Malut, Investigasi.news – Ahmad Hidayat Mus (AHM) mantan Bupati Kepulauan Sula dua periode (2006-2011, 2011-2016) berkunjung ke Sula dalam rangka mengkampanyekan Capres dan Cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran yang memang diusung partai Golkar.
Sebagai mantan kepala daerah dan tokoh politik, tentu saja kedatangan AHM menjadi perhatian media untuk memburunya menjadi berita, walaupun sambutan masyarakat Sula sendiri biasa-biasa saja.
Namun yang menarik, disela mengkampanyekan paslon capres dan cawapres nomor 2, AHM sempat gembar-gembor bahwa dirinya dan partai Golkar Sula tidak lagi mendukung Ningsi (adik kandungnya yang menjabat sebagai Bupati Sula saat ini) pada pilkada 2024 mendatang.
Dari pernyataan AHM ini kemudian banyak mengartikulasikan, sebenarnya apa maksud dari mantan narapidana korupsi pengadaan lahan bandara di Bobong.
”Sikap AHM itu ambigu dan terkesan hanya sekedar branding politik atau uji publik, apakah adik perempuannya itu masih diterima oleh masyarakat Sula atau tidak”, ungkap Mukhlis Fataruba, Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Pattimura-Ambon, melalui pesan di WhatsApp.
Lebih lanjut akademisi ini mengatakan, sikap AHM itu sah-sah saja, tapikan Momentum pilkada masih jauh, sementara hari ini semua politisi lagi konsentrasi untuk pileg dan pilpres.
”Jadi patut dipertanyakan, apakah AHM sedang mempraktekkan peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui atau gimana? Ini mengingat bahwa dirinya juga menyatakan akan kembali bertarung di Pilgub”, imbuh Mukhlis
Dia juga mengingatkan kepada masyarakat agar jangan euforia terhadap sinyalemen yang di sampaikan oleh AHM menyangkut Bupati Ningsi.
“Jangan terjebak lagi dengan rayuan gombal yang disampaikan oleh AHM hari ini, karena dulu pada pilkada 2020 ada rumor bahwa AHM tidak mendukung FAM (Ningsi-red), namun fakta akhirnya membuktikan kakak tidak bisa buang adik”, pungkas Mukhlis.
Sikap AHM itu bisa jadi menutupi wacana politik dinasti yang saat ini sedang panas diperbincangkan, agar tidak menjadi sorotan publik pada tingkat lokal, imbuhnya.
”Bagi saya, bahasa gula-gula saja tuh, hal itu sama dengan proses mem-batamila-kan (Bahasa Sula yang artinya pembodohan) rakyat Sula”, tutup pria yang tercatat sebagai Ketua Wilayah Maluku PERGUNU (Persatuan Guru NU).
( RL )