Tubaba, Investigasi.news – Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Tulang Bawang Tengah (TBT), Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba), tengah menghadapi tudingan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah ini diduga melanggar Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengisian dan Pemusnahan Blangko Ijazah.
Dalam Pasal 28C ayat 1 UUD 1945, ditegaskan bahwa setiap individu berhak mengembangkan diri melalui pendidikan tanpa hambatan. Namun, SMAN 3 TBT dituding menahan ijazah siswa dengan alasan administrasi dan sumbangan yang belum lunas—padahal hal ini jelas melanggar ketentuan yang ada.
Adrian, pengamat pendidikan di Tubaba, menilai penahanan ijazah adalah perampasan hak siswa. “Ijazah adalah hak siswa setelah lulus Ujian Akhir Nasional (UAN). Tidak ada dasar hukum yang membenarkan penahanan ijazah sebagai jaminan pembayaran biaya sekolah. Negara menjamin hak pendidikan setiap warganya sesuai UUD 1945,” tegas Adrian.
Kasus ini semakin jelas setelah SMAN 3 Tubaba akhirnya menyerahkan ijazah secara simbolis kepada salah satu siswa setelah proses sidik jari. Namun, penahanan Kartu Program Indonesia Pintar (PIP) siswa masih dipertahankan dengan alasan “keamanan”.
Kepala SMAN 3 Tubaba, Sukeri, mengklaim penahanan ijazah dilakukan untuk memastikan administrasi yang lengkap dari wali murid. “Kami tidak bisa memberikan ijazah sembarangan. Orang tua siswa harus menyelesaikan administrasi sebelum ijazah diberikan. Jika orang tua tidak datang, kami tidak bisa memberikan ijazah,” dalih Sukeri.
Sukeri juga membenarkan penahanan Kartu PIP dengan alasan keamanan, mengklaim kartu tersebut sering hilang jika diserahkan langsung kepada siswa. “Kami kumpulkan kartu PIP di sekolah untuk menghindari kehilangan, karena jika kartu hilang, kami yang akan repot membuat laporan,” ujarnya.
Namun, para wali murid mengeluhkan penahanan ijazah dan Kartu PIP. Cik Ning, seorang orang tua siswa, menyatakan ijazah anaknya telah ditahan lebih dari setahun. “Kami kesulitan melunasi tunggakan, dan ijazah anak saya belum diberikan. Bagaimana kami bisa melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan tanpa ijazah?” keluhnya.
Ela, orang tua lainnya, juga merasakan dampak serupa. “Kami bingung dengan penjelasan sekolah tentang gratisnya pendidikan. Anak saya belum mendapatkan ijazah dan sulit mencari kerja tanpa dokumen tersebut.”
Di sisi lain, Nilawati dan Egy, orang tua siswa penerima bantuan PIP, mengaku tidak mengetahui besaran bantuan karena kartu PIP masih dipegang sekolah. “Kami hanya tahu ada bantuan, tapi tidak tahu berapa jumlahnya. Kartu masih di tangan guru,” ujar mereka.
Kondisi ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara kebijakan sekolah dan hak-hak pendidikan yang seharusnya dijamin oleh negara.
Fitrah