Filosofi Sandal Jepit: Kesederhanaan yang Menguatkan Langkah

Baca Juga

Malut, Investigasi.news – Dalam kehidupan sehari-hari, sandal jepit seringkali dipandang sebelah mata. Ia adalah alas kaki paling sederhana, paling murah, dan paling mudah ditemukan. Namun, justru dalam kesederhanaannya, sandal jepit mengajarkan filosofi hidup yang dalam tentang ketangguhan, kerendahan hati, kesetiaan, dan fleksibilitas.

Sandal jepit mengajarkan bahwa untuk melangkah jauh, tidak selalu dibutuhkan hal-hal yang mewah. Seperti yang dikatakan oleh filsuf Jepang, Kitaro Nishida, “Kesederhanaan bukanlah kekurangan, melainkan bentuk tertinggi dari kekayaan batin” (Nishida, An Inquiry into the Good, 1911). Sandal jepit tidak memerlukan ornamen berlebihan untuk menjalankan fungsinya: melindungi kaki dalam setiap perjalanan. Ini selaras dengan konsep minimalisme dalam filsafat Timur, bahwa esensi kehidupan terletak pada ketulusan, bukan kemewahan.

Lebih dari itu, sandal jepit mencerminkan ketangguhan. Ia mampu menempuh jalanan berlumpur, berbatu, bahkan panasnya aspal di siang hari, namun tetap setia menuntun langkah pemakainya. Filosofi ini mengajarkan saya bahwa dalam hidup, kita akan menghadapi banyak rintangan dan ketidaknyamanan, namun tetap harus kuat dan bertahan. Seperti disampaikan oleh Viktor E. Frankl dalam Man’s Search for Meaning (1946), “Antara rangsangan dan respons terdapat ruang. Dalam ruang itu terletak kekuatan kita untuk memilih respons kita. Dalam respons kita terletak pertumbuhan dan kebebasan kita.”

Sandal jepit juga melatih kepekaan: ia tidak banyak melindungi kaki, sehingga kita lebih sadar akan jalan yang kita tempuh. Sama halnya dalam hidup, terlalu banyak kenyamanan justru membuat kita kehilangan sensitivitas terhadap tantangan nyata. Kesadaran ini sejalan dengan pemikiran Martin Heidegger tentang “being-in-the-world” (Sein und Zeit, 1927), bahwa manusia mesti hadir sepenuhnya dalam realitas hidupnya, bukan terasing di balik kenikmatan palsu.

Yang tak kalah penting, sandal jepit adalah simbol kerendahan hati. Ia dipakai oleh semua kalangan, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa, dari nelayan di desa hingga pejalan kaki di kota. Sandal jepit tidak memilih siapa pemakainya. Ia mengajarkan nilai egalitarianisme, bahwa dalam perjalanan hidup, kita semua sederajat di hadapan tantangan dan waktu. Ini memperkaya refleksi saya atas prinsip kesetaraan dalam filsafat sosial, sebagaimana ditegaskan oleh John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), bahwa keadilan sosial mengandaikan perlakuan yang setara bagi semua individu.

Melihat sandal jepit bukan sekadar sebagai benda pakai, melainkan sebagai cermin nilai-nilai kehidupan, membuat saya memahami bahwa keagungan sering kali tersembunyi dalam kesederhanaan. Kita bisa memilih untuk hidup dengan semangat sandal jepit: kuat menghadapi tantangan, peka terhadap realitas, setia pada tujuan, dan rendah hati terhadap sesama. Sebuah filosofi kecil yang membawa dampak besar dalam cara saya melangkah di kehidupan ini.

Semoga bermanfaat.

Oleh: Mohtar Umasugi (Akademisi).

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest

More articles