Perempuan-perempuan Tangguh ATR/BPN: Menembus Batas Gender, Menjaga Ujung Negeri

Baca Juga

Jakarta, investigasi.news – Di balik peta dan sertipikat, di tengah medan curam dan medan birokrasi yang kaku, ada perempuan-perempuan tangguh yang bekerja dalam diam. Mereka bukan pelengkap, bukan simbol kesetaraan belaka—mereka adalah aktor utama di balik revolusi pertanahan Indonesia.

Di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), wajah perempuan tak lagi asing di posisi pengambil keputusan maupun medan lapangan ekstrem. Dari ruang strategis hingga wilayah perbatasan, mereka membuktikan bahwa pembangunan tak mengenal batas gender.

Dily Nusron Wahid, Pembina Ikatan Istri Karyawan dan Karyawati (IKAWATI) Kementerian ATR/BPN, menyuarakan hal yang lebih dari sekadar kebanggaan. Baginya, kehadiran perempuan dalam struktur ATR/BPN adalah bagian dari transformasi nyata.

“Dulu dianggap aneh, sekarang menjadi biasa. Perempuan menjadi Kepala Kantor Pertanahan, menjadi pemimpin tim, dan tetap menjalankan tugas dengan integritas dan empati. Mereka bukan pelengkap—mereka adalah penggerak,” tegas Dily dalam pernyataannya, Sabtu (19/04/2025).

Saat ini, tercatat 8.591 pegawai perempuan aktif di kementerian tersebut. Tak hanya hadir dalam jumlah, mereka juga mengisi posisi kunci: 139 Pejabat Administrator, 16 Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama, dan 2 Pejabat Pimpinan Tinggi Madya.

Kisah nyata datang dari ujung barat Indonesia—Sabang, Aceh. Di sana, Cut Putri Ananda (25) berdiri teguh sebagai satu-satunya petugas ukur di Kantor Pertanahan Kota Sabang. Sejak 2017, ia menembus medan berat, dari gunung hingga bibir tebing, demi satu tujuan: legalitas tanah rakyat.

“Medan saya bukan kantor ber-AC. Ini lapangan terbuka, penuh tantangan. Tapi saya bangga. Ini panggilan tugas,” ucap Cut, yang sempat diremehkan karena gendernya.

Namun keraguan itu berubah jadi penghormatan. Kini, warga lokal mengenalnya bukan sebagai ‘petugas perempuan’, tapi sebagai profesional sejati.

Langkah Cut dan ribuan perempuan lainnya bukan hanya bentuk keberhasilan individu, tapi simbol bahwa kesetaraan gender di pemerintahan bukan sekadar jargon. Mereka hadir, bekerja, dan memberi hasil nyata bagi bangsa.

“Kesetaraan itu bukan ketika perempuan diberi ruang bicara, tapi ketika suara mereka diakui dan memengaruhi kebijakan,” tambah Dily Nusron Wahid.

Di kementerian yang kerap berhadapan dengan konflik agraria dan mafia tanah, kehadiran perempuan justru menjadi kekuatan. Dengan empati dan ketelitian, mereka membawa pendekatan berbeda dalam menyelesaikan persoalan.

Guh

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest

More articles