Antara Tugas Dan Adab

More articles

Malam itu, udara kota terasa menusuk tulang. Dingin yang biasa menyergap kota ini semakin terasa pekat karena waktu telah melaju hingga lewat tengah malam. Di salah satu rumah sakit ternama, suasana pun ikut sunyi. Lorong-lorong terasa lengang, hanya sesekali suara roda brankar atau deru mobil lewat terdengar samar dari kejauhan.

Di balik ketenangan itu, sejumlah keluarga pasien tengah berjaga. Di salah satu kamar, seorang pasien sudah hampir 20 hari dirawat. Usianya sepuh, dan kondisi kesehatannya menuntut perhatian penuh dari keluarga. Malam itu, kamar yang sedikit lebih besar dari biasanya itu terasa hangat oleh kehadiran cucu-cucu tercinta yang datang dari luar daerah. Mereka jauh-jauh datang, beberapa dari Pulau Jawa, karena rindu ingin menatap dan tidur bersama sang nenek meski hanya semalam.

Kamar sebelah tampak lebih padat. Di sana, dua pasien yang kondisinya memerlukan penjagaan ekstra ditemani oleh empat anggota keluarga. Semua mencoba menjalankan peran mereka dengan penuh kasih, di tengah dingin dan sunyi malam.

Namun ketenangan malam itu mendadak terusik. Sekitar pukul 23.30 WIB, terdengar ketukan di pintu kamar sang nenek. Salah satu cucu yang terbangun segera membukakan pintu. Di hadapannya berdiri seorang petugas keamanan rumah sakit—seorang satpam—dengan raut wajah tegas dan nada suara yang kaku.

“Tidak boleh lebih dari dua orang di dalam kamar. Silakan keluar sekarang,” katanya, datar tanpa basa-basi, tanpa sedikit pun nada pengertian.

Cucu itu tertegun. Suasana di dalam kamar sepi. Anak-anak sudah lelap setelah perjalanan jauh. Sang ayah yang mendengar suara dari pintu ikut terbangun. Ia menghampiri petugas dan mencoba menjelaskan, memohon agar malam ini diberi sedikit kelonggaran. “Anak-anak sudah tidur, Pak. Ini baru sekali mereka datang menjenguk neneknya. Bisa kami bertahan hingga pagi?”

Namun sang satpam tetap kaku. “Tidak bisa. Harus keluar sekarang juga,” jawabnya tanpa tatapan empati, seolah lupa bahwa di hadapannya adalah sesama manusia yang sedang menjalani malam penuh ujian dan kelelahan batin.

Sang ayah tak ingin memperkeruh suasana. Dengan nada tenang tapi berat, ia menunduk dan berkata, “Terima kasih atas tugas Bapak. Tapi izinkan saya katakan, cara menyampaikan Bapak itu yang menyakitkan. Saya tahu ini aturan, tapi apakah salah jika Bapak menyampaikan dengan lebih ramah? Santun itu tidak mengurangi wibawa, justru menunjukkan adab.”

Ia pun memilih keluar, berjalan sendirian di halaman rumah sakit. Udara malam semakin menusuk. Di bangku taman, ia bertemu seseorang. Rupanya, tamu itu pun mengalami perlakuan serupa—diusir dari ruang tunggu karena dianggap melanggar aturan jumlah pendamping.

Kisah ini barangkali bukan hal luar biasa. Tapi di baliknya tersimpan pelajaran besar: bahwa dalam ruang-ruang publik yang penuh kesedihan, harapan, dan perjuangan, adab lebih dibutuhkan daripada sekadar menjalankan aturan secara kaku.

Menjaga aturan itu penting. Tapi menyampaikannya dengan hati jauh lebih mulia. Bisa jadi seseorang sudah lelah, gusar, atau sedang diuji hatinya. Kata-kata yang dingin dan sikap yang keras hanya akan menambah luka. Sedangkan, sedikit empati bisa menyembuhkan rasa lelah yang tak terlihat.

Mari kita belajar, bahwa menjadi manusia tak cukup hanya dengan menjalankan tugas. Kita harus menumbuhkan rasa. Kesantunan bukan hanya etika sosial—ia adalah wajah dari hati yang hidup. Semoga tak ada lagi keluarga pasien yang merasa terlukai bukan karena penyakit, tapi karena sikap yang seharusnya bisa lebih bijak.

Karena sejatinya, siapa pun yang menjaga, sejatinya ia sedang diberi amanah untuk merawat: bukan hanya tempat, tapi juga rasa kemanusiaan.

Oleh : Hasneril, SE

- Advertisement -spot_img

Latest