Nagekeo, investigasi.news – Dalam negara hukum yang berdiri di atas fondasi fiat justitia ruat caelum (biarlah keadilan ditegakkan walau langit runtuh), sering kali realitas yang muncul justru menampilkan wajah buram: kekuasaan seakan bebas dari jerat norma. Narasi pilu kini terukir di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, ketika seorang janda berusia 74 tahun, Margaretha Bai, harus berhadapan dengan intimidasi dan penghinaan yang diduga dilakukan oleh adik kandungnya sendiri, ASW, seorang oknum anggota DPRD Nagekeo.
Filsuf Yunani kuno, Plato, dalam Republic menggagas tentang philosopher-king, penguasa yang bijaksana. Dalam konteks modern, wakil rakyat diharapkan menjadi teladan dan penjaga nilai moral. Namun, harapan itu runtuh di Kelurahan Nangaroro. Berdasarkan laporan Kepolisian Sektor Nangaroro (Nomor: STPL/18/IX/2025/Polsek Nangaroro, tanggal 30 September 2025), yang muncul bukanlah teladan, melainkan praktik penindasan.
Konflik berawal dari sengketa pembongkaran pipa air PAM. Namun, persoalan ini berkembang menjadi ladang intimidasi. Kata-kata kasar seperti “bangsat, biadab, babi, anjing” terlontar di muka umum, bahkan disertai ancaman pelemparan batu. Bagi seorang janda sepuh, itu bukan sekadar penghinaan, tetapi serangan yang meruntuhkan martabat.
Tiga persoalan mendasar turut memperparah penderitaan Ibu Margaretha:
- Pagar di Atas Kuburan
Makam suaminya, yang telah dimandatkan sebagai kuburan keluarga, dipagar. Akibatnya, ia terhalang untuk sekadar berdoa dan merawat kenangan. Ini bukan hanya luka batin, tetapi juga pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan dan tradisi leluhur. - Gembok di Jalan Hidup
Gerbang menuju rumahnya digembok. Cucu-cucu yang masih duduk di bangku sekolah dasar harus memutar jauh hanya untuk sekolah, bekerja, atau mencari air bersih. Gembok itu menjadi simbol nyata pembatasan akses terhadap kehidupan yang layak. - Kerbau yang Terikat Makna
Seekor kerbau yang telah diserahkan secara adat oleh Ibu Margaretha justru diikat di teras rumahnya sendiri. Dalam tradisi, pemberian adat mengandung makna sosial yang mendalam. Tindakan ini adalah penolakan terhadap nilai kearifan lokal sekaligus pelecehan terhadap ikatan keluarga.
Kuasa hukum Ibu Margaretha, Cosmas Jo Oko, S.H., menegaskan prinsip dasar negara hukum: “Equality before the law. Tidak ada yang kebal hukum di negeri ini, semua wajib diproses.”
Ia khawatir kasus ini akan “diputar-putar” karena status terduga pelaku sebagai anggota dewan. Situasi ini menjadi ujian serius bagi integritas penegakan hukum di daerah.
Pertanyaan filosofis yang muncul: di manakah batas antara kekuasaan dan kemanusiaan? Jika seorang wakil rakyat yang seharusnya menyerap aspirasi justru menjadi sumber penderitaan bagi rakyat – bahkan saudara kandungnya sendiri – di manakah letak moralitas jabatan itu?
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak ASW. Pihak keluarga korban hanya berharap dapat hidup tenang tanpa tekanan, serta menuntut keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu.
Kasus ini bukan hanya ujian bagi keluarga Ibu Margaretha, tetapi juga cermin bagi kita sebagai bangsa: apakah hukum berpihak pada kebenaran, atau tunduk pada kekuasaan.
Severinus T. L., S.Fil., C.PIL

