Cilacap, Investigasi.news– Di tengah jargon “pendidikan gratis” yang terus digembar-gemborkan pemerintah, kenyataan di lapangan justru berkata lain. Sekolah-sekolah negeri, yang semestinya menjadi garda depan pemerataan pendidikan, diduga menjadi ladang subur bagi praktik pungutan liar (pungli) yang dikemas manis dalam nama “sumbangan sukarela”.
Salah satu kasus yang mencuat datang dari SMP Negeri 2 Gandrungmangu, Kecamatan Gandrungmangu, Kabupaten Cilacap. Sejumlah wali murid mengeluhkan tingginya nominal pungutan yang dibebankan kepada mereka. Meski diberi label “sumbangan”, faktanya banyak orang tua yang merasa tertekan karena diminta mencicil pembayaran dalam jumlah tetap—satu pola yang tidak pernah dikenal dalam konsep sumbangan sejati.
“Kalau benar itu sumbangan sukarela, mestinya ada kotak amal, bukan daftar tagihan. Tidak ada sumbangan yang bisa dicicil, yang ada itu iuran,” ujar salah satu wali murid yang kami wawancarai secara anonim, dengan nada kecewa.
Berbagai media telah mengangkat temuan ini sejak beberapa pekan lalu. Namun hingga saat ini, belum ada sikap tegas dari pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Awak media telah mencoba mengonfirmasi langsung kepada Kepala Bidang Pendidikan Dasar (Kabid Dikdas), Sukamto, pada Selasa, 18 Maret 2025. Namun pesan yang dikirim tidak mendapat balasan.
Upaya konfirmasi juga dilanjutkan kepada Pj Sekda Kabupaten Cilacap, Sadmoko Danardono, M.Si, pada Kamis, 27 Maret 2025. Lagi-lagi, meski semua data dan pemberitaan telah dikirimkan lengkap melalui WhatsApp, tidak ada satu pun jawaban atau klarifikasi yang diberikan hingga berita ini dipublikasikan.
Ironisnya, praktik pungutan yang serupa tidak hanya terjadi di satu sekolah. Aktivis penggerak anti korupsi, yang akrab disapa TO, menegaskan bahwa pola serupa telah lama berlangsung di banyak sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Cilacap.
“Pungli ini sudah seperti tradisi yang dilegalkan. Disamarkan lewat istilah ‘sumbangan’ yang wajib. Anehnya, makin ramai diberitakan, makin tidak takut pelakunya. Sudah tidak malu lagi kepada publik,” ujarnya.
TO mendesak Gubernur Jawa Tengah untuk segera turun tangan dan membentuk tim investigasi independen guna mengungkap jaringan pungli yang diduga telah mengakar kuat di sektor pendidikan. Tanpa peran aktif dari pemerintah provinsi dan pusat, katanya, praktik ini akan terus hidup dan bahkan berkembang.
“Selama tidak ada intervensi langsung dari Gubernur atau Kementerian, pungli akan tetap merajalela. Pihak sekolah tidak akan berubah karena merasa dilindungi oleh pembiaran sistemik,” tambah TO.
Yang lebih memprihatinkan, modus pungli kerap kali dibungkus dengan dalih kebutuhan pembangunan fisik sekolah, rehabilitasi lokal, atau pengadaan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang secara sepihak dipisahkan dari buku pelajaran. Padahal, semua kebutuhan pokok sekolah telah ditanggung melalui Dana BOS yang setiap tahun dikucurkan oleh negara.
Ketika beban ini terus dipaksakan kepada orang tua murid, akibatnya pun tidak bisa dihindari. Tak sedikit siswa terpaksa berhenti sekolah karena orang tua mereka tidak mampu memenuhi “sumbangan wajib” tersebut. Di sinilah pendidikan gratis berubah menjadi mitos yang terus dijual namun tak pernah benar-benar sampai ke rakyat.
“Kalau semua beban dibebankan kepada orang tua, untuk apa ada anggaran pendidikan triliunan rupiah setiap tahun? Program pemerintah jadi jalan di tempat karena rakyat selalu dibebani. Dan yang paling menyedihkan, anak-anak kita yang menanggung akibatnya,” pungkas TO.
Kini masyarakat bertanya, apakah Permendikbud yang menjadi dasar aturan sekolah telah dimanfaatkan secara menyimpang? Apakah ini benar-benar aturan, atau telah berubah menjadi pembenaran? Dan siapa sebenarnya yang menikmati sistem pungli berkedok legalitas ini?
Wajah pendidikan di Cilacap sedang terluka. Dan lukanya bukan karena kekurangan dana, melainkan karena pengkhianatan terhadap nilai-nilai kejujuran yang seharusnya diajarkan pertama kali di bangku sekolah.
Tim