini dinilai jauh dari rasa keadilan. Menurut Iwat Endri, selain tidak sebanding dengan tuntutan JPU, vonis ringan tersebut juga menunjukkan lemahnya keseriusan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Padahal, kejahatan semacam ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menyentuh aspek moral dan sosial, karena menyangkut kebutuhan pelajar di daerah.
“Tindak pidana korupsi bukan sekadar hitungan kerugian negara. Ini menyangkut masa depan anak-anak yang mestinya dibantu dengan seragam layak. Jika pelakunya dihukum ringan, maka efek jera tidak akan tercapai, dan publik makin apatis terhadap hukum,” jelasnya.
Sementara itu, Plt. Kepala Kejaksaan Negeri Payakumbuh, Muhammad Ali, melalui Kasi Intelijen Hadi Saputra, menyatakan bahwa pihak JPU masih dalam posisi “pikir-pikir” atas vonis tersebut. Hal yang sama juga disampaikan oleh pihak terdakwa. Namun bagi Iwat, sikap ragu-ragu ini justru bisa melemahkan posisi jaksa sebagai penjaga kepentingan umum di pengadilan.
“Saya minta Kejari Payakumbuh untuk segera mengambil langkah hukum lanjutan. Banding ke Pengadilan Tinggi Padang adalah langkah wajib untuk membuktikan bahwa negara serius dalam menegakkan hukum,” tegas Iwat lagi.
Dalam sidang tersebut, ketiga terdakwa didampingi oleh penasihat hukum Idris, SH., sedangkan tim JPU dipimpin oleh Kasi Pidsus Kejari Payakumbuh, Abu Abdurahman. Vonis ringan yang dijatuhkan majelis hakim dinilai terlalu jomplang dibandingkan tuntutan jaksa. Hal ini memunculkan pertanyaan publik: sejauh mana independensi hakim dalam melihat berat-ringannya sebuah tindak pidana korupsi?
Bagi banyak pihak, vonis ini bukan hanya soal besar kecilnya hukuman, melainkan soal pesan moral dan ketegasan negara. Ketika dana pendidikan yang menyangkut murid SD dan SLTP dikorupsi, maka seharusnya tidak ada kompromi. Hukuman ringan justru mengaburkan makna keadilan itu sendiri.
“Masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem hukum bila para pelaku korupsi tetap diberi ruang untuk lolos dengan hukuman ringan. Kita harus lawan bersama-sama, melalui jalur hukum yang tepat, dan salah satunya adalah banding,” tutup Iwat Endri.
Kini, mata publik tertuju pada Kejaksaan Negeri Payakumbuh. Apakah mereka berani mengambil langkah tegas demi menegakkan keadilan? Atau justru memilih diam, dan membiarkan vonis ringan ini menjadi bagian dari pembiaran yang sistemik terhadap kejahatan luar biasa bernama korupsi?
Yon