Di tengah hiruk-pikuk zaman yang dipenuhi ambisi, persaingan, dan ego kolektif, kita sering melupakan satu nilai fundamental yang diam-diam menopang keagungan sejarah umat manusia: ikhlas. Dalam benak banyak orang, ikhlas sering kali dipersempit sebagai sikap pasrah atau menerima. Namun sejatinya, ikhlas adalah energi transformatif yang mampu menggerakkan peradaban menuju kemuliaan hakiki.
Secara etimologis, ikhlas berasal dari kata Arab khalasa, yang berarti murni, bersih dari kepentingan pribadi. Dalam konteks spiritual, ikhlas adalah tindakan yang dilakukan semata-mata karena Tuhan, bebas dari motif tersembunyi. Tapi dalam konteks sosial dan peradaban, ikhlas berarti melakukan kebaikan tanpa menuntut balasan, bekerja untuk perubahan tanpa harus dielu-elukan, dan berjuang demi masa depan yang mungkin tak sempat kita nikmati sendiri.
Sejarah peradaban dunia menunjukkan bahwa transformasi besar justru sering dilahirkan oleh mereka yang bekerja dalam diam. Guru-guru yang mengabdikan hidupnya demi ilmu, petani yang menanam demi ketahanan pangan bangsa, atau aktivis yang membela keadilan tanpa pamrih, semuanya bergerak karena panggilan batin. Mereka adalah wajah dari ikhlas yang sebenarnya.
Di era kini, di mana pencitraan kerap lebih diprioritaskan daripada substansi, ikhlas menjadi barang langka namun sangat dibutuhkan. Banyak yang berbicara tentang perubahan, tapi sedikit yang siap menjalani proses perubahan itu dengan ketulusan. Di sinilah letak tantangannya: membangun peradaban bukan hanya soal infrastruktur dan digitalisasi, tetapi soal membangkitkan kembali jiwa yang ikhlas dalam bekerja dan mengabdi.
Ikhlas sejatinya bukan sikap pasif. Justru, ia adalah kekuatan batin yang membuat seseorang bertahan ditengah tantangan, tetap teguh dalam prinsip, dan tidak goyah oleh pujian atau cacian. Orang yang ikhlas tidak terikat pada sorotan kamera atau headline media, sebab yang ia kejar bukan popularitas, tetapi keberkahan dan dampak jangka panjang.
Kita tentu rindu melihat birokrasi yang bekerja ikhlas untuk rakyat, pemimpin yang melayani tanpa syarat, akademisi yang meneliti demi ilmu, dan masyarakat yang saling menolong tanpa motif tersembunyi. Jika nilai ini bisa ditanamkan secara kolektif, maka kita tidak hanya menyaksikan kemajuan teknis, tetapi juga menyongsong lahirnya peradaban yang berkarakter—kuat secara etis, stabil secara sosial, dan berkelanjutan secara moral.
Ikhlas juga menjadi solusi dari keletihan sosial yang kita alami hari ini. Ketika semuanya diukur dengan materi, ketenaran, atau jabatan, maka yang lahir adalah masyarakat yang cepat kecewa dan mudah menyerah. Sebaliknya, masyarakat yang ikhlas adalah masyarakat yang tangguh, karena orientasinya bukan pada hasil semata, tapi pada kebermaknaan setiap proses.
Dalam konteks Maluku Utara , dengan seluruh kompleksitas dan potensinya, nilai ikhlas harus menjadi landasan dalam setiap agenda transformasi. Kita butuh lebih banyak tokoh, pemuda, dan pemimpin yang tidak hanya cerdas secara teknokratik, tetapi juga ikhlas secara batiniah. Sebab tanpa itu, pembangunan hanya akan menjadi proyek sementara yang kehilangan arah dan makna.
Mari kita renungkan kembali: barangkali peradaban besar yang kita cita-citakan tidak akan lahir dari ambisi kolektif yang bising, tetapi dari jiwa-jiwa yang ikhlas bekerja dalam senyap, setia pada nilai, dan kokoh dalam pengabdian.
Oleh: Mohtar Umasugi
(Ketua ORDA ICMI Kabupaten Kepulauan Sula).