Cukup menarik ‘atraksi‘ politik yang kini tengah dimainkan beberapa ‘Big Bos‘ di negara ini. Konon, mereka itu tengah digadang-gadang bakal maju di Pilpres tiga tahun depan.
Berawal dengan gerakan balihoisasi ke seluruh penjuru negeri, kini berlanjut aksi baru, berupa tayangan visualisasi bergenre pencitraan dan tebar pesona (TP).
Padahal kita tahu, agenda politik Pilpres dan Pileg masih jauh, yakni di 2024 nanti.
Rasanya belum pas saja, atau terbilang prematur bagi seseorang untuk mulai bersosialisasi, mencitrakan dirinya, tebar persona, atau berbalihoisasi di fase sekarang.
Apalagi orang-orang yang kini tengah berada di jajaran petinggi pemerintahan, yang nota bene masih harus mempertanggung jawabkan jabatannya kepada publik (masyarakat), dalam wujud kinerja yang membawa manfaat.
Seperti diketahui, kondisi bangsa saat ini sedang tidak baik-baik saja. Ada pandemi melanda, dan itu bermuara pada resesi panjang yang menyengsarakan rakyat.
Artinya masyarakat bangsa ini tengah didera susah, dan penyelenggara negara tidak mampu berimprovisasi mengatasi krisis ini.
Perekonomian terus merosot, sedangkan utang negara terus meroket tinggi sekali.
Artinya, pemerintah telah tidak berhasil, dalam hal ini.
Jadi secara otomatis, muatan kedalamnya, para pengambil kebijakan di struktur pemerintahan itu, ikut di cap tidak berhasil dalam hal ini.
Dari pengalaman yang sudah-sudah, pencitraan terbaik pejabat publik adalah kinerjanya. Program-programnya membawa perbaikan pada keadaan, dan bermuara pada kesejahteraan.
Sebenarnya dapat dimahfumi, seseorang yang punya hasrat maju di jalur politik, mengansur-ansur pencitraan dirinya sedari jauh-jauh hari. Namun jangan pulalah terlalu agresif. Karena waktu mash panjang, dan tanggungjawab jabatan masih diemban.
Tidak perlu langsung bombardir, slow dululah. Dan baiknya dikorelasikan juga tema serta narasi ceritanya, dengan platform yang dimiliki.
Karena ibarat orang bersolek, terlalu menor itu malah bikin jelek dan jadi lucu malah.
Misal, seseorang yang selama ini hidup megah, tiba-tiba muncul ke publik dengan tema menanam padi di sawah, berhujan-hujan pula.
Atau, seorang pejabat tinggi setingkat Menko, tetiba muncul di media ranah publik, tengah mengurus masalah toilet di SPBU.
Kalau untuk sekadar popular, tercapai sih. Cuma, respon publik terhadapnya jadi negatif. Bisa-bisa bullyan yang didapat.
Citra apa yang mau dibangun dengan TP tak berkolerasi itu?
Untuk diketahui, tidak akan membawa elektabilitas turun, jika seseorang yang memang eksekutif dan dikenal perfect, tampil dengan performa standarnya.
Profiling sesuai adanya. Misal, tetap tampil esekutif dengan stelan kostum dan sepatu branded, namun kalimat dan narasi ucapanya sederhana, dan membawa kesejukan bagi banyak orang.
Profile seperti ini berhasil dilakoni Sandiaga Uno, sehingga ratingnya di bursa calon pemimpin negara, tetap diatas rata-rata, hingga putaran pilpres esok.
Tebar Pesona dan Pencitraan Palsu, telah membuat trauma. Dan sekarang, masyarakat tidak mau lagi terjatuh di lobang trotoar yang sama.
Penulis: *Budhi Hermawan