Banyuasin, Investigasi.news — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang Presiden Prabowo Subianto sebagai strategi nasional mengurangi stunting dan membangun generasi unggul justru menuai sorotan tajam di SDN 32 Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Pantauan tim Investigasi di lapangan pada Rabu (25/6/2025) mengungkap dugaan ketidakterbukaan dari pihak sekolah dan vendor pelaksana MBG. Sejumlah siswa disebut-sebut tidak masuk dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sehingga berpotensi tak menerima manfaat program senilai Rp171 triliun yang bersumber dari APBN 2025.
Kondisi ini diperparah oleh sikap oknum guru dan pihak sekolah yang terkesan menghalangi kerja jurnalis di lokasi. Tim Investigasi bahkan dilarang mengambil dokumentasi saat proses pembagian makanan bergizi berlangsung, tanpa alasan yang jelas.
“Ada apa sebenarnya? Ini program nasional presiden, tapi wartawan dilarang ambil gambar. Kepala sekolah diduga memerintahkan agar semua aktivitas MBG di sekolah tidak boleh didokumentasikan tanpa seizin dirinya,” ungkap salah satu jurnalis lokal yang turut meliput.
Larangan itu dianggap sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Karena itulah, pihak media mendesak aparat penegak hukum untuk turun tangan dan menindak tegas pihak-pihak yang mencoba menghalangi keterbukaan informasi publik.
Ketika dikonfirmasi, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala SDN 32 Talang Kelapa, Daryanto, mengklaim bahwa situasi tersebut hanya kesalahpahaman.
“Itu hanya salah paham saja. Tapi akan saya perjelas ke dinas dan korwil. Tidak mungkin program sebesar ini mereka tidak tahu. Ini program dari atas ke bawah, bukan sebaliknya,” tegas Daryanto.
Lebih lanjut, Daryanto menyebutkan bahwa dari total 1.115 siswa, ada sejumlah siswa yang belum masuk Dapodik karena kendala administrasi, seperti kartu keluarga ganda, yang menghambat proses pendataan oleh pelaksana MBG.
Selain itu, Daryanto juga mengungkap bahwa pihak sekolah sempat dibebani biaya tambahan, termasuk pembelian air minum “Mega Vin” senilai Rp400 ribu, yang seharusnya ditanggung oleh vendor pelaksana program.
“Saya harap ke depan, pihak vendor dan sekolah bisa saling melindungi, bukan saling menjatuhkan,” kata Daryanto.
Meski begitu, pernyataan tersebut justru menimbulkan tanda tanya besar: mengapa sekolah harus mengeluarkan biaya sendiri untuk program yang dananya sudah dialokasikan oleh negara?
Kasus ini mengindikasikan potensi kelemahan pengawasan di lapangan dan perlu investigasi lebih lanjut dari pihak terkait, termasuk Dinas Pendidikan Banyuasin, Inspektorat, dan APIP, agar program strategis nasional ini tidak tercoreng oleh praktik tak transparan dan potensi penyimpangan.
M. Buddy