Sampah Kota Sanana Bisa Hasilkan ‘Cuan’ Ratusan Juta

Baca Juga

Malut, Investigasi.news – Sampah, kata yang sering terdengar kotor, hina, dan tak berguna. Ia dijauhkan, dibuang, bahkan dilupakan. Tapi siapa sangka, di balik bau dan warnanya yang tak sedap, tersembunyi rupiah yang tak sedikit, rezeki yang terhampar, dan harapan yang menanti untuk diolah. Sampah bukan musuh, ia adalah kekayaan yang hanya butuh mata yang berbeda untuk melihatnya.

Di setiap kota, sampah hadir tanpa ditunggu. Ia datang bersamaan dengan aktivitas harian warganya: dari dapur, dari pasar, dari kantor, dari sekolah. Sayangnya, kehadiran yang konstan ini seringkali tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan yang bernilai ekonomi. Padahal, jika dikelola dengan tepat, sampah bukan sekadar beban, melainkan bisa menjadi sumber penghidupan. Bahkan, bisa menjadi ladang usaha yang membuka banyak pintu pekerjaan dan kesejahteraan baru.

Yang menarik dan sekaligus menggugah kesadaran kita adalah kenyataan bahwa di Kota Sanana, kota dengan lebih dari 30.000 jiwa penduduk, ada banyak orang dari luar yang datang hanya untuk mencari dan mengumpulkan sampah. Mereka memanfaatkan peluang yang tersedia, mengambil plastik-plastik bernilai jual, dan ”mendapatkan keuntungan nyata dari sampah yang ada di kota kita”, Sementara itu, kita sendiri hanya menjadi penonton. Ini bukan persoalan teknis, ini soal cara pandang, soal keberanian untuk memulai dan mengelola.

Dengan jumlah timbulan sampah harian lebih dari 20 ton, dan asumsi 15% dari total itu adalah sampah plastik, kita bicara potensi sekitar 3 ton per hari yang bernilai ekonomis. Jika harga jual bersihnya Rp2.500 per kilogram, maka dalam sehari ada potensi cuan sebesar ”Rp7.500.000,-” Dalam sebulan, potensi itu bisa mencapai ”Rp225 juta hanya dari sampah plastik”.

Dengan tata kelola manajemen yang tepat, potensi sampah di Kota Sanana bisa menghasilkan hampir setengah miliar rupiah, jika pihak yang mengelolanya mampu memaksimalkan sumber daya yang ada dan memahami cara kerja pengelolaan yang efisien dan berorientasi pada hasil.

Hal yang penting ditekankan adalah: saat ini belum ada sistem pengelolaan terpadu atau unit resmi pengolahan sampah di kota ini. Artinya, belum ada pihak yang tersingkir atau dirugikan, justru ini adalah kesempatan emas untuk membentuk sistem yang berpihak kepada masyarakat sejak awal.

Pemerintah daerah cukup mengambil peran sebagai fasilitator: memberi dukungan kepada kelompok pekerja atau pegiat sampah di setiap desa, yang bisa memulai dengan alat sederhana seperti mesin pencacah plastik manual, press, dan sarana penyimpanan. Dengan pelatihan dasar dan pendampingan teknis, para pekerja ini bisa menjadi garda depan pengelolaan sampah modern yang tidak hanya menjaga kebersihan lingkungan, tapi juga membuka lapangan usaha baru.

Kita tidak kekurangan sampah. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk melihatnya sebagai sumber daya dan peluang ekonomi. Selama ini kita hanya memungut dan membuang. Kini saatnya kita mulai mengelola dan mendapatkan.

Karena jika ada orang luar yang datang dan menemukan emas di tumpukan sampah kota kita, mengapa kita justru berdiri diam, sekadar menyaksikan? Bukankah sudah waktunya kita bukan hanya menyapu jalanan, tapi juga menyapu peluang dan menjadikannya rezeki yang bermartabat?

Sampah mungkin tak harum, tapi tangan yang mengelolanya bisa membawa kehidupan. Dari sisa yang dibuang, tumbuh harapan. Dari yang terbuang, hadir keberkahan. Maka marilah kita ubah pandangan, dari jijik menjadi jeli, dari cuek menjadi cerdas. Karena sejatinya, di balik tiap kantong plastik yang teronggok, tersimpan secercah masa depan yang menunggu dijemput, akhir kata dalam tulisan ini bahwa ”Sampah tak selalu kotor, jika cara pandang kita bersih”.

Oleh: Abdurrahman Kaka Duwila
(Pemerhati Lingkungan)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest

More articles