Kurikulum di Indonesia itu seperti fashion show tahunan: baru sebentar dipakai, sudah harus ganti model lagi. Sejarah mencatat, setiap kali kita punya Menteri Pendidikan yang baru, hampir pasti beliau membawa “baju” kurikulum baru. Alih-alih menyempurnakan kurikulum lama yang sebenarnya sudah punya dasar bagus, kita malah sibuk membuang dan membangun ulang dari nol. Fenomena ini bukan hanya melelahkan, tapi juga jadi sindiran pedas bagi dunia pendidikan kita.
Sindiran utamanya adalah: Apakah masalah pendidikan kita sesederhana mengganti nama kurikulum? Jawabannya jelas tidak. Tapi, seolah-olah ganti kurikulum adalah capaian terbesar seorang Menteri. Dampaknya, para guru dan sekolah menjadi kelinci percobaan yang terus menerus dipaksa beradaptasi. Mereka harus ikut pelatihan kilat yang isinya cuma kulitnya saja, lalu buru-buru mengubah semua perangkat ajar. Guru pun jadi spesialis adaptasi administrasi, bukan spesialis mengajar.
Ironi lain muncul dari janji “Merdeka Belajar”. Kurikulum ini dibilang fleksibel dan memberi otonomi, tapi pada praktiknya, fleksibilitas itu hanya berlaku untuk sekolah-sekolah yang sudah kaya dan hebat di kota. Di sisi lain, sekolah di pelosok yang listriknya saja masih on-off justru dipusingkan dengan tuntutan digitalisasi dan modul ajar baru. Bagi mereka, kurikulum baru hanya menambah PR yang tidak realistis. Jadi, fleksibilitas itu hanya mitos bagi sekolah yang sumber dayanya pas-pasan.
Lalu, di mana letak kesalahan mendasarnya? Kesalahannya ada pada fokus yang salah. Kita terlalu sibuk dengan administrasi perubahan mengganti cover, istilah, dan regulasi daripada fokus pada kualitas inti di kelas. Materi tetap saja padat dan ambisius, membuat siswa kita jadi ahli menghafal daripada ahli memecahkan masalah.
Jika ingin pendidikan Indonesia maju, hentikan kebiasaan “ganti baju” kurikulum setiap lima tahun. Pemerintah harusnya fokus pada stabilitas, penguatan guru, dan pemerataan fasilitas. Kurikulum tidak perlu dirombak total, cukup disempurnakan pelan-pelan. Karena pendidikan yang berkualitas itu butuh proses yang tenang, bukan gebrakan yang hanya indah di atas kertas tapi berantakan di kelas.
Oleh karena itu, jika kita benar-benar serius menginginkan lompatan mutu pendidikan, harus ada penghentian permanen terhadap kebiasaan ganti baju kurikulum setiap periode. Pemerintah harus memprioritaskan stabilitas kebijakan, investasi serius pada penguatan profesionalisme guru, dan pemerataan infrastruktur secara adil. Pendidikan berkualitas tercipta melalui proses yang tenang, berkelanjutan, dan didukung ekosistem yang kuat, bukan melalui gebrakan kebijakan yang hanya tampak ideal di atas kertas namun amburadul dalam praktik operasional.
Oleh: Selfitri
Mahasiswi S1 Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Padang


