Malut, Investigasi.news – Memasuki tahun ke-3 pemerintahan Fifian Adeningsi Mus Bupati Kab. Kepulauan Sula-Provinsi Maluku Utara, visi *Sula Bahagia* yang menjadi jargon kampanye Bupati perempuan pertama di Maluku Utara ini masih menjadi tanda tanya, apakah sudah dirasakan oleh keseluruhan masyarakat Sula atau hanya sekedar rekayasa dan jauh dari kata nyata, karena pada satu sisi ada keluhan dari masyarakat bawah, mereka mengeluh bahkan ada yang sampai menangis, mengadu tentang sulitnya perekonomian di Sula hari ini, ada tukang ojek yang keluhkan pendapatannya yang menurun drastis karena kurangnya penumpang, kemudian ada juga penjual sayur yang menangis menceritakan hasil jualannya yang merosot tajam akibat kurangnya pembeli, lalu apakah fenomena ini bisa disimpulkan jika daya beli dan atau daya konsumsi masyarakat Sula menurun akibat anjloknya pendapatan mereka?
Sementara pada sejumlah ATM di kota Sanana tidak lagi terlihat antrian, kembali menjadi pertanyaan ATM yang tidak ada uang atau nasabahnya yang kurang mempunyai saldo, berbagai implikasi diatas kemudian disoroti 3 anak muda Sula: *Reza Zidani Mahendra Pora, Raski Soamole dan Andrian Galela*, mari kita simak apa kata mereka (15/10).
Yang pertama dari Reza, aktivis anti korupsi dan pemerhati pembangunan di Sula. Reza mengira jika konsep bahagia ala Bupati Sula hanya seremonial belaka, karena memasuki tahun ke-3 hampir tidak dirasakan pembangunan yang yang bisa dinikmati oleh masyarakat.
”Tahun ke-3 berkuasa, yang saya lihat Bupati Sula hanya menghambur-hamburkan APBD dengan berbagai kegiatan yang sifatnya hanya seremonial tanpa dukungan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi di Sula, bayangkan semua kegiatan dihelat di jakarta, di Bali, di Manado tidak mau memberikan sumbangsih ekonomi buat daerah sendiri”, ujar Reza.
Senada dengan Reza, Raski mantan presiden BEM STAI Babussalam Kepulauan Sula mengatakan jika konsep Sula Bahagia ala Bupati Sula Fifian Adeningsi Mus mengadopsi budaya hedonisme.
“Mereka (pemerintah daerah-red) menerapkan budaya hedonisme dengan berbagai kegiatan hura-hura ketimbang memikirkan hajat hidup orang banyak dan kemaslahatan umat”, kata Raski.
Pemuda dari kepulauan Mangoli ini mencotohkan kegiatan Festival Tanjung Waka/FTW yang tahun ini dua kali dilaksanakan, menurutnya hanya menghabiskan uang daerah tanpa menghasilkan PAD yang signifikan.
”Setiap momentum ulang tahun selalu merayakan pesta pora yang tidak masuk akal, termasuk HUT Bupati kemarin yang kemudian disoroti masyarakat”, lanjutnya.
Raski juga menggaris bawahi beberapa proyek pembangunan jalan yang gagal direalisasi, sehingga gagal pula untuk bisa dinikmati masyarakat.
Setali tiga uang dengan Reza dan Raski, Adrian Galela aktivis pergerakan di Kab. Kepulauan Sula juga menganggap jika visi Sula bahagia ala Bupati Sula hanya rekayasa semata.
”Berangkat dari realitas sosial yang ada di Kepulauan Sula, maka visi Bahagia yang dicanangkan Bupati Sula itu gagal total”, pungkas Adrian.
Lihat saja pembangunan infrastruktur yang tidak berjalan dengan baik, kemudian masalah kedaulatan pangan dimana Sula masih impor beras dari daerah lain, sementara ketahanan pangan kita sangat rapuh, hanya seremonial mengenalkan pangan lokal sementara pembinaannya nol, saksikan program kebun singkong yang hancur di dinas pertanian, kemudian tidak tersedianya lapangan pekerjaan di Sula juga menambah berbagai permasalahan yang ada.
“Jangan kemudian dengan menyelenggarakan FTW kemudian bikin pesta pora pada setiap HUT itu dikategorikan sebagai Sula Bahagia”, tolak Adrian.
Ketiga anak muda ini secara gamblang menyuarakan suara mereka akan situasi daerah (sitda) di Kabupaten Kepulauan Sula, negeri tercinta Dad Hia Ted Sua.
Ini bukan persoalan suka atau tidak suka kepada siapa yang berkuasa saat ini, tapi ini lebih kepada kegelisahan dari kelompok ’agen of social control’ di Sula.
( RL )