Malut, investigasi.news-Proses pungut dan hitung suara yang menjadi tahapan pemilu memang telah selesai, saat ini kita (masyarakat Kab. Kepulauan Sula) tengah menanti pleno dari rekapitulasi suara tingkat kecamatan.
Namun ada catatan kelam yang sesungguhnya tidak bisa kita lupakan pada pemilu 2024 ini, khususnya pada pileg, terkait ini pasti nurani anda mengakuinya, meski tirani anda coba menafikannya.
Banyak orang mengatakan jika pileg 2024 menjadi pemilihan terburuk sepanjang digelarnya pemilihan legislatif di Kab. Kepulauan Sula, namun bagian orang lainnya pasti menentang ini karena mereka adalah orang yang diuntungkan dari praktek kotor dari mereka yang punya kekuasaan dan uang, sebut saja mereka itu ‘setan’.
Asas dari pemilihan umum (pemilu) yakni Luber dan Jurdil hampir tidak berlaku di Sula, karena akronim pada singkatan tadi yaitu Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia, kemudian Jujur dan Adil hampir tidak mempunyai makna pada pemilihan di negeri dad hia ted sua pada 14 Februari kemarin, karena ruang kebebasan dalam memilih hampir tidak ada akibat hebatnya arahan dan tekanan dari penguasa, ada dugaan kuat ASN dan Honorer diarahkan, begitu juga Kades, Kapus, Camat yang semua ditekan bahwa kepada siapa game ini harus dimenangkan, keadaan makin tambah parah ketika money politik menggilas asas jujur dan adil.
Hal diatas tadi sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, sayangnya tidak ada satu orang pun yang berani buka suara secara formal.
Faktanya meski adanya pihak penyelenggara, namun kembali lagi bahwa KPU dan Bawaslu juga manusia sehingga tidak ada yang sempurna tanpa cela dan dosa.
Fenomena di suatu desa tradisi dewan punah setelah 15 tahun belakangan ini selalu ada anggota DPRD Kabupaten dari desa tersebut, atau postingan Bung Hendrik Muliacim tentang keoknya anak kampung akibat dari biadabnya praktek money politic hingga tekanan kekuasan, atau curhatan dari Evy Soamole yang menceritakan Ayahnya dikhianati saudara sendiri, sebenarnya adalah deretan akibat atas sebab yang dimainkan oleh setan-setan demokrasi tadi.
Bahkan politik kekeluargaan yang menjadi ciri khas orang di Kepulauan Sula menjadi tak berdaya ketika pejabat (misalnya) sekelas Sekda memberikan tekanan kepada orang-orang dibawahnya untuk memenangkan orang tertentu, maka dari itu demi pangkat, jabatan, kedudukan, status dan lain sebagainya maka harus patuh dan tunduk dibawah arahan Sekda dan mengabaikan saudaranya sendiri.
Ada orang mengatakan jika pileg 2024 lebih jahat dari pileg-pileg yang ada sebelumnya, makanya wajar jika dalam internal partai saja saling sikut.
Coba anda perhatikan perebutan kursi pada dapil I Partai Golkar, itu berlangsung ketat dan panas karena di internal mereka sendiri ’baku-bunuh’, korbannya adalah salah satu caleg yang dalam hitungan jam posisinya dari urutan ke-2 melorot ke urutan ke-3 dan keluar dari titik orbit perebutan kursi DPRD Kabupaten Sula dari partai pohon beringin, mengapa hal ini menjadi menarik karena terkuak fakta bahwa form C pemungutan suara caleg partai Golkar didapil ini banyak di Tipe-X, kemudian rumor kencang berhembus bahwa ada pejabat Pemda Sula yang main kasar dan nekad untuk memenangkan saudaranya, Wallahu A’lam Bishawab.
Yang terjadi di dapil I, hampir merata terjadi pada dapil lainnya, karena arahan dari atas adalah memenangkan partai tertentu dengan caleg tertentu pula.
Meski arahan tersebut tidak 100% berjalan mulus dan terkadang berbenturan, namun paling tidak arahan dan tekanan setan-setan demokrasi tadi menjadi momok bagi mereka di bilik suara.
Kemudian pada dapil II, tekanan luar bisa juga dilayangkan oleh pejabat tadi, untuk memenangkan koleganya, dilain pihak ada pejabat lain yang tidak terima karena dia juga punya ayam jago, namun meski arahan berbenturan hasil dilapangan tetap patuh kepada arahan Mayor ketimbang Sersan hal ini merujuk pada (contohnya) arahan Sekda tentu lebih kuat ketimbang tekanan kepala atau badan dinas.
Kejadian ini tentu tidak menggembirakan bagi caleg yang murni punya visi dan misi, yang serius ingin membangun daerah ini, atau punya niat untuk membenahi tatanan politik dan demokrasi, karena akhirnya mereka hanya menjadi pelengkap hingar-bingarnya pesta demokrasi ini, kemudian tentu kita semua tau prodak yang dihasilkan oleh pileg kali ini.
Maka jangan pernah protes jika lima tahun kedepan nanti DPRD Sula (andaikan) tidak bisa berbuat apa-apa atas segala permasalahan yang ada, atau DPRD kurang menyerap aspirasi masyarakat, karena tadi proses perekrutan dan seleksi mereka jauh dari prinsip dan nilai-nilai berdemokrasi.
Terkahir, coba anda renungkan, psikologis saudara kita saat ada di bilik suara, bagaimana arahan, tekanan dan uang menjadi pengarah kemana paku pencoblos, dan sesungguhnya pada pileg Kab. Kepulauan Sula ada Setan di bilik suara.
Semoga tulisan ini bisa menjadi catatan bagi kita semua, andai ada yang tidak berkenan dari coretan ini silahkan anda buat rilisan pembanding sehingga kita bisa sehat dalam menyampaikan wacana dan opini, terima kasih.
Oleh:
*Rahman Latuconsina, SH*
Jurnalis Sula.