Menjamurnya Gurita Korupsi Dana Desa Ketika Pengawasan Cacat, Desa Mandiri Hanya Omon-Omon

Baca Juga

Semenjak diterapkan Undang-undang No 6 tahun 2014 tentang desa, Entitas desa menjadi institusi yang mempunyai otonom secara mandiri. Desa berhak mengelola dan menentukan nasib desanya sendiri Sebagai wujud otonomi desa. Dalam prinsip otonomi Desa, Desa diberi kewenangan menyelenggarakan seluas luasnya kekuasaan pada wilayahnya, Desa juga diberi kewenangan dalam mengelola kebijakan fiskal dan pengelolaan anggaran masuk dalam APBDES yang tercantum dalam ADD. Sehingga sudah termasuk dalam penganggaran dan perencanaan desa. Desa juga harus mempunyai kewajiban untuk mempertanggung jawabkan segala aktivitas belanja dalam proses segala aktivitas pengolaan kebijakan fiskal. Transfer Dana Desa yang mencapai Rp70 triliun lebih per tahun menjadi bukti komitmen negara untuk memperkuat otonomi dan kesejahteraan di tingkat akar rumput. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah, apakah keuangan desa telah dikelola secara akuntabel, dimana Perencanaan keuangan yang baik dan tepat sasaran serta akuntabilitas merupakan upaya untuk mewujudkan prinsip Good Governance di tingkat pemerintahan desa.

Prinsip Akuntabilitas dalam melaksanakan perencanaan dan pelaporan dalam upaya pertanggung jawabkan Desa dalam pengelolaan keuangan. Akuntabilitas sebagai bentuk pemerintah sudah melaksanakan pengelolaan dana publik sesuai standar dan pedoman serta tepat sasaran dalam implementasinya. Akuntabilitas dapat terlaksana jika sistem pengendalian internal dan birokrasi dalam sistem pemerintah berjalan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Menurut Romsek dan Dubnik (1987), bahwa akuntabilitas sendiri mencakup dimensi birokratis (kepatuhan pada prosedur), taat pada aturan yang berlaku setidaknya hukum dan SOP, serta professional berbasis kemapuan dan keahlian. Sehingga dalam konteks keuangan daerah sendiri akuntabilitas tercermin melalu perncenaaan RKPD, APBD sedangkan untuk pelaporan LKPD,LRA, serta auidr BPK maupun pengawasan dari masyarakat melalui DPRD. Begitupun cerminan yang tertuang pengelolaan kebijakan fsikal ditingkat desa. Modifikasi dari beberapa mekanisme yang ada di daerah. Namun tidak semuanya bisa menjadi patokan. Misalnya ditingkat desa dalam perencanaan ada RKPDES dan APBDES begitupun dalam pelaporannya. Pelaksanaan akuntabilitas segala bentuk pernecanaan dan pelaporan di tingkat desa haru sejalan dengan kapasitas sdm yang mengelolaa dari desa sendiri. Akuntabilitas tidak hanya sebatas formalitas dan penggugur kewajiban. Tetapi minimnya ruang deliberative dengan masyarakat terkait perencanaan dalam hal apapun dan lemahnya akuntabel karena tidak banyaknya sdm ditingkat desa yang mampu membaca secara detail balance keuangan antara perencanaan dan pelaporan. Segala bentuk belanja di tingkat desa dari setiap implementasi dari perencana perencanan, Sehingga menilai pengelolaan keuangan desa secara baik. Hal ini menyebabkan belanja dan penganggaran desa tidak berjalan dengan baik serta potensi meningkat.

Salah satu akar dari lemahnya akuntabilitas ini terletak pada minimnya fungsi pengawasan internal, khususnya oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan camat. Disisi lain, desa memang diberi otonomi desa dan mempunyai sistem kewenangan untuk mengelola desanya sendiri. Tetapi jika berkaca pada sistem pemerintahan daerah ketika mandiri karena telah diberi otonomi daerah sendiri akan berbeda. Namun, perbedaan lainnya terletak pada sruktur dan check and balance ditingkat desa memang tidak seseimbang apabila dibandingkan dengan pembagian kekuasaan baiak ditingkat pusat maupun ditingkat daerah provinsi kabupaten atau kota.Sehingga Dalam kasus Kalirejo, pengawasan bersifat pasif dan formalitas belaka. Selain itu memperkuat kapasiatas birokkarasi dipemerintahan tingkat desa menjadi faktor. Ketika pemahaman dan kemampuan tidak merata antar perangkat desa. sehingga mepengaruhi aparatur dan perangkat desa untuk mamu mengelola dan merencanakan keuangan desa Di sisi lain, partisipasi masyarakat hanya dibatasi sebagai penerima manfaat, bukan sebagai pengawas atau pengambil keputusan. Hal ini diperparah dengan tidak adanya sistem digitalisasi atau transparansi anggaran yang memungkinkan warga mengakses informasi secara terbuka. Tanpa kontrol dari masyarakat dan pemanfaatan teknologi, keuangan desa dikuasai segelintir elite lokal yang tidak terikat oleh mekanisme pertanggungjawaban publik.

Gurita Korupsi Di Tingkat Desa ?

Desa kini tidak hanya sebagai komunitas sosial, tetapi juga sebagai entitas pemerintahan yang mengelola dana publik dalam jumlah besar. Sayangnya, di banyak tempat, sistem akuntabilitas tidak tumbuh seiring cepatnya peningkatan anggaran. Hal ini menciptakan ruang kosong yang kerap diisi oleh praktik korupsi, konflik kepentingan, dan inefisiensi. Menurut data KPK (2023), lebih dari 686 kepala desa telah terlibat kasus korupsi Dana Desa sejak 2015. Ini menunjukkan bahwa tanpa pengawasan dan partisipasi warga, desentralisasi fiskal justru membuka keran baru untuk penyalahgunaan kekuasaan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 869 kasus korupsi di sektor desa dengan 1.253 tersangka, menyebabkan potensi kerugian negara mencapai Rp 957,5 miliar namun hasil audit menunjukkan bahwa sebagian besar proyek fisik tidak terlaksana dengan baik, serta laporan keuangan yang disampaikan tidak didukung oleh bukti transaksi yang sah. Bahkan dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa papan proyek tidak dipasang, dan pekerjaan dilakukan tanpa proses tender atau musyawarah desa yang sah.

Sebagian besar terkait dengan manipulasi laporan kegiatan dan penggunaan dana desa untuk kepentingan pribadi atau kelompok (KPK, 2022).Kondisi ini menunjukkan bahwa mekanisme pertanggungjawaban fiskal di tingkat desa belum berjalan efektif, baik dari sisi internal (oleh Badan Permusyawaratan Desa/BPD) maupun eksternal (oleh aparat pengawasan dan partisipasi warga). World Bank (2004) juga menekankan bahwa akuntabilitas fiskal lokal harus berbasis pada transparansi, akses informasi publik, dan pengawasan horizontal oleh komunitas, bukan hanya laporan administratif yang bisa dimanipulasi. Berdasarkan temuan pola Korupsi di tingkat desa lebih banyak pada hal administrasi keuangan berupa SPJ yang fiktif, Proyek Fiktif: Menganggarkan kegiatan (biasanya pembangunan fisik atau pelatihan) yang pada kenyataannya tidak pernah ada. Mark-up (Penggelembungan) Anggaran: Menaikkan harga satuan bahan dan upah jauh dari ketentuan semestinya. Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Palsu: Membuat nota, kuitansi, dan dokumentasi palsu untuk mengelabui pemeriksaan. Kekurangan Volume atau Kualitas Pekerjaan: Mengurangi spesifikasi teknis proyek untuk mendapatkan keuntungan. Misalnya, mengurangi ketebalan jalan atau menggunakan material berkualitas rendah. Penyalahgunaan Dana untuk Kepentingan Pribadi: Menggunakan dana desa secara langsung untuk kebutuhan pribadi di luar peruntukannya. “Potongan” Dana: Melakukan potongan tidak resmi terhadap dana yang seharusnya disalurkan untuk program pemberdayaan atau bantuan sosial.

Tentunya Korupsi di tingkat desa telah meggurita karena ada dana desa ibarat lumbung padi yang diperas pada setiap program yang akan dilaksanakan. Menggurita tidak hanya dari kalangan aparatur desa saja tetapi masyarakat yang terlibat dalam pengerjaan proyek dan program. Kepala desa tidak hanya berjalan sendiri, ada kaki dan tangan yang mensukseskan kerja sistematis, sehingga menggurita sampai pada perangkat desa mendapat aliran dan percikan berkahnya dana desa dalam pengerjaan suatu proyek. Tetapi selamat dalam batas kewajaran dari laporan dan pengawasan inspektorat di tingkat daerah karena diberi tangguang jawab dan tenggat waktu pengembalian dana desa jika ada temuan temuan markup dana pada laporan akhir tahun melihat sisi nominal. Ini yang dianggap penormalisasian nilai korupsi dalam penyelewengan dana desa yang telah terjadi bahkan berulang-ulang.

Desa Mandiri Hanya Omon-Omon

Prinsip dana desa tidak hanya sekedar bentuk sekedar pemberian wewenang agar desa bisa membangun desa dan mensejahterakan masyarakatnya. Tetapi manstimulan agar desa menjadi mandiri walaupun masih ketergantungan dengan pusat. Tentunya sangat mudah mengjangkau dan memberdayakan masyarakat untuk ditingkatkan kesejahteraannya. Namun justru sebaliknya, sejauh ini selama hampir satu dekade lebih dana desa belum bisa membantu desa menjadi benar benar mandiri dan mensejahterakan. Dana desa sebagai tempat sapi perahan para aparatur desa dan elit elit di tingkat desa dalam menambah pundi kekayaan melalui prgram program dan rencana pembangunan. Sehingga cita cita menuju desa mandiri hanya tesktual slogan yang dikampanyekan oleh para pemangku jabatan kepada masyarakat. Karena ini merupakan kegagalan sistemik dalam pengelolaan dana desa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebab aliran dana desa lebih banyak bentuk pembangunan fisik agar para aparatur dan elit desa mempunyai spare alokasi dana yang didapatkan. Dari pada pengelolaan dana desa dialokasikan ke program pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat.

Kegagalan ini bukan hanya sekedar individu tetapi secara kelembagaan fungsional. Lemahnya badan pengawas desa yang sampai sekarang standing posisi yang kabur dalam menjalankan fungsi pengawasan terkait sistem dan mekanisme yang tidak dijalankan. Selama gurita korupsi ini tumbuh dan lemahnya pengawasan dari kelembagaan dari BPD dan Inspektorat. Mimpi desa maju dan mandiri yang selama ini menjadi slogan tetap menjadi ilusi yang jauh dari harapan.

BPK RI. (2021). Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Lampung.

KPK. (2022). Laporan Tahunan KPK: Tren Korupsi Dana Desa.

Supriyono, B. (2016). Pengelolaan Dana Desa dan Tantangan Akuntabilitas di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Administrasi Negara.

World Bank. (2004). World Development Report 2004: Making Services Work for Poor People

Penulis: Nofriadi Kurnia Putra,S.I.P
Peneliti Studi Korupsi Politik
Mahasiswa S2 Departemen Politik Pemerintahan Fisipol UGM

 

 

 

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest

More articles