Malut, Investigasi.news – Pendidikan harus mampu menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual (Bung Karno).
Dari berbagai macam segi, problem yang berkaitan dengan kemajuan dan kemunduran suatu Peradaban Bangsa, di kesempatan ini saya pikir kampus adalah lembaga pendidikan yang menjadi titik sasaran untuk membicarakan tentang kemajuan peradaban bangsa. Karena kampus adalah wadah sebagai generasi muda berproses pengembangan ilmu pengetahuan.
Sedangkan Dosen, adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mengajar, mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Melalui dosen sebagai pendidik yang profesional tutur kata, tata bahasa yang disampaikan menjadi hal yang sangat penting bagi mahasiswa/i yang kemudian melakukan proses belajar mengajar dalam Class Room sebagai seorang dosen juga menjadi jarum penunjuk arah untuk perkenalkan mahasiswa dalam dunia akademik sebagaimana yang sudah dilalui dengan berbagai macam pengalaman pengetahuan yang dimiliki.
Maju mundurnya peradaban bangsa, saat ini ada ditangan para pendidik salah satunya adalah para dosen dan mahasiswa sebagai kaum terpelajar yang terdidik dengan beragam ilmu pengetahuan yang telah digeluti selama masa proses dalam dunia akademik (Kampus) majunya sebuah peradaban bangsa dilihat dari Sejauh mana para generasi muda mampu mendistribusikan ide gagasan dan juga kemampuan yang dimiliki dalam mengelola sebuah kebenaran.
Suatu bangsa yang memiliki generasi yang cukup dengan intelektual yang terdidik dan dengan segala bentuk kemampuan yang dimiliki melalui Guru hebat yang membimbing mereka maka berkesempatan membangun peradaban yang lebih baik daripada bangsa yang tidak menaruh harapan pada pendidikannya.
Coba kita tengok kebelakang, kembali menilik peristiwa Jepang pada saat kota Hiroshima dan Nagasaki di hancurkan.
Pada saat itu kaisar Jepang bertanya “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Kata-kata ini berasal dari mulut Kaisar Hirohito sebagai respon pertama yang Ia keluarkan setelah mendengar berita luluh lantaknya Hiroshima dan Nagasaki, dua kota di Jepang itu hancur karena bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) di penghujung Perang Dunia II. Kehancuran dua kota itu pula yang menjadi alasan Kaisar Jepang menyelamatkan guru setelah Perang Dunia 2.
Hirohito adalah
Kaisar Jepang ke-142 yang dikenal dengan nama anumerta Kaisar Showa. Lahir di Puri Aoyama, Tokyo, 29 April 1901, Hirohito menjadi kaisar dengan masa kekuasaan terlama dalam sejarah Jepang. Ia berkuasa sejak tahun 1926 hingga 1989. Di bawah kepemimpinannya, Jepang terlibat dalam berbagai perang, seperti Insiden Manchuria (1931), Insiden Nanking (1937), Perang Dunia II, serta serangan ke pangkalan militer AS di Hawaii, Pearl Harbour.
Pada 1945, saat Perang Dunia II berlangsung, AS dan sekutunya menjatuhkan bom atom berkekuatan dahsyat di kota Hiroshima dan Nagasaki. Kerugian yang dialami Jepang begitu besar, tidak hanya secara materi, jumlah nyawa yang melayang akibat bom atom inipun terbilang sangat besar. Imbasnya, Jepang mengalami kelumpuhan total, yang akhirnya membawa negara tersebut pada kekalahan telak dari sekutu.
Ketika mendengar berita pemboman tersebut, Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi Jepang pada saat itu langsung mengumpulkan para Jenderal yang tersisa. Pertanyaan mengenai jumlah guru yang tersisa ini lantas membuat bingung para Jenderal. Sebab, semula mereka mengira sang Kaisar akan menanyakan perihal tentara, alih-alih guru yang masih tersisa.
Para Jenderal tersebut kemudian menegaskan kepada Kaisar Hirohito, bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar, walau tanpa kehadiran para guru. Menanggapi perkataan ini, Kaisar Hirohito mengatakan bahwa Jepang telah jatuh. Kejatuhan ini dikarenakan mereka tidak belajar. Jenderal dan tentara Jepang boleh jadi kuat dalam senjata dan strategi perang, tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai bom yang telah dijatuhkan Amerika.
Kaisar Hirohito kemudian menambahkan bahwa Jepang tidak akan bisa mengejar Amerika jika tidak belajar. Karenanya, ia kemudian mengimbau pada para Jenderalnya untuk mengumpulkan seluruh guru yang tersisa di seluruh pelosok Jepang. Sebab, kepada para gurulah seluruh rakyat Jepang kini harus bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan.
Melalui peristiwa yang diceritakan di atas wajarlah jepang dijuluki sebagai Negara Matahari Terbit Negara yang maju karena mereka lebih mengutamakan pendidikan, dan lembaga pendidikan sebagai wadah yang mampu menampung kekuatan sumberdaya manusia dan memposisikan guru sebagai elemen yang paling terpenting di masa yang akan datang.
Dalam sebuah artikel yang ditulis @TIMES Indonesia menjelaskan
Dalam rangka menciptakan kesejahtraan, kemakmuran, dan perdamaian di tengah-tengah kehidupan penduduk dunia ini, maka Perserikatan Bangsa Bangsa (PPB) mencetuskan sebuah agenda pembangunan menuju tahun 2030, yaitu program yang disebut dengan Sistem Pembangunan Berkelanjutan Global (Sustainable Development Goals/SDGs).
Dalam agenda pembangunan yang di cetuskan pada tahun 2015 ini, ada 17 agenda pembangunan yang akan dilakukan secara berkelanjutan, bersifat global , dan Pendidikan atau Quality of Education menempati posisi nomer empat dari 17 bidang fokus pembangunan berkelanjutan gobal yang dialakukan oleh PPB, dengan bahasa lain, penduduk dunia menempatkan perhatian pembangunan kualitas pendidikan pada posisi nomer empat setelah pengentasan kemiskinan, tanpa kelaparan, kesehatan dan kehidupan yang sejahtera, dan yang ke empat adalah pendidikan yang berkualitas.
Ketika Generasi Kihajar Dewantara dan Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia lainya berjuang memperjuangkan pendidikan Indeonesia dengan tantangan zamanya, yaitu hambatan para bangsa colonial belanda dan jepang, maka para guru hari ini memiliki tantangan baru dalam dunia pendidikan yaitu bagaimana mempersiapkan era digitalisasi pendidikan bisa berjalan dengan baik dan sukses.
Pendidikan Adalah Senjata Yang Paling Ampuh Yang Bisa anda Pergunakan Untuk Mengubah Dunia” (Nelson Mandela)
Yang menjadi harapan besar dari tulisan ini adalah bagaimana perguruan mampu memperdayakan fasilitas yang telah disediakan dan juga para dosen dan mahasiswa bisa bersinergi untuk kepentingan bersama dalam proses pengembangan sumberdaya manusia dalam lembaga perguruan tinggi swasta maupun negeri.
Melalui lembaga pendidikan dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan manusia mampu mengenal siapa dirinya, sebab ketidaktahuan tidak akan menyelamatkan kita dimanapun berada.
Oleh: Jisman Leko
Presiden BEM STAI Babussalam Sula