Bangun Kemandirian Pangan dari Akar: Rumah Dinas Camat Pakisaji Jadi Contoh Ketahanan Pangan Mandiri

Baca Juga

Pakisaji, investigasi.news – Di tengah kompleksitas persoalan pangan global dan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan dasar, Kecamatan Pakisaji tampil sebagai pionir dengan sebuah gebrakan lokal yang sederhana, namun sarat makna. Rumah Dinas Camat Pakisaji kini tidak lagi hanya menjadi simbol administratif, tetapi menjelma menjadi ruang hidup yang edukatif, produktif, dan inspiratif.

Di bawah kepemimpinan Camat Pakisaji, Endah Sriyati, S.IP., tempat tinggal resmi seorang pemimpin kecamatan kini disulap menjadi pusat percontohan Ketahanan Pangan Mandiri. Bukan sekadar wacana atau proyek seremonial, rumah dinas ini benar-benar dihidupkan sebagai kebun pangan yang produktif, sekaligus pusat pembelajaran masyarakat dalam mengelola pangan dari halaman sendiri.

Konsep yang diusung sangat membumi: memanfaatkan lahan seadanya untuk menanam sayur-mayur, buah-buahan, dan rempah secara organik; memelihara ayam kampung, ayam petelur, lele, hingga burung dara; serta menerapkan teknik budidamber—budidaya lele dalam ember—yang hemat tempat namun sangat efisien. Di setiap sudut halaman, tampak aktivitas nyata yang mencerminkan semangat kemandirian pangan.

Menurut Camat Endah, inisiatif ini berangkat dari keprihatinan atas makin tingginya ketergantungan masyarakat terhadap pasokan pangan dari luar, bahkan untuk kebutuhan dasar. Ia ingin mengubah cara pandang masyarakat bahwa pangan tidak harus selalu dibeli, melainkan bisa diproduksi sendiri, mulai dari skala rumah tangga.

“Ketahanan pangan harus dimulai dari rumah. Kami ingin Rumah Dinas ini tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga tempat belajar, tempat inspirasi. Dari sini, masyarakat bisa melihat bahwa dengan niat dan usaha, semua bisa mandiri,” ungkapnya.

Program ini memiliki cakupan yang luas, mulai dari peningkatan kesadaran warga, edukasi teknik bercocok tanam dan beternak, hingga penguatan jaringan distribusi dan pemasaran produk hasil olahan rumah tangga. Bahkan, di tengah keterbatasan lahan, warga diajak berinovasi menggunakan media tanam alternatif seperti hidroponik, vertikultur, serta memanfaatkan limbah plastik sebagai pot dan wadah tanam. Semua dilakukan dengan pendekatan swadaya dan partisipatif.

Tak hanya itu, Rumah Dinas juga dijadikan ruang diskusi dan pelatihan terbuka. Warga dari berbagai latar belakang—ibu rumah tangga, pelajar, petani muda, hingga kader PKK—datang untuk belajar langsung bagaimana memulai kebun pangan keluarga. Kegiatan ini berlangsung rutin, didampingi oleh narasumber dari penyuluh pertanian, komunitas urban farming, serta pelaku UMKM pangan lokal.

Lebih dari sekadar gerakan lingkungan atau pertanian, program ini membawa misi sosial yang kuat: membangun ketahanan sosial berbasis komunitas. Warga diajak untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan sendiri, tetapi juga membangun jejaring ekonomi mikro melalui penjualan hasil panen, bibit tanaman, atau produk olahan rumah tangga seperti telur kampung, cabai segar, dan tanaman obat.

Demi keberlanjutan, pemerintah kecamatan menggandeng berbagai pihak untuk memperluas dampaknya. Kolaborasi dijalin dengan kelompok tani, UMKM, koperasi, hingga industri pangan lokal. Tak hanya soal produksi, aspek distribusi juga dipikirkan matang. Perencanaan sistem logistik sederhana berbasis komunitas tengah dirancang agar distribusi hasil panen lebih efisien dan adil. Harapannya, produk pangan lokal bisa sampai ke tangan konsumen tanpa rantai distribusi yang panjang dan mahal.

Langkah ini selaras dengan arah kebijakan Pemerintah Kabupaten Malang dalam mendorong ketahanan pangan berbasis wilayah. Di tengah fluktuasi harga pangan, krisis iklim, dan tekanan ekonomi, gerakan semacam ini menjadi strategi adaptif yang tidak hanya menyelesaikan masalah hari ini, tetapi juga membentuk ketangguhan masyarakat di masa depan.

Dampaknya mulai terlihat. Beberapa warga yang sebelumnya tidak tertarik kini ikut menanam cabai dan sayuran di pekarangan. Beberapa kelompok ibu rumah tangga bahkan sudah mulai memasarkan hasil panen dalam skala kecil. Tak sedikit pelajar yang datang membawa pertanyaan dan antusiasme—sebuah pertanda bahwa gerakan ini mulai menyentuh lapisan yang lebih dalam: kesadaran kolektif.

“Dari kebun kecil di halaman rumah, bisa tumbuh harapan besar untuk ketahanan bangsa,” ujar Endah dengan penuh semangat.

Gerakan ini menunjukkan bahwa solusi besar tidak harus dimulai dari pusat kekuasaan atau anggaran besar. Di Pakisaji, semuanya bermula dari lahan kecil, niat besar, dan kemauan untuk berbagi. Dan siapa sangka, sebuah rumah dinas yang dulu hanya berfungsi sebagai tempat tinggal kini menjadi simbol pergerakan pangan mandiri yang potensial menginspirasi daerah lain di Indonesia.

Guh

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest

More articles