Malut, Investigasi.news – Berikut adalah sudut pandang dari seorang akademisi STAI Babussalam Sula terhadap Perputaran Keuangan yang berimbas kepada pertumbuhan ekonomi di Kab. Kepulauan Sula.
1. Prolog.
Sebagai putra daerah yang mencintai Kabupaten Kepulauan Sula, saya merasa terpanggil untuk mengangkat permasalahan mendasar yang tengah dihadapi masyarakat, yakni lambatnya perputaran keuangan di daerah ini. Isu ini bukan sekadar keluhan ekonomi, tetapi juga cerminan dari berbagai aspek struktural yang saling berkaitan, mulai dari sistem pemerintahan, kebijakan ekonomi, kondisi sosial budaya, hingga faktor hukum yang mengatur roda perekonomian daerah.
Lambatnya perputaran uang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat, menghambat pertumbuhan usaha kecil, menurunkan daya beli, dan mempersempit peluang investasi. Padahal, Kepulauan Sula memiliki potensi besar dalam sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata yang seharusnya mampu menggerakkan ekonomi daerah dengan lebih dinamis. Namun, realitas yang kita hadapi justru sebaliknya: ekonomi berjalan stagnan, peluang usaha terbatas, dan banyak sumber daya yang belum dikelola secara optimal.
Tulisan ini mencoba menelaah persoalan tersebut dari berbagai sudut pandang: filosofis, teoritis, sosiologis, yuridis, dan empirik, guna menemukan akar masalah dan solusi yang bisa diterapkan. Dengan memahami permasalahan ini secara mendalam, saya berharap kita dapat merumuskan langkah konkret untuk mempercepat perputaran ekonomi di Kepulauan Sula, demi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah yang kita cintai.
2. Perspektif Filosofis
Dalam filsafat ekonomi, kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama dari aktivitas ekonomi. Prinsip keadilan distributif yang diajarkan Aristoteles maupun prinsip keadilan sosial menurut John Rawls menekankan bahwa distribusi sumber daya, termasuk perputaran keuangan, harus merata dan adil. Namun, di Kepulauan Sula, lambatnya perputaran uang menunjukkan adanya ketimpangan dalam distribusi ekonomi. Sebagian besar modal berputar di sektor tertentu, sementara sektor lainnya stagnan. Filosofisnya, ini menunjukkan kegagalan dalam menciptakan sistem ekonomi yang inklusif dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat.
3. Perspektif Teoritis
Dalam teori ekonomi makro, perputaran uang atau velocity of money sangat bergantung pada tingkat konsumsi, investasi, dan kebijakan fiskal pemerintah. Keynesianisme, misalnya, menekankan pentingnya belanja pemerintah dalam mendorong perputaran ekonomi. Namun, jika belanja pemerintah tersendat akibat birokrasi yang lamban atau korupsi, maka uang tidak akan cepat beredar di masyarakat. Dalam teori pembangunan ekonomi, rendahnya infrastruktur keuangan, seperti perbankan yang belum maksimal dan rendahnya literasi keuangan masyarakat, juga menjadi faktor utama dalam lambatnya sirkulasi uang.
4. Perspektif Sosiologis
Secara sosiologis, perputaran uang yang lambat di Kepulauan Sula tidak lepas dari struktur sosial dan budaya ekonomi masyarakat. Mayoritas masyarakat masih bergantung pada sektor primer seperti pertanian dan perikanan yang memiliki pola produksi musiman, sehingga pemasukan mereka tidak stabil sepanjang tahun. Selain itu, pola konsumsi masyarakat cenderung tidak produktif, dengan lebih banyak uang mengalir keluar daerah akibat ketergantungan pada produk impor dari luar. Faktor sosial lain adalah minimnya investasi dari pengusaha lokal karena kurangnya kepercayaan terhadap sistem ekonomi daerah.
5. Perspektif Yuridis
Secara hukum, lambatnya perputaran uang bisa jadi berkaitan dengan lemahnya regulasi dan implementasi kebijakan yang mendukung percepatan ekonomi daerah. Misalnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan dan investasi. Namun, realitasnya, kebijakan anggaran daerah sering tersendat akibat prosedur birokrasi yang berbelit dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan APBD. Regulasi yang tidak ramah investasi juga menyebabkan minimnya investor yang mau menanamkan modalnya di Sula, sehingga pertumbuhan ekonomi berjalan lamban.
6. Perspektif Empiris
Secara empiris, lambatnya perputaran uang di Kepulauan Sula terlihat dari rendahnya daya beli masyarakat, kurangnya aktivitas bisnis, dan minimnya investasi. Realitas ini diperparah oleh keterbatasan infrastruktur ekonomi, seperti akses transportasi yang sulit, sistem logistik yang belum optimal, serta konektivitas yang masih terbatas dengan pusat perdagangan di luar daerah. Selain itu, lambatnya pencairan dana proyek pemerintah juga berdampak pada tersendatnya aliran uang di sektor riil. Banyak pelaku usaha kecil yang kesulitan mendapatkan modal, sehingga ekonomi tidak bergerak sebagaimana mestinya.
7. Catatan Epilog.
Lambatnya perputaran keuangan di Kepulauan Sula merupakan masalah kompleks yang harus diselesaikan melalui pendekatan multidimensional. Dari sudut pandang filosofis, perlu ada keadilan dalam distribusi ekonomi. Secara teoritis, pemerintah harus memainkan peran lebih aktif dalam merangsang perputaran uang. Dari sisi sosiologis, perubahan budaya ekonomi masyarakat perlu didorong melalui literasi keuangan dan pemberdayaan usaha lokal. Secara yuridis, kebijakan fiskal dan regulasi investasi harus lebih progresif untuk mendorong masuknya modal dari luar. Sementara secara empiris, pembangunan infrastruktur ekonomi dan percepatan pencairan anggaran pemerintah harus menjadi prioritas utama.
Jika semua aspek ini diperbaiki secara simultan, maka perputaran keuangan di Kepulauan Sula akan lebih cepat, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara berkelanjutan
Oleh: Mohtar Umasugi
(Akademisi STAI Babussalam Sula)


