Kota Solok, Investigasi.News โ Dugaan penyalahgunaan Dana Bagi Hasil (DBH) sawit di Kota Solok menjadi sorotan publik. Isu ini tidak hanya memunculkan kekecewaan masyarakat, tetapi juga menyayat kepercayaan terhadap tata kelola keuangan daerah. Terlebih, kasus ini diduga berdampak besar pada pelaksanaan APBD Kota Solok tahun 2024.
Ketua Gerakan Pemuda Anti Korupsi Solok (GEPAK), Bram Pratama, menyampaikan kritik tajam terhadap Aparat Penegak Hukum (APH) di Kota Solok, baik kepolisian maupun kejaksaan. Ia menilai lambannya penanganan dugaan korupsi, termasuk dalam pengungkapan penyalahgunaan keuangan negara, menciptakan kesan seolah-olah APH tutup mata. โKorupsi adalah kejahatan kejam yang merugikan negara. Kita butuh tindakan nyata, bukan kompromi,โ tegas Bram.
**Fenomena Tunda Bayar Proyek Infrastruktur**
Di akhir 2024, Kota Solok menghadapi fenomena *tunda bayar* yang menjadi pembicaraan hangat di kalangan kontraktor. Proyek infrastruktur senilai miliaran rupiah yang telah selesai 100% tidak dapat dibayarkan karena kekosongan kas daerah. Kondisi ini diklaim disebabkan oleh keterlambatan pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat dan provinsi.
Namun, situasi ini menjadi tanda tanya besar. Salah satu proyek, yaitu pengaspalan jalan dan pembuatan drainase di kawasan kebun sawit Payo, diduga tetap dibayarkan meskipun tidak melalui proses tender. Proyek tersebut menggunakan DBH sawit senilai Rp 6 miliar, namun keberadaannya tidak pernah dibahas di DPRD Kota Solok. โBagaimana mungkin ada proyek strategis senilai miliaran rupiah, tetapi DPRD tidak mengetahui detailnya?โ tanya Bram.
**Ketimpangan dalam Pengelolaan Anggaran**
Menurut beberapa praktisi hukum yang enggan disebutkan namanya, kebijakan terkait proyek di kebun sawit ini menimbulkan banyak kejanggalan. Anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk proyek-proyek prioritas justru digunakan untuk infrastruktur yang diduga tidak mendesak. โDana Bagi Hasil harusnya digunakan untuk pembangunan yang langsung bermanfaat bagi masyarakat, bukan proyek yang merugikan publik,โ ungkap salah satu praktisi.
Ketua GEPAK juga mengungkapkan kekecewaan mendalam terhadap pengelolaan anggaran ini. โDBH sawit seharusnya menjadi solusi bagi proyek-proyek yang *tunda bayar*. Tapi malah digunakan untuk pembangunan di kawasan kebun sawit pribadi. Ini tidak hanya melukai keadilan, tetapi juga menjadi bukti nyata ketidakberesan tata kelola anggaran di Kota Solok,โ tambah Bram.
**Proses Penyusunan APBD yang Bermasalah**
Secara prosedural, penyusunan perubahan APBD melibatkan serangkaian proses, mulai dari penyampaian Rancangan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) hingga pembahasan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD. Namun, kasus DBH sawit di Kota Solok justru menunjukkan adanya ketimpangan dalam pelaksanaannya. โKebijakan ini seharusnya melewati tahap evaluasi dan kesepakatan bersama DPRD, tetapi kenyataannya ada proyek yang terkesan dipaksakan,โ ujar Bram.
**Tuntutan Transparansi dan Keberanian APH**
Publik Kota Solok kini menunggu keberanian APH untuk mengusut tuntas kasus ini. Lambannya tindakan penegak hukum hanya memperburuk citra lembaga tersebut di mata masyarakat. โKita butuh transparansi dan penegakan hukum yang adil. Jangan sampai kasus ini menjadi preseden buruk bagi pengelolaan keuangan daerah,โ pungkas Bram.
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Dengan sorotan tajam dari masyarakat, diharapkan Pemkot Solok dapat memperbaiki tata kelola anggaran demi kepercayaan publik dan kemajuan daerah.
Wahyu Ega