Partai Politik Sebagai Predator Kekuasaan (Perspektif Dinamika Politik Indonesia)

More articles

Dalam hiruk pikuk dunia politik, partai politik seringkali digambarkan sebagai representasi suara rakyat. Namun, yang terjadi adalah semakin banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa partai politik justru telah berubah menjadi predator kekuasaan, yang lebih memprioritaskan kepentingan kelompok elit daripada kepentingan rakyat. Partai politik memiliki peranan yang sangat vital dalam sistem demokrasi modern, termasuk dalam konteks negara Indonesia. Sebagai wadah yang menyatukan berbagai kepentingan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat, partai politik seharusnya berfungsi sebagai saluran utama bagi aspirasi rakyat, yang kemudian akan diterjemahkan dalam bentuk kebijakan dan pemerintahan. Partai politik juga diharapkan berperan sebagai instrumen untuk mengawal sistem politik yang demokratis, di mana kekuasaan negara dipertanggung jawabkan kepada rakyat melalui pemilu yang bebas dan adil, sebagaimana Surbakti (2010) menyatakan bahwa partai politik memiliki peranan sebagai wadah sosialiasi politik atau instrumen of political socialization.

Sehingga pentingnya suatu pendidikan politik (political education) bagi Warga Negara. Namun, kenyataannya seringkali tidak seindah harapan tersebut. Dalam banyak kasus, partai politik justru lebih berfokus pada perolehan dan pelestarian kekuasaan demi kepentingan internal mereka sendiri, daripada benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, partai politik tidak hanya berperan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan bersama, tetapi seringkali menjadi “predator kekuasaan” yang mengeksploitasi posisi mereka untuk meraih keuntungan pribadi, politik, maupun material. Praktik semacam ini mengarah pada pola pengelolaan kekuasaan yang tidak sehat, yang lebih mengutamakan kepentingan partai dan individu-individu yang berada di dalamnya daripada kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks ini, partai politik dianggap sebagai struktur fundamental yang sangat mempengaruhi perkembangan dan kemunduran demokrasi. Partai politik memiliki peran esensial yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, seperti menjadi saluran bagi masyarakat untuk mengungkapkan pendapat dan mengontrol kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, keberadaan partai politik yang kuat dan berfungsi dengan baik cenderung meningkatkan kualitas demokrasi.

Menurut Robert Michels, partai politik berfungsi sebagai perantara antara warga negara dan negara (pemerintah) dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan. Fenomena ini mengundang pertanyaan besar sejauh mana partai politik yang ada dalam sistem demokrasi Indonesia benar-benar berfungsi sebagai representasi rakyat, atau justru hanya mengejar kepentingan kekuasaan mereka sendiri. Dalam hal ini, istilah “predator kekuasaan” merujuk pada praktek-praktek yang dilakukan oleh partai politik yang tidak mengutamakan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan negara. Sebaliknya, partai politik yang bertindak sebagai predator kekuasaan sering kali menggunakan segala cara, termasuk koalisi pragmatis, politik uang, patronase, serta nepotisme, demi memperoleh atau mempertahankan kekuasaan politik mereka. Tentunya yang demikian itu dapat mengganggu serta menghambat stabilitas perpolitikan dan penerapan pemerintahan yang baik atau berwibawa (good governance) tentu hal ini bertentangan dengan penerapan konsep bagaimana hadirnya partai politik itu sendiri.

Peran sentral partai politik dalam demokrasi menjadi faktor penentu terhadap perkembangan kehidupan demokratis suatu negara, seperti yang disebutkan oleh Allen Hicken bahwa keberadaan partai politik menentukan kesehatan pemerintahan demokratis, sifat dan kualitas representasi, stabilitas pemerintahan, dan kualitas kebijakan publik. Sejalan dengan pandangan tersebut, Djayadi Hanan menegaskan bahwa kualitas demokrasi dan pemerintahan di Indonesia sangat bergantung pada kualitas partai politik, sehingga ia percaya bahwa memperkuat dan meningkatkan kualitas partai politik akan membantu meningkatkan kualitas demokrasi dan pemerintahan secara keseluruhan. Sebaliknya, ketika partai politik mengalami masalah, hal ini akan menjadi akar masalah dari rendahnya kualitas demokrasi dan pemerintahan.

Indonesia, sebagai negara dengan sistem politik yang demokratis, tentu menghadapi tantangan besar dalam menanggulangi praktik-praktik semacam ini. Walaupun telah ada berbagai upaya untuk memperbaiki sistem politik dan pemerintahan, seperti reformasi pemilu dan perbaikan kelembagaan, kenyataannya praktik predatorisme kekuasaan masih terjadi. Hal ini terjadi tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga di tingkat daerah, dengan partai-partai politik yang lebih mengutamakan kekuasaan dan keuntungan praktis daripada kepentingan rakyat dan pembangunan negara.

*Konsep Partai Politik dan Kekuasaan*

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, peranan partai politik sangat penting sebagai penghubung dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Akan tetapi ada pandangan yang menganggap partai politik tersebut hanyalah merupakan kendaraan politik bagi sekelompok elit yang berkuasa. Terlepas dari itu semua diakui atau tidak keberadaan partai politik merupakan unsur yang sangat penting untuk menjaga kesetabilan dalam sebuah negara yang demokratis.

Baca Juga :  Alhamdulillah, Agam Dukung Penuh Konversi Bank Nagari Menjadi Bank Nagari Syariah

Mendefinisikan partai politik tidaklah sederhana. Definisi partai politik umumnya bersifat normatif dan jawaban yang diberikan oleh para ilmuwan politik berbeda-beda dari waktu ke waktu. Tetapi, ada anggapan umum mengenai partai politik yang berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu pengaruh mereka bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.

Adapun pengertian partai politik ini tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 2 tahun 2011, tentang Partai Politik, yang menyebutkan bahwa Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Disamping pengertian partai politik sebagaimana disebutkan dalam UU No. 2 Tahun 2011, ada beberapa ahli politik yang memberikan pengertian tentang partai politik Miriam Budiardjo misalkan mengemukakan, bahwa partai politik adalah โ€œsuatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan merekaโ€. Sejalan dengan pandangan tersebut Carl J. Friedrich mendefinisikan partai Politik adalah โ€œsekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.”

Dari beberapa pengertian diatas penulis kemudian menarik benang merahnya bahwa Partai politik adalah organisasi yang terbentuk dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan politik tertentu, baik dalam bentuk ideologi, visi, maupun program-program pembangunan. Secara teoritis, partai politik bertujuan untuk memperjuangkan kebaikan bersama, menyampaikan aspirasi rakyat, dan menjadi saluran bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Namun, dalam kenyataannya, banyak partai politik yang lebih fokus pada perolehan kekuasaan demi mempertahankan eksistensi dan kepentingan internal mereka.

Kekuasaan dalam politik seringkali dipahami sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan dan keputusan yang diambil oleh negara. Kekuasaan ini biasanya dicapai melalui pemilu, dimana partai politik berlomba-lomba mendapatkan suara rakyat agar bisa menguasai lembaga-lembaga negara, seperti DPR, eksekutif, dan lembaga-lembaga lainnya. Namun, dinamika perolehan kekuasaan sering kali menumbuhkan praktik-praktik yang tidak sehat dalam politik, seperti manipulasi, koalisi yang tidak berdasarkan prinsip, dan penggunaan sumber daya negara untuk keuntungan pribadi.

Dalam sistem demokrasi, partai politik memegang peranan yang sangat penting. Sebagai wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik, partai politik memiliki peran ganda. Di satu sisi, partai politik dapat menjadi jembatan untuk mewujudkan kepentingan rakyat, namun disisi lain, partai politik juga bisa menjadi aktor yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan. Dalam konteks ini, partai politik seringkali dipandang sebagai “predator kekuasaan”, yang mengeksploitasi kekuasaan demi kepentingan tertentu. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika partai politik dalam konteks kekuasaan, serta dampaknya terhadap perkembangan politik Indonesia.

*Partai Politik Sebagai Predator Kekuasaan*

Pandangan bahwa partai politik dapat berfungsi sebagai predator kekuasaan atau โ€œpredator dalam arti partai politik sebagai pemangsa atau pemburu kekuasaanโ€ merujuk pada kenyataan bahwa banyak partai politik yang lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan jangka pendek ketimbang kepentingan rakyat. Berikut ini penulis jabarkan beberapa tolak ukur cara partai politik berperan sebagai predator kekuasaan:

a. Koalisi yang Tidak Berdasarkan Ideologi

Salah satu strategi utama yang digunakan partai politik untuk mempertahankan kekuasaan adalah membentuk koalisi dengan partai politik lain, bahkan jika koalisi tersebut tidak didasarkan pada kesamaan ideologi atau visi. Hal ini sering terjadi dalam sistem politik Indonesia, dimana berbagai partai dengan ideologi yang sangat berbeda bersatu hanya demi meraih kekuasaan. Dalam koalisi seperti ini, tujuan utama bukan lagi memperjuangkan kepentingan rakyat, melainkan mempertahankan kekuasaan dan keuntungan politik bagi masing-masing partai.

Baca Juga :  Biar Dibilang Apa Sih Lu Kek Gitu di Sosmed

Tentu kita dapat melihat pada pemilihan peresiden (PILPRES) pada tahun 2024 yang mana hampir setiap partai dengan berbagai macam ideologi serta kepentingan dapat bersatu dalam koalisi Indonesia maju (Kim Plus) yang memenangkan kandidat Prabowo-Gibran. Pada aspek kontitusi perpolitikan Indonesia hal tersebut tidaklah salah akan tetapi pada akhirnya berdampak pada pembentukan kabinet yang begitu gemuk (besar). Penulis kemudian tidak begitu membayangkan Ketika semua partai tergabung dalam sebuah koalisi pemerintahan berjalan sebab ketika yang demikian itu terjadi maka akan hilangnya fungsi chac and balance dan demokrasi kita akan berada pada fase erosi demokrasi.

Radians, et al (2024) pernah merilis bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, kualitas demokrasi Indonesia mengalami penurunan yang cukup drastis. Tren ini memberikan perhatian dunia yang cukup mengkhawatirkan, di mana banyak negara mengalami kesulitan besar dalam menjalankan sistem demokrasinya (Leininger, 2022). Penurunan ini menjadi lebih jelas ketika laporan demokrasi V-Dem Institute 2024 melabeli Indonesia sebagai negara otokrasi elektoral, mengalami pergeseran dari peringkat sebelumnya sebagai negara demokrasi elektoral. Menurunnya kebebasan berekspresi, degradasi kualitas pemilu, dan kontrol eksekutif yang semakin dominan terhadap penguatan lembaga-lembaga demokrasi menjadi latar belakang terjadinya transisi ini (V-Dem Institute, 2024).
Koalisi semacam ini sering mengarah pada kompromi-kompromi politik yang justru merugikan rakyat. Sebagai contoh, kebijakan yang diambil oleh pemerintah bisa jadi lebih berfokus pada keuntungan politik jangka pendek bagi partai-partai dalam koalisi tersebut, daripada kebijakan yang mendorong pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Hal ini dapat menurunkan kualitas pemerintahan dan memperburuk citra partai politik sebagai lembaga yang melayani kepentingan rakyat. Begitu pentingnya Partai Politik, sehingga diasumsikan bahwa tak ada demokrasi tanpa partai politik, pernyataan ini cukup sering dikemukakan.

Ini didasari oleh fakta bahwa institusi partai politik adalah salah satu pilar penting bangunan sistem demokrasi selain institusi pemilu, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga pers yang bebas. Meski begitu pentingnya kedudukan partai politik dalam sistem demokrasi, tetapi tanpa partai politik yang kuat maka tak akan ada demokrasi yang kuat. Namun, sangat disayangkan di orde reformasi ini jumlah partai politik boleh bertambah, tetapi tidak menunjukkan bahwa adanya korelasi kebebasan berpolitik ini dengan proses penyerapan aspirasi dan kepentingan masyarakat bahkan konstituennya. Malah kita terjebak pada kebangkitan partycracy, yang menurut Indra J. Piliang bahwa diibaratkan seperti buah busuk yang dipetik dari tanah kering dan hama, akibat syahwat kekuasaan dan kemiskinan kesadaran dalam pengorganisasian kepartaian.

b. Patronase dan Nepotisme

Partai politik juga seringkali menggunakan kekuasaan untuk memperkuat jaringan patronase. Patronase adalah sistem dimana politikus memberikan sumber daya atau posisi dalam pemerintahan sebagai imbalan atas dukungan politik. Dalam banyak kasus, partai politik akan menempatkan kader-kadernya di posisi-posisi strategis dalam pemerintahan atau lembaga-lembaga negara. Tujuannya bukan untuk menjalankan tugas pemerintahan dengan profesional, tetapi untuk memperkuat posisi partai dalam politik praktis dan memperoleh keuntungan pribadi.
Nepotisme, di mana keluarga atau kerabat dekat pengurus partai politik mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan atau lembaga-lembaga negara, juga sering terjadi. Praktik-praktik semacam ini mengarah pada korupsi dan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya negara, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik.

Menurut Transparency International (2019), nepotisme adalah salah satu bentuk korupsi yang paling sulit diatasi karena berakar pada budaya dan struktur sosial-politik. Nepotisme sering kali tersembunyi dibalik hubungan personal dan jaringan patronase yang kuat, sehingga sulit dideteksi dan diberantas. Dalam sosiologi politik, nepotisme dipahami sebagai bagian dari analisis kekuasaan yang lebih luas. Cronin (1996) berpendapat bahwa kekuasaan tidak hanya dapat dipahami sebagai sesuatu yang dimiliki oleh individu atau kelompok, tetapi sebagai fungsi dari jaringan relasi antar subjek. Pergeseran ini mengarah pada pemahaman kekuasaan yang lebih kompleks, di mana kekuasaan beroperasi melalui berbagai mekanisme sosial, termasuk praktik nepotisme. Max Weber, salah satu tokoh utama dalam sosiologi politik, menggambarkan konsep kekuasaan patrimonial sebagai bentuk kekuasaan dimana hubungan personal dan loyalitas individu lebih diutamakan daripada aturan dan prosedur formal (Weber, 1922). Kekuasaan patrimonial ini sering kali menjadi dasar bagi praktik nepotisme, di mana keputusan-keputusan politik didasarkan pada hubungan personal daripada meritokrasi. Pandangan masyarakat modern, nopotisme merupakan pergeseran fokus analisis kekuasaan dari kekuasaan yuridis (sovereign power) kepadakekuasaan disipliner (disciplinary power) juga relevan. Menurut Foucault, kekuasaan disipliner beroperasi melalui normalisasi perilaku dan pengawasan yang diinternalisasi dalam tubuh individu, bukan hanya melalui otoritas hukum (Foucault, 1975). Kekuasaan disipliner berfungsi dalam dan terhadap setiap relasi sosial, ekonomi, keluarga, dan seksualitas, dan dapat membantu menjelaskan bagaimana nepotisme beroperasi sebagai bagian dari mekanisme pengendalian sosial yang lebih luas.

Baca Juga :  Refleksi : Krisis Identitas, Akar Dari Pembungkaman Nalar Kritis Mahasiswa

c. Penggunaan Sumber Daya Negara untuk Kepentingan Partai

Partai politik juga seringkali memanfaatkan sumber daya negara, baik itu dalam bentuk anggaran negara, fasilitas publik, maupun alat-alat negara lainnya, untuk mendukung kampanye politik mereka. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah penggunaan anggaran negara untuk kepentingan partai politik dalam menghadapi pemilu, baik melalui bantuan langsung kepada masyarakat atau dengan memanfaatkan instansi pemerintah untuk mendukung calon tertentu.

Penggunaan kekuasaan ini bisa sangat merugikan demokrasi karena menciptakan ketidakadilan dalam kontestasi politik. Mereka yang memiliki akses ke sumber daya negara akan memiliki keuntungan yang lebih besar dalam meraih kekuasaan, sementara partai-partai yang tidak memiliki akses tersebut akan kesulitan untuk bersaing. Akibatnya, demokrasi tidak berjalan secara adil dan merata, serta rakyat kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik yang ada.

d. Politik Uang

Praktik politik uang adalah salah satu bentuk predatorisme kekuasaan yang marak terjadi dalam berbagai proses pemilihan. Dalam sistem demokrasi, pemilu seharusnya menjadi sarana untuk memilih pemimpin berdasarkan kemampuan dan program yang mereka tawarkan. Namun, dalam kenyataannya, banyak partai politik yang menggunakan uang untuk membeli suara rakyat. Politik uang ini tidak hanya mencemari integritas proses pemilu, tetapi juga menjadikan rakyat sebagai alat untuk meraih kekuasaan tanpa memperhatikan kualitas pemimpin yang dipilih.

*Dampak dari Praktik Predatorisme Kekuasaan*

Praktik-praktik predatorisme kekuasaan yang dilakukan oleh partai politik dapat memiliki dampak negatif yang sangat besar bagi masyarakat dan negara. Beberapa dampak yang dapat ditimbulkan antara lain:

Keterbatasan Partisipasi Rakyat

Ketika partai politik lebih mengutamakan kekuasaan pribadi daripada kepentingan rakyat, maka partisipasi politik rakyat akan semakin terbatas. Rakyat akan merasa tidak memiliki ruang untuk menyuarakan pendapat atau memilih pemimpin yang sesuai dengan aspirasi mereka. Partai-partai politik yang berfokus pada kekuasaan semata tidak akan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam proses politik, sehingga demokrasi menjadi lemah.

Meningkatnya Korupsi dan Ketidak adilan

Praktik patronase, nepotisme, dan politik uang yang dijalankan oleh partai politik sebagai predator kekuasaan cenderung meningkatkan korupsi. Ketika partai politik mengutamakan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak transparan dan tidak adil, maka praktik-praktik korupsi akan semakin merajalela. Selain itu, ketidakadilan dalam distribusi sumber daya negara akan semakin besar, sehingga menyebabkan kesenjangan sosial yang lebih lebar.

Lemahnya Kualitas Pemerintahan

Ketika partai politik lebih fokus pada kekuasaan politik daripada pelayanan publik, kualitas pemerintahan akan semakin menurun. Pemimpin yang dipilih berdasarkan pertimbangan politik praktis dan bukan berdasarkan kemampuan akan kesulitan untuk membuat kebijakan yang efektif dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Hal ini dapat menyebabkan stagnasi dalam pembangunan dan penurunan kualitas kehidupan masyarakat.

Conclution:

Partai politik seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan kepentingan rakyat dan memperkuat demokrasi. Namun, dalam kenyataannya, banyak partai politik yang justru bertindak sebagai predator kekuasaan, yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya daripada kepentingan rakyat. Praktik-praktik seperti koalisi yang tidak berdasarkan ideologi, patronase, nepotisme, politik uang, dan penggunaan sumber daya negara untuk kepentingan partai memperburuk kualitas demokrasi dan pemerintahan.

Untuk menciptakan sistem politik yang lebih sehat, dibutuhkan reformasi yang mendalam terhadap praktik politik, baik dalam pengelolaan partai politik maupun dalam proses pemilu. Dengan demikian, partai politik dapat kembali berfungsi sebagai representasi sejati dari kepentingan rakyat dan memperkuat demokrasi di Indonesia.

Oleh: Iben Gahral Umasugi.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Prodi Magister Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest