Derap Langkah KI Sumbar, Tak Hanya Urgensi Hak untuk Tahu tapi Juga Konstruksi Sosial yang Strategis

More articles

spot_img

Komisi Informasi. Apa yang terlintas di benak Anda saat membaca kata-kata itu? Bisa jadi terlintas kerangka sebuah lembaga, badan, institusi, yang punya kaitan erat dengan informasi.

Ya, itu benar. Kemudian, informasi untuk siapa? Jawabannya adalah untuk Anda, untuk kita, yang muaranya adalah untuk kemajuan bangsa dan negara serta kesejahteraan segenap elemen di dalamnya.

Komisi Informasi, atau disingkat dengan KI, merupakan sebuah lembaga mandiri, lahir berdasarkan Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang berfungsi menjalankan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya, dan menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik.

KI membawa amanah yang mulia dalam eksekusi berbangsa dan bernegara, menciptakan transparansi yang mendukung kenyamanan masyarakat dalam mendukung berjalannya pembangunan dengan rasa kepercayaan yang tinggi dari masyarakat kepada semua unsur eksekutif. KI Pusat pertama kali bekerja pada tanggal 1 Mei 2010, didasarkan kepada pelaksanaan UU Keterbukaan Informasi Publik yang mensyaratkan pelaksanaan UU ini setelah dua tahun diundangkan oleh pemerintah.

Perpanjangan tangan KI Pusat di daerah, kemudian salah satunya, adalah KI Sumatera Barat (Sumbar), yang dibentuk pada tahun 2014, demi terciptanya keterbukaan informasi di setiap badan publik yang ada di Sumbar. Dalam menjalankan amanah sebagai lembaga pengusung transparansi badan publik, KI Sumbar memiliki visi Terwujudnya masyarakat informatif yang maju, partisipatif, dan berkepribadian bangsa melalui Komisi Informasi yang mandiri dan berkeadilan menuju Indonesia cerdas dan sejahtera.

Demi mencapai visinya, KI Sumbar pun menetapkan misi antara lain meningkatkan kesadaran kritis masyarakat agar mampu mengakses dan menggunakan informasi secara bertanggungjawab dan aktif berpartisipasi dalam proses pembuatan serta pelaksanaan kebijakan publik dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi; menguatkan kelembagaan Komisi Infomasi melalui konsolidasi, publikasi dan pendalaman wawasan, kompetensi serta distribusi tanggungjawab sesuai prinsip kesetaraan dan keadilan; mengoptimalkan kualitas kebijakan dan penyelesaian sengketa informasi publik dengan mengedepankan prinsip cepat, tepat waktu, biaya ringan dan sederhana; membangun kemitraan dengan stakeholders demi mengakselerasi masyarakat informasi menuju Indonesia cerdas dan sejahtera; dan meningkatkan kapasitas dan peran badan publik agar lebih proaktif dalam memberikan pelayanan informasi publik.

Seiring dalam menjalankan misinya, derap langkah KI Sumbar semakin terdengar. Sebanyak 19 kabupaten dan kota di Sumbar disosialisasikan mengenai apa itu keterbukaan informasi publik. Badan-badan publik di Sumbar pun diberitahu mengenai pentingnya keberadaan keterbukaan publik dan pentingnya mereka meladeni rasa ingin tahu masyarakat yang memang berada dalam porsi tujuan yang pas. Tak hanya upaya sosialisasi, aksi lain seperti gelaran lomba-lomba, kolaborasi dengan pers, dan agenda kunjungan kampus juga diusung KI Sumbar demi memasyarakatkan keterbukaan informasi publik.

Buahnya, sejauh ini, publik mulai mengenal apa itu keterbukaan informasi publik dan urgensinya. Badan publik juga mulai menyadari bahwa keterbukaan informasi publik itu merupakan keniscayaan yang akan membawa kemaslahatan bagi kinerja dan penerimaan masyarakat terhadap eksekutif itu sendiri. Buktinya, salah satu, adalah meningkatnya keterlibatan badan publik dalam Monev KI Sumbar tahun ini, mencapai 78,6 persen, dari periode Monev KI Sumbar sebelumnya yang sekitar 66 persen.

“Memang mengalami peningkatan, tapi masih 12 persen kenaikannya. Saya melihat KI periode saat ini masih belum sempurna upaya memasifkan keterbukaan informasi publik di ranah Sumbar ini,” ungkap seorang legislator yang merupakan salah seorang tokoh pejuang KI yang vokal menunjukkan keberpihakannya pada KI Sumbar, HM. Nurnas, beberapa waktu lalu mengungkapkan pada media di Sumbar.

Meski HM Nurnas menilai masih sedikit terjadi peningkatan, namun tetap pencapaian saat ini merupakan buah dari gerak langkah KI Sumbar yang berupaya untuk menyebarluaskan keberadaan dan manfaatnya. Ya, pekerjaan rumah KI Sumbar masih besar dalam sudut pandang legislator di atas. Namun tetap, di sisi lain, pencapaian yang sudah di titik sekarang dari KI Sumbar merupakan satu hal yang amat patut disyukuri dan diapresiasi.

Satu bukti pencapaian yang signifikan KI Sumbar di ranah Minang ini juga adalah telah disahkannya Perda KIP di tingkat legislatif Sumbar, yang tentunya berpayung pada UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

“Tentu adanya Perda ini (akan) meningkatkan pengelolaan informasi publik di Pemprov Sumbar. Dengan telah disahkannya Ranperda KIP menjadi Perda, tentu ini harus menjadi perhatian oleh PPID, jangan pula nanti Sekda yang jadi sasaran pidana, jika ada permintaan informasi olhe para pemohon informasi publik,” ujar HM. Nurnas beberapa waktu lalu saat berkomentar terkait dengan telah disahkannya Perda KIP di Sumbar Juli lalu.

Hak untuk Tahu dan Konstruksi Sosial

Derap lengkap KI Sumbar menunjukkan jejak hasil. Namun tetap masih banyak tugas yang perlu dicapai dan dituntaskan. Berbagai sumber daya dan kapasitas, termasuk SDM, masih perlu dimaksimalisasi penggunaannya. Masyarakat masih perlu tahu banyak mengenai hak untuk tahu, masih perlu memahami bahwa mereka bebas ingin tahu terkait penyelenggaraan pemerintahan oleh badan publik, di berbagai sektor, termasuk pendidikan. Namun yang jadi catatan adalah, hak ingin tahu tersebut berkaitan dengan kemaslahatan publik itu sendiri, bukan sembarangan asal ingin tahu tentunya!

Hak untuk tahu bahkan diperingati khusus dalam format Right to Know Day atau Hari Hak untuk Tahu, secara nasional dan internasional, yang jatuh pada 28 September tiap tahunnya. Ada sembilan nilai yang diusung melalui Hari Hak untuk Tahu. Nilai-nilai tersebut antara lain akses informasi merupakan hak setiap orang; informasi yang dirahasiakan adalah pengecualian; hak untuk tahu diaplikasikan di semua lembaga publik; permohonan informasi dibuat sederhana, cepat, dan gratis; pejabat pemerintah bertugas membantu pemohon informasi; setiap penolakan atas permohonan informasi harus berdasarkan alasan yang benar; kepentingan publik bisa menjadi preseden untuk membuka informasi rahasia, setiap orang memiliki hak untuk mengajukan keberatan atas putusan penolakan; badan publik harus mempublikasikan secara proaktif informasi tentang tugas pokok mereka; dan hak atas akses informasi ini harus dijamin oleh sebuah badan independen, di Indonesia melalui Komisi Informasi.

Nilai di atas dicakup dalam pergerakan sosialisasi KI Sumbar, tentunya. Namun lepas dari itu semua, muara akhir dari perjuangan Komisi Informasi, dalam hal ini KI Sumbar, adalah lebih kepada bahwa KI Sumbar andil sebagai sarana konstruksi sosial yang bermuara pada kesejahteraan warga negara. Bagaimana bisa?

Berger dan Luckmann, dalam buku yang berjudul The Sosial Contstruction of Reality (1967), memperkenalkan teori konstruksionisme sosial. Teori ini menyatakan bahwa orang mengembangkan pemahamannya tentang dunia dan realitas yang ada di sekitar berdasarkan asumsi bersama. Bahwa yang cantik itu adalah mereka perempuan berkulit putih, berambut panjang terurai, bertopografi tubuh bak biola, merupakan sebuah konstruksi sosial yang telah terbangun di tengah masyarakat Indonesia. Benar begitu? Lain lagi konstruksi sosial yang terbangun di masyarakat Jepang, misalnya, yang terbiasa pulang malamnya pelajar karena begitu banyak pelajaran tambahan yang diikuti mereka, maka konstruksi sosial yang terbangun adalah sah-sah saja remaja ‘berpakaian sekolah’ pulang malam, bukan berarti menghasilkan asumsi bahwa mereka pelajar nakal.

Sejak manusia diciptakan di muka bumi, telah banyak kontruksi sosial yang terbentuk. Konstruksi sosial ini tidak sama di setiap belahan dunia, tergantung kepada kultur yang ada, yang terbangun juga berdasarkan banyak faktor, seperti ekologi-ekologi yang terlibat di dalamnya. Namun poinnya adalah bahwa apa yang sudah berhasil andil dalam menciptakan satu konstruksi sosial adalah sesuatu yang powerful, paling tidak dalam melakukan persuasi, sehingga disadari atau pun tidak, tercipta satu pemikiran bersama yang secara umum ‘disepakati’.

Demikian juga keberadaan dan visi komisi informasi, yang muaranya tentu lebih besar dari sebatas keterbukaan informasi publik. Lebih jauh dari itu, muara ini semua adalah kesejahteraan warga negara, yang muncul berkat berjalannya pemerintahan yang adil dan transparan, sehingga menimbulkan kepercayaan yang besar dari rakyat yang terlibat di dalamnya. Meningkatnya kepercayaan publik terhadap pemerintah akan membuahkan situasi dan kondisi semakin ringan dan percaya dirinya pemerintah melangkah, sehingga totalitas upaya mensejahterakan rakyat juga mendapat porsi yang kuat. (berbagai sumber)

Penulis: SISCA OKTRI SANTI
Wartawan Utama

spot_img

Latest

spot_img