Skandal Rp1,5 Miliar di Natuna: “Kajian Pemekaran” yang Hanya Memekarkan Kantong Elit

Baca Juga

Natuna, Investigasi.news — Sebuah pertanyaan besar menggantung selama lebih dari satu dekade di udara perbatasan Indonesia: ke mana raibnya dana rakyat Rp1,5 miliar untuk pemekaran Natuna Barat dan Natuna Selatan? Jawabannya tak pernah muncul. Yang tersisa hanya jejak sunyi, aroma busuk anggaran, dan nama-nama elite daerah yang tetap duduk nyaman di kursi kekuasaan.

Pada tahun anggaran 2012–2013, dana sebesar Rp1,5 miliar digelontorkan melalui Sekretariat DPRD Natuna. Tujuannya diklaim mulia: kajian pemekaran wilayah. Tapi hasilnya? Nol besar. Tak ada laporan resmi, tak ada hasil akademis, tak ada pertanggungjawaban. Yang ada hanyalah dugaan kuat penggelembungan, penyalahgunaan, dan pembiaran sistemik.

Mr, yang saat itu menjabat Sekretaris DPRD, menjadi sosok kunci. Ia mengelola dana pemekaran yang secara normatif bukan wewenangnya. Dana itu seharusnya berada di ranah eksekutif, bukan legislatif. Namun, lewat tangan Sekwan, anggaran tersebut malah “diparkir” di sekretariat. Di mana fungsi kontrol? Di mana pengawasan internal?

Tak jauh dari Mr, berdiri nama Ss, Sekretaris Daerah (Sekda) saat itu sekaligus Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Posisi yang memberinya otoritas mutlak atas alur keluar-masuk uang daerah. Tapi bukannya menjaga uang rakyat, Ss justru diduga membuka jalan bagi permainan anggaran di DPRD. Persekongkolan elitis yang mengorbankan transparansi.

Dan tak kalah mencolok adalah nama H C, Ketua DPRD kala itu, yang ironisnya juga menjabat sebagai Ketua Badan Pembentukan Kabupaten Kepulauan Natuna Selatan. Dengan satu kaki di legislatif dan satu kaki di lembaga pelaksana pemekaran, konflik kepentingan menjadi tak terelakkan. Apa ini bukan skenario pemanfaatan jabatan ganda untuk menyedot dana publik?

Tak ada satu pun bukti akademik, dokumen legal, atau kajian yang bisa dipertanggungjawabkan secara publik. Anggaran sebesar Rp1,5 miliar menghilang tanpa jejak, tanpa audit, tanpa hukum yang bicara. Yang tersisa hanya kabar burung dan suara rakyat yang terus dipadamkan.

“Kami rakyat cuma bisa lihat dari jauh. Uang kami dipakai, tapi kami tak pernah tahu ke mana larinya. Mereka pakai alasan pemekaran, padahal yang dimekarkan cuma rekening mereka,” ujar seorang tokoh masyarakat yang meminta identitasnya disamarkan.

Ia pun menantang para penegak hukum yang selama ini tampak pasif:

“Kalau aparat bisa membongkar korupsi tunjangan perumahan DPRD, kenapa diam soal ini? Jangan-jangan aktornya terlalu besar untuk disentuh. Tapi ingat, hukum mungkin bisa dibeli, tapi sejarah tidak pernah lupa.”

Nama Ra dan Is, dua mantan Bupati Natuna, sudah lebih dulu tersandung kasus korupsi tunjangan perumahan DPRD. Ini seolah menjadi pola berulang: elit bermain peran dalam teater kekuasaan, rakyat jadi penonton tetap. Tapi skandal pemekaran ini justru lebih janggal: tak ada satu pun yang dijerat, tak ada proses hukum, tak ada suara dari aparat.

Mengapa dana sebesar itu bisa dicairkan tanpa hasil apa pun? Siapa yang mengizinkan dan siapa yang menikmati? Mengapa hingga hari ini belum ada proses hukum menyentuh kasus ini? Dan apakah pemekaran daerah hanya kedok untuk menjarah APBD?

Skandal ini bukan hanya soal anggaran yang raib, tapi soal integritas negara di wilayah perbatasannya sendiri. Natuna, yang digadang-gadang sebagai garda terdepan Indonesia di Laut China Selatan, ternyata jadi ladang subur permainan elit lokal yang tak tersentuh.

Jika aparat hukum tetap diam, maka publik punya alasan kuat untuk percaya: ada kekuatan besar yang bermain di balik layar, dan hukum tak lebih dari alat kosmetik kekuasaan.

Investigasi.news akan terus menelusuri benang merah permainan anggaran pemekaran ini, hingga mereka yang mengkhianati uang rakyat tak lagi bisa bersembunyi di balik jabatan.

Fransisco Chrons

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest

More articles