Pemikiran Orang Minang Kabau Tentang Moderasi Beragama

PROLOG: Tema moderasi beragama sangatlah aktual saat ini, berbagai seminar dan webinar menjadikan moderasi beragama menjadi pokok bahasan baik pada institusi pemerintahan, ORMAS dan juga kampus, tema ini dianggap sebagai antitesis dari gerakan radikalisme dan terorisme yang juga kerap di bahas dan “dilabelkan” ke tengah ummat Islam, sehingga dikalangan ummat hari ini terdapat dua sikap dalam menyikapi tema moderasi beragama. Pertama sikap positif (husnuzhon)dan kedua sikap negatif.

Sikap positif bahwa gerakan moderasi sangatlah penting dan selaras dengan karakter islam itu sendiri sebagai agama pertengahan (wasathan). Islam wasathiyah adalah jalan tengah yang bersifat moderat, terbuka, dan toleran, istilah ini bisa juga disebut sebagai justly balance Islam, sebuah istilah yang sesungguhnya bersumber dari Al-Qur’an dalam ungkapan ummatan wasathan, yaitu umat memiliki posisi ditengah yang tidak masuk ke ekstrem kiri atau ekstrem kanan (Azra, 2020).  

Gerakan moderasi dianggap “urgen” ditengah kondisi kebangsaan Indonesia yang multikuktural dan terdiri dari banyak Agama yang diakui oleh negara, demikian juga pembahasan moderasi banyak menyinggung soal perbedaan mazhab dan suburnya khilafiyah di kalangan ummat sehingga berpotensi adanya perbedaan dan perpecahan. 

Selanjutnya adanya kasus temuan oknum yang terpapar paham terorisme, radikalisme yang ditangkap oleh densus 88, mereka yang terkabung pada kelompok takfiri (suka mengkafirkan orang Islam lain) dan menganggap kelompok mereka yang paling benar dan akan masuk syurga, maka fenomena tersebut menjadi argumen pentingnya gerakan moderasi beragama.

Sikap negatif disebahagian kalangan ummat Islam tak bisa juga dipungkiri bahwa gerakan moderasi “dicurigai” membonceng setumpuk pemikiran yang malah mendegradasi ajaran Islam itu sendiri baik paham sekulerisme , liberalisme,pluralisme, feminimisme dan lainya. Gerakan moderasi kerap dinilai berpandangan bahwa jika  orang Islam ingin menjadi dan mengamalkan Islam secara kaffah dianggap tidak moderat bahkan di cap ekstrim dan radikal serta fundamentalis.

Kecurigaan ummat terhadap gerakan moderasi menjadi semakin kuat dengan keluarnya berbagai pedoman tentang moderasi beragama oleh kementrian agama yang sangat multi tafsir dan berpotensi disalah tafsirkan oleh kelompok liberal dan Islamphobia sebagaiman indikator moderasi beragama yaitu 1. Memiliki komitmen kebangsaan, 2.Toleransi, 3. Anti kekerasan dan 4. Akomodatif terhadap budaya lokal. Seolah indikator yang dikeluarkan versi pemerintah ini menjadi nilai seberapa kuat moderasi beragama seseorang ataupun kelompok tertentu di tanah air ini.

Maka uraian berikut mencoba menganailisis bagaimana sikap ummat Islam membaca gerakan moderasi dan khususnya di ranah minang, kenapa mesti orang minang?, Orang minang dikenal sangat arif membaca situasi dan menganalisis teks dan konteks sebagaimana pepatah minang “tau diereng dan gendeng, takilek ikan di aia lah jaleh jantan batino nyo”, pandai mambaco nan ta surek, pandai mambaco nan tasirek dan nan ta suruak”. Orang minang dikenal sangat teliti dan hati-hati dalam membaca situasi serta waspada dengan bahaya yang akan menimpa ” maminteh sabalun anyuik, mancari sabalun ilang”.

MEMBACA “NAN TASIREK” GERAKAN MODERASI

Dunia hari ini begitu dekat, peristiwa disuatu negara tidak bisa terlepas dari pengaruh global maka dalam membaca situasi nasional dan lokalpun tidak boleh lupa kita membaca situasi dan fenomena global sehingga akar pemikiran dan gerakan dapat kita tarik landasan dan arah tujuanya sebagai contoh lahirnya RUU TPKS (Tindak Pindana Kekerasan Seksual), Permendikbud 30 tahun 2021 tentang Kekerasan seksual yang menuai protes dan kecaman dikalangan ummat Islam dimana hal ini tidak bisa dilepaskan dengan gerakan feminimisme global dengan doktri “sexsual consent” dimana hubungan seksual tidak lagi berdasarkan batasan perintah agama halal atau haram tetapi atas dasar kesepakatan tanpa kekerasan.

Secara global berbagai artikel dan penelitian merilis kekhawatiran barat dengan fenomena kebangkita Islam diberbagai belahan dunia maka kembali dunia barat mengingatkan akan tesis benturan peradapan serta bocornya dokumen lembaga penelitian swasta Amerika yang bernama “Rand Corporation”, dimana hasil kajian mereka bahwa Islam atau gerakan Islam mestilah dikondisikan ramah dengan barat dan menerima pemikiran dan konsep barat agar tidak menjadi ancaman bagi barat.

Benturan peradaban atau clash of civilizations (CoC) adalah teori bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca-Perang Dingin. Teori ini dipaparkan oleh ilmuwan politik Samuel P. Huntington dalam pidatonya tahun 1992[1] di American Enterprise Institute, lalu dikembangkan dalam artikel Foreign Affairs tahun 1993 berjudul “The Clash of Civilizations?”,[2] sebagai tanggapan atas buku karya mahasiswanya, Francis Fukuyama, berjudul The End of History and the Last Man (1992). Huntington kemudian mengembangkan tesisnya dalam buku The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996) (sumber : wikipedia)

Sigit nugroho (sejarawan) dalam artikel “Dari isu radikalisme, membongkar agenda barat dalam dokumen rand corporation” mengungkap klasifikasi ummat Islam versi barat yaitu : Islam fundamentalis, Islam tradisional, Islam modernis dan Islam sekuler, hasil kajian mereka bahwa Islam fundamentalis adalah orang Islam yang ingin menerapkan Islam secara kaffah, barat menginginkan adanya gerakan menyatukan Islam tradisional,modernis dan sekuler untuk menentang Islam fundamentalis.

Maka berbagai upaya dilakukan untuk dibelahan dunia untuk menghadang kebangkitan Islam dengan gerakan standar ganda yaitu HAM, terorisme, radikalisme dan fundamentalisme serta gerakan feminimisme yang di “stigma” kan pada Islam sehingga Amerika memiliki tafsir sendiri yang bermisi ganda untuk kepentingan barat baik secara politik, ekonomi dan idiologi. Upaya untuk mereduksi kebangkitan Islam juga dapat dirasakan di Indonesia dengan berbagai upaya mendiskreditkan ajaran Islam, kriminalisasi ulama dan lainya sebagainya.

Maka bagi orang minang sangat tepat memperhatikan point penting yang disampaikan oleh ahli tafsir Prof Dr Quraish shihab tentang menyikapi moderasi beragama yang disampaikan pada halal bi halal jajaran ASN kememag th 2019 di Jakarta, point penting pertama adalah Pengetahuan, kedua mengendalikan emosi jangan melewati batas dan ketiga harus selalu bersikap terus  hati-hati.

Menurut hemat penulis tiga point penting ini bisa dijadikan pisau analisis oleh orang minang yang terkenal kritis dan analitis dalam membaca sebuah ide pemikiran dan gerakan, pertama berilmu. Prof Quraish shihab memesankan pentingnya pengetahuan, dikatakan bagaimana saya bisa tau mana yang ditengah jika tidak mengetahui mana yang di kiri dan kanan, pesan penting yang ingin beliau sampaikan bahwa selaku orang cadiak pandai/cendikiawan tidak boleh menerima tanpa mengkritisi maksud dan arah moderasi beragama, 

Berbagai data dan penelitian yang disampaikan terhadap klaim Islam radikal dan teroris mestilah ditelaah dalam apakah telah menyajikan data yang objektif dan akurat. Semisal data yang dimuat pada pedoman dan buku moderasi beragama yang terkesan menjeneralis stigma Islam radikal perlu menjadi kajian apakah sudah benar dan objektif menyorot realitas yang ada.

Kedua pesan pentingnya adalah mengendalikan emosi dan tidak melewati batas, menurut hemat penulis bahwa ummat Islam terutama orang minang telah lama bersikap dan menerapkan moderasi bahkan ratusan tahun yang lalu sejarah telah menorehkan sikap moderat orang minang baik ditengah sesama ummat Islam maupun dengan penganut agama lain, belum pernah sejarah menulis radikalnya orang minang pada pemeluk agama lain, sikap moderasi ini sangat perlu ditumbuh kembangkan.

Ketiga selalu bersikap terus berhati-hati, pesan ini sangat menarik beliau sampaikan dalam gerakan moderasi beragama agar jangan sampai disalah gunakan untuk mendegredasi ajaran Islam itu sendiri sehingga penafsiran moderasi hanya sepihak dilakukan oleh orang tertentu yang memiliki kepentingan tertentu yang malah menimbulkan sikap tidak moderat dengan memaksakan tafsiran versi pemerintah/kemenag semata. Contohnya saja doa lintas agama dan salam lintas agama yang dipaksakan dan yang tidak menyukai dianggap tidak moderat.

Kriteria moderasi beragama dalam buku Implementasi moderasi beragama dalam pendidikan Islam hal 16 sd 25 memuat 4 indikator yaitu memiliki komitmen kebangsaan, toleran, anti kekerasan dan akomodatif dengan budaya lokal, konten ini sangat perlu disikapi dengan penuh ke hati-hatian dan mudah disalah artikan sehingga ada kecendrungan membenturkan Islam dengan negara, Alqur’an dengan konstitusi sebagai contoh tes wawasan kebangsaan yang menuai kritikan tersebut.

Batasan toleran yang dimaksud juga bisa menyalahi ajaran Islam itu sendiri jika tidak mengikutkan para ulama/MUI dalam menyikapi toleran dimaksud, bisa saja disalah artikan bahwa toleran boleh kawin lintas agama, mengucapkan selamat hari raya dan sebagainya dan yang tidak setuju dianggap intoleran. Islam telah nyata anti kekerasan dan pelaku terorisme sudah jelas dikecam oleh ajaran Islam namun label teror kerap dialamatkan pada Islam dan tidak demikian pada agama lain dimana oknum pemeluknya bersikap radikal dan teror.

Sikap akomodatif terhadap budaya lokal tentunya tidak serta merta bisa dijadikan indikator moderat dalam beragama, di Minang kabau telah dicetuskan sebuah falsafah sumpah sati bukit marapalam dengan deklerasi “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato adat mamakai”, deklerasi ini menyatakan bahwa adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam mestilah berangsur di robah dan menyesuaikan dengan sumber ajaran Islam Alqur’an dan Sunnah nabi.

Dalam hal ini orang minang bukan menyesuaikan(akomodatif) Islam dengan budaya minang tetapi dengan keimanan dan ketaqwaan menyesuaikan adat dengan ajaran Islam(syara’), orang minang sangat mengetahui bahwa Islam adalah Imam yang harus diikuti, seluruh petunjuk Alqur’an dan Sunnah nabi dilaksanakan sebagai syarat turunnya rahmat dan pertolongan Allah SWT. 

Oleh karena itu kembali kepada dua pendapat ditengah ummat dalam menyikapi gerakan moderasi beragama bahwa sikap positif dan negatif, maka barangkali perlunya sikap yang moderat juga dalam menyikapi gerakan moderasi beragama terutama orang minang yang sangat kritis dan mampu melihat yang tersurat (teks) dan juga mampu menganalisis yang tersirat (konteks) serta selalu wasapa dengan yang tersuruak (politik)

EPILOG

Perlu menjadi renungan oleh semua kalangan adanya gerakan global “moderate muslim network” yang digagas oleh Rant Corporation di Amerika dan menularkan berbagai pemahamannya di dunia Islam yang bertujuan untuk mengantisipasi radikalisme, terorisme dan fundamentalisme tentunya perlu menjadi analisis dan kajian dalam sikap positif dan negatif, artinya satu sisi kita perlu mendukung gerakan anti teror dan menyatakan bahwa terorisme adalah musuh semua agama namun dibalik itu perlu juga sikap negatif dalam bentuk kewaspadaan dimana moderasi yang digaungkan bisa menjadi alat dab sarana mereduksi ajaran Islam dan semangat kebangkitan Islam

Semoga semua pihak selalu berhati-hati dan moderat (adil) dalam menyikapi gerakan moderasi beragama dan kiranya apa yang kita rasakan menyimpang dan jika ditemukan arah menuju jurang pelanggaran ajaran Islam dapat disampaikan dengan lantang, karena kebenaran haruslah disuarakan meskipun terasa pahit (kulil haq walau kana murad)

Terutama kalangan akademisi dan perguruan tinggi bahwa hasil “World Declaration of Higher Education” yang perlu dikutip di sini adalah tentang peran etik, otonomi, tanggungjawab dan fungsi antisipatif perguruan tinggi. Dalam hal ini perguruan tinggi berkewajiban: 
1. Memelihara dan mengembangkan fungsi-fungsi krusialnya melalui penegakan etik dan keteguhan ilmiah dan intelektual melalui berbagai aktivitasnya. 
2. Mampu berbicara lantang dan tegas tentang masalah-masalah etik, kebudayaan dan sosial secara independen dan, dengan kesadaran penuh tentang tanggungjawabnya; menegakkan otoritas intelektual yang diperlukan masyarakat dalam berefleksi, memahami, dan bertindak. 
3. Memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa depan (future oriented) melalui analisis yang berkelanjutan tentang kecenderungan perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang sedang tumbuh; dan sekaligus memberikan fokus bagi prediksi, peringatan dan pencegahan. 
4. Menegakkan kapasitas intelektual dan prestise moralnya untuk membela dan secara aktif menyebarkan nilai-nilai yang telah diterima secara universal, termasuk perdamaian, keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas, seperti disinggung dalam Konstitusi UNESCO. 
5. Menikmati kebebasan dan otonomi akademis, seperti terlihat dalam hak-hak dan kewajiban, sementara tetap bertanggungjawab sepenuhnya (fully responsible) dan accountable kepada masyarakat. 
6. Memainkan peran dalam membantu mengidentifikasi dan menjawab masalah-masalah yang mempengaruhi kesejahteraan berbagai komunitas, bangsa, dan masyarakat global.

Wallahua’lam bissawab

Oleh : Safrudin
Mahasiswa pasca sarjana IAIN Bukitinggi/ketua FPKS DPRD Agam

IKLAN HPN

Related Articles

Iklan
Iklan
Iklan
Iklan
Iklan
Iklan
Iklan
Iklan
Iklan
Iklan
Iklan

Latest Articles