Dana MUKP merupakan dana modal usaha nelayan yang bersumber dari APBN. Komisi IV DPR dan pemerintah mengatur dana ini, untuk menunjang profesi nelayan. Itu diatur dalam mekanisme realisasi dana dan sesuai dengan pagi anggaran yang telah ditetapkan. Nomenklaturnya nelayan. Namun, dana MUKP ini disalah artikan dan/atau dibelikan untuk banyak pengusaha. Bukan semata – mata untuk nelayan.
Kata nelayan, kembali dieksploitasi namanya untuk mendapatkan pagu anggaran. Regulasi tidak menyebut pengusaha. Kalau menyebut pengusaha sangat sensitif. Dana MUKP 90 porsen direalisasikan pada pembiayaan modal usaha pengusaha. Bukan modal usaha nelayan untuk melaut. Bukan pula untuk mengangkat derajat hidup nelayan.
Walaupun, banyak pengusaha kelautan perikanan memiliki nelayan dan kapal. Namun harus dibedakan antar pemodal dengan nelayan kecil yang belum meningkat kapasitas (belum modern) dari sisi gelap alat tangkapnya. Bagi paguyuban nelayan sangat sulit mendapatkan MUKP ini. Selain syarat yang memberatkan dan juga sistemnya seperti rentenir dan bank.
Syarat – syarat pengajuan untuk mendapatkan dana MUKP seperti sertifikat tanah, dasar hukum kelompok, modal awal lembaga (koperasi) dan/atau KUB serta syarat lain yang memberatkan. Selain itu, ada beban yang harus dilakukan oleh KKP melalui Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP) yakni merealisasikan modal yang bersumber dari APBN tersebut dalam kurun waktu setahun harus habis sesuai jumlah yang dianggarkan.
Maka berbagai terobosan program realisasi dana diluncurkan. Mulai dari program yang paling baik dan produktif hingga program pendanaan yang kurang baik. Bahkan, untuk mengambil keuntungan dari realisasi dana. Maka sistem pengelolaan dana seperti simpan pinjam. Kelompok nelayan (KUB) diberlakukan pengembalian modal sesuai jumlah kredit dalam kurun waktu sekian tahun.
Masyarakat bertanya? apakah APBN memang diperuntukan untuk modal pinjaman kredit atau memberi bantuan modal kepada nelayan dan/atau menggemukan modal pengusaha yang memiliki kelompok nelayan, pembudidaya dan/atau modal nelayan kecil kategori perseorangan?.
Baru kali ini ada pola bisnis dalam realisasi APBN yang dianggarkan dari KKP. Padahal, APBN itu berasal dari PNBP Nelayan Tangkap, Pembudidaya, petani garam, petambak, petani rumput laut, galangan kapal, eksport import, tambat labuh kapal nelayan, aktivitas pelabuhan, pendaratan ikan di tempat pelelangan ikan, operasi alat tangkap, perizinan, dan usaha – usaha lainnya. Kalau sistem pengembalian seperti kredit modal simpan pinjam. Lalu yang mengambil untung dari bisnis dana MUKP simpan pinjam itu siapa?. Apakah mekanisme penarikan PNBP dan pengembaliannya sistem kredit, bagaimana dasar hukumnya. Tentu pertanyaan akan lebih banyak lagi.
Belum lagi, kalau modal dana MUKP ini dikuasai oleh kelompok tertentu, seperti partai politik, perusahaan, dan jaringan Kelompok Usaha Bersama (KUB) tertentu yang dibentuk oligarki. Hal ini sangat rentan terjadi masalah. Jaringan – jaringan Kelompok yang menguasai ini, sangat besar mengambil manfaat dari realisasi dana MUKP tersebut.
Maka, perlu perbaikan dalam tata kelola realisasi bantuan modal MUKP ini, jangan hanya menjual diksi untuk nelayan kecil. Supaya keterbukaan itu tetap diprioritaskan dalam pengelolaan keuangan MUKP. Hal – hal yang perlu diperbaiki adalah daftar – daftar penerima bantuan modal, sistem realisasi, verifikasi data, pengecekan jumlah realisasi permodalan, dan evaluasi hasil yang telah dilakukan selama 10 tahun sejak 2014 – 2023. LPMUKP memberikan modal dengan skema pinjaman / pembiayaan dengan tarif layanan yang rendah, yakni maksimal 4% pertahun.
Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan oleh KKP dalam merealisasikan dana tersebut, yakni pertama; pertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir, wabil khusus pembudidaya dan nelayan. Bagi nelayan, tak ada pilihan lain selain berusaha beraktifitas di laut dengan segala keterbatasan yang dihadapinya. Kedua; modal tersebut, bukan bersifat bantuan langsung ekonomi rumah tangga. Namun modal diberikan untuk menopang berkembangnya sistem penangkapan ikan, seperti alat tangkap, kapal, dan distribusi hasil nelayan maupun pembudidaya. Dengan dana tersebut, nelayan bisa menambah kekurangan biaya untuk membeli kapal baru. Ada pula yang memanfaatkannya untuk membeli alat tangkap pancing dan jaring. LPMUKP harus kerjasama dengan paguyuban nelayan langsung secara terbuka, tanpa melalui perusahaan (oligarki) yang selama ini menilap dana tersebut. Lagi pula, proses dipermudah sehingga dapat membantu.
Usaha kelautan dan perikanan seringkali dianggap memiliki risiko tinggi sehingga sulit mendapatkan akses permodalan. Padahal modal sangat dibutuhkan untuk berjalannya suatu usaha. Menjawab tantangan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah memberikan solusi melalui Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP). Namun, tidak dengan pengelolaan seperti rentenir dengan mekanisme cicilan kredit pinjaman. Mestinya KKP membebaskan syarat pada akses modal dan pengembalian. Karena anggaran tersebut, bersifat anggaran hitungan habis yang bersumber dari APBN.
LPMUKP seharusnya merubah metodenya, apalagi selama ini nelayan terkesan sangat sulit akses dana tersebut. Kalau terus terjadi sistem tidak transparan, maka diragukan pertanggung jawaban Badan Layanan Umum (BLU) kepada negara sebagai lembaga yang memberikan fasilitas pinjaman/pembiayaan bagi nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pengolah dan pemasar hasil perikanan, hingga usaha masyarakat pesisir lainnya.
LPMUKP belum seimbang dan minim perspektif keadilannya, karena hanya membiayai usaha – usaha budidaya yang sudah berjalan sukses. LPMUKP kurang melihat kondisi usaha nelayan yang belum menguat dari permodalan. Kalau objektif, fasilitas MUKP belum begitu tinggi memberikan dampak positif bagi masyarakat khususnya nelayan – nelayan kecil dipedesaan. Terlebih dengan hadirnya tenaga pendamping dan tarif layanan yang ringan mendorong usaha jadi lebih maju dan kesejahteraan pun meningkat.[]
Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)