Pamekasan, Investigasi.news – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menindak lanjuti Sarasehan Nasional Ekosistem Pertembakauan dengan mengunjungi pelaku industri hasil tembakau Haji Solehudin di Pamekasan Madura, Senin (6/3/2023).
LaNyalla yang juga sedang melakukan kunjungan reses di Jawa Timur, mengatakan siap menindaklanjuti permasalahan seputar wacana Revisi PP No. 109 Tahun 2012. LaNyalla sendiri membedah permasalahan ini dari tiga perspektif untuk menemukan jalan keluar terbaik dan saling menguntungkan untuk semua. “Yang pertama adalah dari perspektif Kesehatan. Isu dan kampanye pembatasan atau bahkan kampanye stop merokok adalah isu global. Mau tidak mau masalah ini akan menyasar seluruh dunia, termasuk Indonesia,” katanya. Senator asal Jawa Timur itu menambahkan, bagi Indonesia tembakau adalah komoditas perkebunan yang melibatkan banyak stakeholder.
“Tentu tentu pilihannya hanya satu yaitu mempercepat studi dan riset untuk pengembangan secara masif hasil olahan tembakau selain rokok. Sebab, sampai hari ini saya belum melihat keseriusan Pemerintah secara nasional dengan melibatkan semua stakeholder, termasuk lembaga Riset seperti BRIN, dalam mempercepat produksi massal hasil olahan tembakau non-rokok. Baik itu untuk kepentingan pangan, farmasi, pestisida maupun industri lainnya,” katanya.
Untuk itu, ia berharap Kadin dapat mendorong terwujudnya upaya yang terukur dan cepat untuk mengejar produksi massal hasil olahan tembakau non-rokok. Perspektif kedua yang disampaikan adalah cara pandang dan pilihan data serta angka masih berbeda antara Pemerintah dan masyarakat tembakau. Sehingga terjadi perbedaan perspektif antara Pemerintah dengan para pemangku kepentingan pertembakauan dalam penyajian data dan angka.
“Data ini hal penting. Karena cara pandang terhadap data dan angka yang tidak sama, mengakibatkan terjadinya perbedaan pandangan dalam menentukan sikap. Terutama bagi Pemerintah dalam mengambil kebijakan,” katanya. Data yang disajikan Masyarakat Pertembakauan menyatakan bahwa telah terjadi penurunan prevalensi merokok anak usia 18 tahun ke bawah, secara signifikan dari 9,65 persen pada tahun 2018 menjadi 3,69 persen pada tahun 2021.
Sementara pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, justru merilis data peningkatan jumlah penjualan rokok. Disebutkan jika penjualan rokok meningkat 7,2 persen dari 276,2 miliar batang di tahun 2020 menjadi 296,2 miliar batang di tahun 2021, seperti dilansir CNBC Indonesia.
Pemerintah juga menggunakan data yang dilansir GATS, yang menyatakan bahwa 3 dari 4 orang mulai merokok pada usia kurang dari 20 tahun. Kementerian Keuangan juga melansir data biaya perawatan untuk penyakit akibat merokok juga sangat besar yaitu Rp 596.6 Triliun di tahun 2017, dimana jumlah tersebut 4 kali lipat lebih tinggi dari pada penerimaan cukai hasil tembakau di tahun yang sama yang mencapai angka Rp 147.7 Triliun.
“Semua pihak harus akan berbicara dalam konteks yang apple to apple. Karena tidak mungkin data dari pemangku pertembakauan yang menyatakan jumlah anak perokok menurun, dijawab dengan jumlah penjualan rokok yang meningkat secara nasional. Tentu tidak apple to apple,” ujarnya.
Yang ketiga yaitu paradoksal mengenai fakta bahwa impor tembakau memiliki kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun. Merujuk data dari Badan Pusat Statistik, impor tembakau Indonesia melonjak dalam tiga tahun terakhir dari 110 ribu ton pada tahun 2019, menjadi hampir 117 ribu ton pada tahun 2021. Terbanyak kita impor dari China. Disusul Brazil, India, Turki dan Zimbabwe serta beberapa negara lainnya.
“Importasi daun tembakau ini tentu semakin membuat petani tembakau Indonesia terpuruk. Karena posisi tawar mereka terhadap Pabrik Rokok dan Gudang Tembakau semakin melemah. Seharusnya pemerintah memberlakukan kewajiban serap produk petani tembakau Indonesia. Terhadap hal ini, KADIN juga harus mengambil peran agar terjadi pengetatan izin impor daun tembakau,” katanya. (*)