Pontianak, investigasi.news – Pernyataan tegas Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, saat membuka Pekan Gawai Dayak (PGD) ke-39 di Pontianak, Jumat (23/5/2025), mengguncang jagat publik dan pelaku usaha di sektor ekstraktif. Dalam pidatonya, ia menyoroti keras aktivitas perusahaan sawit dan tambang yang dinilai hanya mengeruk kekayaan alam tanpa memberi kontribusi berarti bagi pembangunan daerah.
“Jangan cuma datang bawa alat berat, ambil hasil hutan dan tanah kami, lalu tinggal pergi. Rakyat tidak butuh janji, rakyat butuh bukti,” tegas Krisantus di hadapan ribuan warga adat yang memadati arena PGD, disambut tepuk tangan meriah.
Pernyataan itu langsung menuai respons berbagai kalangan. Salah satunya datang dari akademisi Universitas Panca Bhakti Pontianak, Dr. Herman Hofi Munawar, yang menyebut sikap Wagub sebagai sinyal penting bagi evaluasi besar-besaran terhadap model investasi ekstraktif di Kalbar.
“Ini bukan retorika, tapi jeritan realitas. Kalbar dijadikan lumbung pengambilan hasil, tapi bukan tempat ditanamkan tanggung jawab,” ujar Herman saat ditemui, Minggu (25/5/2025).
Menurut Herman, banyak korporasi besar khususnya di sektor perkebunan sawit dan pertambangan, hanya fokus pada keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologis jangka panjang.
“Investasi harus mutualistik, saling menguntungkan. Bukan eksploitatif yang hanya menyisakan lumpur dan konflik,” tegasnya.
Herman juga menyoroti program Corporate Social Responsibility (CSR) yang selama ini dijalankan perusahaan, namun cenderung formalitas dan tidak menyentuh kebutuhan nyata masyarakat.
“CSR-nya seremoni. Yang dibutuhkan itu program yang menjawab akar persoalan, seperti pendidikan, kesehatan, dan penyerapan tenaga kerja lokal,” lanjutnya.
Padahal, lanjut Herman, tanggung jawab sosial korporasi telah diatur jelas dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, PP No. 47 Tahun 2012, serta UU Penanaman Modal dan UU Lingkungan Hidup.
Herman menilai, pernyataan Krisantus harus dijadikan momentum untuk mengoreksi hubungan timpang antara daerah dan korporasi.
“Kerusakan lingkungan, konflik agraria, dan marjinalisasi masyarakat adat adalah dampak dari model investasi yang tidak adil. Pemerintah daerah harus hadir sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar fasilitator investor,” ujarnya tegas.
Ia mendorong adanya audit menyeluruh terhadap perizinan, implementasi CSR, hingga dampak lingkungan dan sosial dari setiap aktivitas perusahaan ekstraktif di Kalbar.
“Ini bukan soal politik. Ini soal harga diri, keadilan, dan masa depan Kalimantan Barat,” pungkasnya.
Sumber : Dr Herman Hofi Munawar