Rena Oktavia – 22355040 Dosen: Dr. Setiyo Utoyo, M.Pd
Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Padang 2024
Abstrak
Perkembangan emosi semakin dipahami sebagai sebuah krisis dalam perkembangan anak. Dari masa perkembangan awal, bayi menunjukkan rasa aman dalam keluarganya apabila kebutuhannya terpenuhi oleh lingkungannya. Bayi akan mengeksplor melalui sentuhan dan rasal. Proses belajar pada masa inilah yang mempengaruhi perkembangan pada tahapan selanjutnya. Usia dini disebut juga tahap perkembangan emas (golden age). Pada tahap ini sebagian besar sel-sel otak berfungsi sebagai pengendali setiap aktivitas. Dengan memperhatikan dan memahami emosi anak, dapat membantu guru mempercepat proses pembelajaran yang bermakna dan permanen. Kemampuan anak usia dini mengelola emosi merupakan bagian dari pematangan perkembangan emosi anak dimasa peralihan dari pra operasional menjadi masa operasional kongkrit. Kemampuan anak usia dini dalam mengelola emosi dirinya sendiri dapat dilihat dari dimensi kemampuan anak dalam memamfaatemosinya secara positive.
Kata kunci: Perkembangan Emosi, Anak Usia Dini
Abstract
Emotional development is increasingly understood as a crisis in the development of children. From the early development period, babies show a sense of security in their families if their needs are met by their environment. Babies will explore through touch and rasal. The learning process at this time will influence the development at a later stage. Early age is also called the golden development stage (golden ege). At this stage most brain cells function as controllers of each activity. By paying attention and understanding the emotions of children, can help teachers accelerate the learning process that is meaningful and permanent. The ability of early childhood to manage emotions is part of the maturation of emotional development of children in the transition from preoperative to concrete operational period. The ability of early childhood to manage their own emotions can be seen from the dimension of children’s ability to use their emotions positive.
Keywords: Emotional Development, Early Childhood Education
Pendahuluan (Introduction)
Lembaga pendidikan anak usia dini sangat penting keberadaannya untuk membangun dan menciptakan generasi penerus yang berkualitas dimasa yang akan datang, sebagai upaya optimalisasi potensi keemasan anak. Emosi adalah perasaan yang banyak berdampak pada peilaku. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap dorongan dari luar dan dalam diri individu. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam pertumbuhan anak usia dini. Setiap anak akan mengalami masa- masa pertumbuhan dan perkembangan pada berbagai dimensi, apabila pada anak diberikan stimulasi edukatif secara intensif dari lingkungannya, maka anak akan mampu menjalani tugas perkembangannya dengan baik. Setiap individu mengalami perkembangan. Perkembangan terjadi sejak usia dini hingga dewasa. Perkembangan tidak dapat diukur, tetapi dapat dirasakan. Perkembangan bersifat maju kedepan, sistematis dan berkesinambungan. Usia dini adalah masa yang paling tepat untuk menstimulasi perkembangan emosi. Hal itu akan menjadi modal untuk anak saat ia dewasa kelak.
Perkembangan emosi pada anak usia dini sangatlah penting. Sebab perilaku emosi- emosi ada hubungannya dengan aktivitas dengan aktivitas dalam kehidupannya. Semakin kuat emosi memberikan tekanan, akan semakin kuat mengguncang keseimbangan tubuh untuk melakukan aktivitas tertentu. Jika kegiatan sesuai dengan emosinya maka anak akan senang melakukannya dan secara mental akan meningkatkan konsentrasi dan aktivitasnya dan secara psikologis akan positif memberikan sumbangan pada peningkatan motivasi dan minat pada pembelajaran yang ditekuni. Sosial emosional pada anak usia dini penting dikembangkan. Terdapat beberapa hal mendasar yang mendorong pentingnya pengembangan emosi tersebut.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat studi pustaka (library research) dengan menggunakan berupa artikel jurnal dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data baik artikel jurnal ataupun buku- buku. Analisis data penelitian ini menggunakan analisis konten (content analysis).
Hasil Penelitian dan Analisis Perngertian perkembangan
Perkembangan(development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasikan dari sel-sek tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsi, 1995).
Perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan pada suatu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungan. Dalam perspektif psikologi, perkembangan merupakan perubahan progresif yang menunjukan cara tingkah laku dan berinterakasi dengan lingkungannya (Fakhrudin, 2010).
Sedangkan menurut Jamaris dalam (Sujiono, 2009), perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat kumulatif. Artinya, perkembangan terdahulu akan menjadi dasar bagi perkembangan selanjutya. Oleh sebab itu, lanjut Jumaris, apabila terjadi hambatan pada perkembangan terdahulu, maka
perkembangan selanjutnya akan mendapatkan hambatan.
Perkembangan dapat diartikan sebagai “perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam bentuk individu dari mulai lahir sampai mati”. Perngertian dlain dari perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menunju tingkat kedewasaannya atau kematangan (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah) (Yusuf, 2008).
Perkembangan adalah perubahan psikologis sebagai hasil dari peroses pematangan fungsi psikis dan fisik pada diri anak, yang ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam peredaran waktu tertentu menuju kedewasaan dari lingkungan yang banyak berpengaruh dalam kehidupan anak menuju dewasa. Perkembangan menandai maturitas dari organ-organ dan sistem- sistem, prolehan keterampilan, kemampuan yang lebih siap untuk beradaptasi terhadap stres dan kemampuan untuk memikul tanggung jawab maksimal dan memperoleh kebebasan dalam mengekperesikan kreativitas (Supriyadi, 2010).
Perngertian Emosi
Emosi merupakan suatu keadaan atau perasaan yang begejolak dalam diri individu yang sifatnya didasari. Oxford English Dictionary mengartikan emosi sebagai sesuatu kegiatan atau pergolakan pikiran, prasaan, nafsu atau setiap keadaan mental yang hebat. Selain itu, Daniel Goleman merumuskan emosi sebagai sesuatu yang merujuk pada suatu prasaan dan pikiran- pikiran khasnya, sesuatu keadaan biologis dan psikologis, serta serangkaian kecendrungan untuk bertindak. Emosi dapat dikelompokkan sebagai suatu rasa marah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel atau malu.
Istilah emosi berasal dari kata “emotus” atau “emovere” atau “mencerca” (to stir up) yang berarti sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, missal emosi gembira mendorong untuk tertawa, atau perkataan lain emosi didefinisikan sebagai suatu keadaan gejolak penyesuaian diri yang berasal dari dalam dan melibatkan hamper keseluruhan diri individu (Sujiono, 2009).
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti menigkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku internasional manusia (Prawitasari,1995).
Menurut Crow dan Crow (1958), perngertian emosi adalah ‘An emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustement and mental and physiological stirredup states in the individual, and that shows it self in his evert behavior’. Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang digeneralisasikan dalam penyesuaian diri dan mental sehingga dapat menerangkan siapa individu tersebut sesungguhnya dan ditunjukan dalam setiap perilakunya.
Menurut Elizabeth B. Hurlock sebagaimana yang dikutip (Setiani, 2012) kemampuan anak untuk bereaksi secara emosional sudah ada semenjak bayi baru dilahirkan. Gejala pertama perilaku emosional ini berupa keterangsangan umum. Dengan meningkatkan usia anak, reaksi emosional mereka kurang menyebar, kurang sembarangan, lebih dapat dibedakan, dan lebih lunak kerena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan.
Lindsley, berpendapat bahwa emosi disebabkan oleh perkerjaan yang terlampau keras dari susunan syaraf terutama otak, misalnya apabila individu mengalami frustasi, susunan saraf berkerja sangat keras yang menimbulkan sekreasi kelenjar-kelenjar tertentu yang dapat mempertinggi perkerjaan otak, maka hal itu menimbulkan emosi.
Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah
laku yang tampak. Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), misalnya pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah terkerjut, bahagia, sedih dan jijik. Emosi juga sering berhubungan dengan ekspresi tingkah laku dan respon-respon fidiologis.
Fungsi Emosi pada Anak Usia Dini
Pertama, perilaku emosi anak yang ditampilkan merupakan sumber penilaian lingkungan sosial terhadap dirinya. Penilaian lingkungan sosial ini akan menjadi dasar individu dalam menilai dirinya sendiri. Contoh: jika seorang anak sering mengekspresikan ketidaknyamannya dengan menangis, lingkuangan sosialnya akan menilai ia sebagai anak yang “cengeng”.
Kedua, emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dapat mempengaruhi interaksi sosial anak melalui reaksi-reaksi yang ditampilkan lingkungannya. Melalui reaksi lingkungan sosial anak dapat belajar untuk membentuk tingkah laku emosi yang dapat diterima lingkungannya. Jika anak melemparkan mainannya saat marah, reaksi yang muncul dari lingkungannya adalah kurang menyukai atau menolaknya.
Ketiga, emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan, artinya jiks ada yang ditampilkan dapat menentukan iklim psikologis lingkungan. Artinya jika ada seorang anak yang pemarah dalam suatu kelompok, maka dapat mempengaruhi kondisi psikologis lingkungannya saat itu.
Keempat, tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara berulang dapat menjadi satu kebiasaan. Artinya jika seorang anak yang ramah dan suka menolong merasa senang dengan perilakunya tersebut dan lingkunganpun menyukainya maka anak akan melakukan perbuatan tersebut berulang-ulang hingga akhirnya menjadi kebiasaan.
Lima, ketegangan emosi yang dimiliki anak dapat mengahambat atau mengganggu aktivitas motorik dan mental anak. Seorang anak yang mengalami stress atau ketakutan menghadapi suatu situasi, dapat menghambat anak tersebut untuk melakukan aktivitas. Misalnya, seorang anak akan menolak bermain kreasi dengan cat poster karena takut akan mengotori bajunya dan dimarahi orang tua. Kegiatan kreasi dengan cat poster ini sangat baik untuk melatih motorik halus dan indra perabaannya.
Jenis Emosi pada Anak Usia DiniGembira
Setiap orang dari berbagai usia mulai dari jenjang bayi hingga dewasa di seluruh bumi ini mengenal dan memiliki pengalaman dalam mengekspresikan rasa kebahagiaan yang dirasakannya. Misal, jika anak mampu mengerjakan tugasnya dengan baik dan guru memberikan hadiah baik lisan maupun benda, anak akan kegirangan dan berteriak “hore aku dapat hadiah dari bu guru”. Begitu pula seorang istri yang mendapat karangan bunga dari suami dihari ulang tahunnya, istri akan tersenyum bahagia. Aktivitas kreatif saat menemukan sesuatu yang dicari-cari dan kemenangan olahraga akan menampilkan perasaan bahagia.
Marah
Rasa marah yang dirasakan manusia terpicunya karena tidak terpenuhinya sesuatu sesuai keinginan atau harapannya. Rasa marah dilampiaskan dengan berbagai cara misalnya orang yang ditendang akan baik menendang lebih keras dibarengi dengan tenaga atau dorongan yang lebih keras.
Chaplin (1998) dalam dictionary of psychology, bahwa marah adalah reaksi emosional akut yang timbul karena sejumlah situasi yang merangsang,
termasuk ancaman, agresi lahiriyah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustasi dan dicirikan kuat oleh reaksi pada sistem otomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatetik, dan secara emplisit disebabkan oleh reaksi seragam, baik yang bersifat somatis atau jasmaniyah maupun yang verbal atau lisan.
Barlet dan Izart (Steward, 1985) menguraikan ekspresi orang yang marah ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a)dahi bekerut, (b)tatapan mata tajam pada objek pencetus kemarahan, (c)membesarnya cuping hidung, (d)bibir ditarik ke belakang memperlihatkan gigi yang mencengkeram, (e)rona merah pada kulit, (f)takut. Ketakutan adalah suatu tanggapan emosi terhadap ancaman. Takut adalah suatu mekanisme pertahanan hidup dasar yang terjadi sebagai respons terhadap suatu stimulus tertentu, seperti rasa sakit atau ancaman bahaya. Beberapa ahli psikologi juga telah menyebutkan bahwa takut adalah salah satu dari emosi dasar selain kebahagiaan, kesedihan, dan kemarahan.
Ketakutan juga terkait dengan suatu perilaku spesifik untuk melarikan diri dan menghindar, sedangkan kegelisahan adalah hasil dari persepsi ancaman yang tak dapat dikendalikan atau dihindarkan. (g)sedih. Sedih adalah perasaan anak ketika melihat sesuatu yang membuat hatinya ibu dan timbul kesedihan dan merasa kehilangan sesuatu yang di senangi atau tidak terpenuhi apa yang diinginkan. Misalnya saja sang anak mempunyai boneka kesayangan kemudian hilang disitulah anak pasti merasa kehilangan dan timbul kesedihan (Ndari, 2018).
Dalam memberikan petunjuk pada manusia, Al Qur’an dan hadits banyak membahas tentang berbagai jenis ekspresi emosional manusia ketika menghadapi atau mengalami sesuatu. Ekspresi yang ditampilkan sangat kaya termasuk ekspresi primer dan emosi sekunder.
Karakteristik Perkembangan Emosi Pada Anak Usia Dini
Masa anak usia dini disebut juga sebagai masa awal kanak-kanak yang memliki berbagai karakter atau ciri-ciri. Ciri-ciri ini tercermin dalam sebutan- sebutan yang diberikan oleh para orang tua, pendidik, dan ahli psikologi untuk anak usia dini (Masher Riana, 2011: 7). Usia lima tahun pertama adalah masa emas untuk perkembangan anak. Karena pada usia ini anak mengalami masa peka dan kritis (Masher Riana, 2011: 10). Emosi yang berasal dari bahasa latin movere, berarti menggerakkan atau bergerak, dari asal kata tersebut emosi dapat diartikan sebagai dorongan untuk bertindak. Emosi merujuk pada suatu perasaan atau pikiran-pikiran khasnya, emosi dapat berupa perasaan amarah, ketakutan, kebahagiaan, cinta, rasa terkejut, jijik,dan rasa sedih (Mashar, 2015).
Uraian mengenai karakteristik perkembangan emosi anak usia dini memberi gambaran lebih utuh tentang karakter emosi anak, Hurlock (1993) menyatakan bahwa karakter emosi anak usia dini sangat kuat pada usia 2,5-3,5 tahun dan 5,5-6,5 tahun. Beberapa ciri utama reaksi emosi pada anak usia dini antara lain: (a)reaksi emosi anak sangat kuat, anak akan merespons suatu peristiwa dengan kadar kondisi emosi yang sama. Semakin bertambah usia anak, anak akan semakin mampu memilih kadar keterlibatan emosinya. (b)reaksi emosi sering kali muncul pada setiap peristiwa dengan cara yang diinginkannya. Anak dapat bereaksi emosi kapan saja mereka menginginkannya. Kadang tiba-tiba anak menangis saat bosan atau karena suatu kondisi yang tidak jelas. Semakin bertambah usia anak, kematangan emosi anak semakin bertambah sehingga mereka mampu mengontrol dan memilih reaksi emosi yang dapat diterima lingkungan. (b)reaksi emosi anak mudah berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Bagi seseorang anak sangat mungkin sehabis menangis akan langsung tertawa keras melihat kejadian yang menurutnya lucu. Reaksi ini menunjukkan spontanitas pada diri anak dan menunjukkan kondisi asli (genuine) di mana anak
sangat terbuka dengan pengalaman-pengalaman hatinya. (c)reaksi emosi bersifat individual, artinya meskipun peristiwa pencetus emosi sama namun reaksi emosinya dapat berbeda-beda. Hal ini terkait dengan berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi terutama pengalaman-pengalamn dari lingkungan yang dialami anak. (d)keadaan emosi anak dapat dikenali melalui gejala tingkah laku yang ditampilkan.
Secara jelas kognisi sosial seorang anak yang berumur 0-1 tahun adalah tumbuh nya perasaan sebagai seorang priadi lebih menyukai orang familiar (obyek ikatan emosi nya). Sedangkan usia 1-2 tahun yakni tumbuh pengenalan sosial dengan mengenali perilaku yang disengaja. Lalu untuk usia 3-5 tahun, muncul pemahaman perbedaan antara kepercayaan dan keinginan serang anak yakni persahabatan yang didasarkan pada aktivikatas bersama.
Menurut soemariati karakteristik bersosialisasi anak TK di antaranya: (a)anak memiliki salah satu atau dua sahabat tetapi sahabat ini cepat berganti, (b)kelompok bermain cenderung kecil dan tidak terlalu terorganisasi secara baik oleh karna itu kelompok tersebut cepat berganti- ganti, (c)anak lebih mudah sekali bermain bersebelahan dengan teman yang lebih besar, (d)perselisihan sering terjadi tetapi sebentar kemudian mereka lebih berbaik kembali
Sedangkan untuk karakteristik emosional anak TK dalam buku karangan soemariati patmonodewo, menyatakan di antaranya sebagai berikut (Nurjannah, 2017: 53-54), (a)anak TK cenderung mengekspresikan emosi nya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering di perlihatkan oleh anak pada usia tersebut. (b)sering iri hati terhadap teman, anak seringkali memperubtkan perhatian guru.
Permasalahan Emosi pada Anak Usia Dini
Dalam perkembangannya, kita akan menemukan berbagai macam permasalahan emosi yang muncul di sekeliling kita. Banyak faktor yang menentukan munculnya permasalahan emosi pada anak yang paling utama adalah peranan keluarga.
Jenis Permasalahan Emosi pada Anak Usia Dini
Pada dasarnya fondasi emosi yang sehat dibangun atas dasar penerimaan dan penghargaan terhadap dirinya. Perwujudan dari perasaan ini, yang paling awal adalah anak yang dapat merasakan kasih sayang dari orang-orang terdekatnya. Jika anak kehilangan perasaan ini maka sulit ia akan memiliki emosi yang sehat (A. N. Dkk., 2005). Menurut Nugraha berikut adalah jenis-jenis permasalahan emosi yang sering terjadi pada anak usia dini:
Kekurangan Afektif
Afektif dapat meliputi perasaan kasih sayang, rasa kehangatan, dan persahabatan yang ditunjukkan pada orang lain. Setiap orang mempunyai kebutuhan untuk memberi dan menerima afektif. Gangguan yang ditimbulkan akibat dari kekurangan afektif dapat berupa: (a)perkembangan Fisik yang Terlambat, dapat menyebabkan anak depresi, aakibatnya terjadi hambatan sekresi (pengeluaran hormon pituitary), yaitu hormone yang berfungsi untuk mengatur metabolisme dan pertumbuhan perkembangan sehingga perkembanga fisik akan terganggu. (b)gagap atau Mengalami Gangguan Bicara. (c)kulit Konsentrasi dan Mudah Teralih Perhatiannya. (d)kulit Mempelajari Bagaimana Membina Hubungan dengan Orang lain. (e)mereka sering kali tampak agresif dan nakal. (f)kurangnya minat terhadap orang lain, menarik diri, egois, dan penuntut. (g)pada taraf berat dapat menyebabkan gangguan jiwa.
Anxiety (cemas)
Anxietas atau cemas adalah rasa takut pada sesuatu tanpa sebab yang jelas yang sering kali berlangsung lama. Biasanya rasa takut ini juga dibarengi oleh
kegelisahan dan dugaan- dugaan akan terjadinya hal-hal buruk, seperti kematian, kecelakaa dan sebagainya. Pada anak, rasa cemas biasanya terjadi saat ia berusia sekitar 3 tahun, bentuknya bisa berupa cemas kehilangan kasih sayang orang tua, cemas akan mengalami rasa sakit, cemas karena merasa berbeda dengan orang lain, atau mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.
Sumber-sumber yang menimbulkan rasa tidak aman pada anak, yaitu sebagai berikut: (a)orang tua atau guru yang tidak konsisten. Hal ini dapat membuat anak merasa kehidupan sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga dan menakutkan. (b)orang tua yang terlalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak. (c)tidak adanya batasan atau aturan yang jelas dari orang Tua, mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang buruk dan yang baik. Kecemasan muncul karena anak tidak dapat menentukan batasan sendiri dalam bertingkah laku. (d)kritik yang berlebihan dari orang tua atau orang dewasa lain dan kelompok sebaya. (e)seringnya anak diingatkan mengenai tugas dan tanggung jawabnya bila ia dewasa kelak. (f)merasa bersalah. Ini biasanya anak membayangkan hukuman yang akan diterimanya. (g)model dari orang tua. Orang tua yang cemas sering kali mempunyai anak yang pencemas pula karena anak belajar dari orang tuanya bagaimana peran orang tua secara umum memandang kehidupan. (h)frustasi yang terus- menerus. Terlalu sering mengalami frustasi dapat menyebabkan kemaran dan kecemasan. Hal ini dapat pula disebabkan target yang terlalu tinggi sehingga anak sulit mencapai tujuannya. Perasaan tidak mampu inilah yang menimbulkan kecemasan.
Hipersensitivas
Hipersensitivas adalah kepekaan emosional yang berlebihan dan cukup sering dijumpai pada anak-anak. Anak dikatakan hipersensitif bila ia mudah sekali merasa sakit hati dan menunjukkan respons yang berlebihan terhadap sikap dan perhatian oran lain. Anak yang hipersensitif tidak bisa menerima penilaian, komentar, dan kritik orang lain tanpa rasa sakit hati. Penyebab tumbuhnya sikap hipersensitif diantaranya karena merasa kurang dan tidak sama dengan orang lain. Anak merasa dirinya tidak sepandai, semenarik, atau sepopuler anak-anak lain.
Adapun langkah yang dapat dilakukan orang tua ataupun para pendidik lainnya dalam menangani anak hipersensitif diantaranya sebagai berikut: (a)menghindari sikap overprotective terhadap anak, sebaliknya orang tua hendaknya menguatkan diri dalam menghadapi lingkungan sosial yang memang penuh dengan beragam sifat manusia. (b)dalam proporsi yang wajar anak perlu diperkenalkan apa kritik. Namun, harus diingatkan sebaiknya orang tua atau guru tidak mengkritik anak dengan cara merendah-rendahkan dirinya, tetapi bangkitkan semangatnya untuk memperbaiki diri. (c)orang tua dan para pendidik lainnya hendak mengajarkan anak untuk memandang dirinya secara proporsional. Tidak melebih-lebihkan segi positifnya, tidak juga menyepelakan kekurangannya, (d)selain itu, orang tua dan guru sebaiknya mengajarkan keterampilan untuk mengatasi masalah pada anak.
Fobia
Fobia adalah perasaan takut yang irasional terhadap suatu objek yang sebenarnya tidak berbahaya atau tidak menyeramkan. Jadi, tidak ada sumber bahaya yang mengancam secara nyata. Fobia merupakan suatu gangguan psikologis yang perlu diatasi, terutama bila intensitasnya sangat kuat sehingga menganggu kelancaran kehidupan sehari-hari.
Fobia terdiri dari aspek emosi dan tingkah laku. Jadi, penderita fobia biasanya merasa takut yang amat sangat terhadap suatu objek, kemudian menjerit, lalu berlari, mengunci diri di kamar, atau menampilkan tingkah laku ketakutan. Reynold mengemukakan dalam buku karangan Nugraha Ali ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan permasalahan emosi sebagai berikut (Ali Nugraha dkk.,
2005: 11.5): (a)latar belakang keluarga yang kasar, dimana kebiasaan kehidupan dalam keluarga ini selalu menggunakan cara-cara kasar dalam menyelesaikan masalah, seperti menendang, mencaci, memukul, berkelahi, dan lain sebagainya. (b)kerasaan tertolak secara fisik atau emosional oleh pilihan orang tua. Anak yang tidak diinginkan biasanya merasakan seperti ini. (c)orang dewasa yang belum dewasa dan memiliki kematangan yang cukup untuk melakukan pengasuhan anak. (d)kehilangan terlalu dini untuk merasakan kedekatan dengna orang yang disayangi. Misalnya perceraian orang tua atau yatim piyatu sejak kecil dan tidak memiliki orang tua pengganti yang mengasihinya. (e)orang tua yang tidak mampu mencintai anaknya, disebabkan mereka pun tidak pernah merasakan kasih sayang. (f)perasaan cemburu yang berlebihan dan tidak ditangani dengan baik, tatkala ia mendapatkan adik baru dan merasakan kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya. (g)situasi baru dimana anak belum siap dalam menghadapi dan tidak menemukan pasangan yangn cocok untuk menemaninya. (h)pendapat gertakan, gangguan, dan ketidakramahan dari anak yang lain. (i)cacat fisik atau memiliki postur tubuh yang berbeda dengan anak yang lain dimana hal ini jika tidak ditangani dengan baik dapat menjadi gangguan emosional.
Simpulan dan Saran (Conclusion and Recommendation)
Berdasarkan analisis data yang dilakukan perkembangan emosi adalah luapan perasaan ketika anak berinteraksi dengan orang lain sedangkan perkembangan adalah tingkat jalinan interaksi anak dengan orang lain, mulai dari orang tua, guru bahkan teman sebaya mereka. Dengan demikian perkembangan emosi adalah kepekaan anak untuk memahami perasaan orang lain ketika berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hal yang dapat mengembangkan perkembangan emosi pada anak, misalnya, figur seorang ibu dan ayah, lingkungan sekitar dan teman sebayanya. Perkembangan emosi anak yang poditif dapat memudahkan anak dalam aktifitas lainnya dilingkungan sosial. Oleh karena itu, sangat penting memahami dan membantu anak-anak memahami perasaannya sendiri ataupun perasaan orang-orang yang ada disekitarnya. Terkait dengan perkembangan emosi pada anak, Rasulullah SAW juga telah memberikan contoh praktik pendidikan emosi, dalam hal ini Rasulullah SAW mengajari bagaimana bersikap tenang, memperlakukan orang dengan kasih sayang, melatih keberanian, melatih kesabaran. Dari pembahasan diatas juga perkembangan emosi anak usia dini terdapat beberapa masalah yang harus dihadapi, oleh karena itu peran orang tua, lingkungan sekitar dan keluarga sangat penting untuk meransang kecerdasan emosi dan sosial anak.
Daftar Rujukan (References)
Dkk., A. N. (2005). Metode Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta: Universitas Terbuka. Dkk., H. A. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dkk., I. M. W. (2005). Kamus Inggris Indonesia. Surabaya: Arkola.
Dkk, H. I. (2017). Psikologi Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini Sebuah Bunga Rampai.
Jakarta: Kencana.
Fakhrudin, A. U. (2010). Mendidik Anak Menjadi Unggulan. Yogyakarta: Manika Books.
Hasan, A. B. P. (2008). Psikologi Perkembangan Islam: Menyingkap Rentang
Kehidupan Manusia dari Pra Kelahiran hingga Pasca Kematian. Yogyakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Khairi, H. (2018). Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini dari 0-6 Tahun.
Jurnal Warna, 2(2).
Retrieved from https://ejournal.iaiig.ac.id/index.php/warna/article/view/87
Koentjoro, A. dan. (2004). Psikologi Keluarga: Peran Ayah Menuju Coparenting. Yogyakarta: CitraMedia.
Mashar, R. (2015). Emosi Anak Usia Dini. Jakarta: Kencana.
Ndari, V. A. dan S. S. (2018). Metode Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Dini. Tasikmalaya: EduPublisher.
Nurhayani. (2014). Peran Figur Ayah dan Ibu dalam Membentuk Kemampuan Pengendalian Emosi padaAnak. Jurnal Tarbiyah, 21(1).
Nurmalitasari, F. (2015). Perkembangan Sosial Emosi pada Anak Usia Pra Sekolah. Bulletin Psikologi,23(1).
Setiani, R. E. (2012). Metode Melatih Kecerdasan Emosional pada Anak di SDIT Al-Irsyad Al-IslamiyahPurwokerto. STAIN Purwokerto.
Sujiono, Y. N. (2009). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks. Supriyadi, O. (2010). Perkembangan Perserta Didik. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. Yusuf, S. (2008). Psikologi Perkembangan Anak. Bandung: Remaja Rosda Karya.