Malut, Investigasi – Publik kembali dikejutkan dengan aksi demo yang dilakukan oleh para karyawan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kepulauan Sula. Mereka bukan sekadar turun ke jalan menyampaikan tuntutan, tetapi juga nekat memalang pintu kantor. Ini bukan sekadar simbol perlawanan, tetapi cerminan dari kondisi internal perusahaan yang kian meruncing.
Aksi ini menjadi pertanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam tata kelola PDAM. Bagaimana mungkin perusahaan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pelayanan air bersih justru terjerembab dalam ketidakpastian? Jika perusahaan berjalan normal, tidak mungkin karyawannya harus turun aksi dan menutup akses kantornya sendiri.
Akar masalah ini tidak lain adalah manajemen yang buruk. Jika PDAM tidak berjalan, berarti ada kegagalan dalam perencanaan, eksekusi, atau bahkan kepemimpinan di dalamnya. Apakah ini karena buruknya tata kelola keuangan? Apakah ada masalah dalam distribusi anggaran? Atau justru ketidakmampuan dalam memastikan operasional perusahaan tetap stabil?
Karyawan yang berani memalang kantor menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan kepercayaan terhadap manajemen. Mereka bukan hanya menuntut hak mereka, tetapi juga menunjukkan bahwa perusahaan ini sedang dalam krisis kepemimpinan. Jika manajemen berjalan baik, tidak mungkin ada aksi sebesar ini.
Salah satu dugaan yang mengemuka adalah persoalan keuangan. Apakah PDAM mengalami defisit anggaran? Apakah gaji karyawan tidak dibayar tepat waktu? Jika iya, ke mana perginya anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan mereka? Atau jangan-jangan ada kebijakan yang justru membebani perusahaan, seperti penunjukan pejabat yang tidak kompeten atau proyek yang tidak sesuai prioritas?
Di banyak daerah, PDAM sering kali mengalami kendala karena ketergantungan pada subsidi pemerintah. Jika subsidi tidak turun tepat waktu atau pengelolaan keuangan perusahaan tidak transparan, maka dampaknya langsung terasa, terutama bagi para karyawan.
Tidak berjalannya PDAM bukan hanya masalah internal perusahaan, tetapi juga menjadi ancaman bagi pelanggan. Bagaimana pelayanan air bersih dapat berjalan jika perusahaan dalam kondisi stagnan? Apakah masyarakat harus kembali ke metode tradisional untuk mendapatkan air bersih?
Di tengah krisis air yang semakin kompleks, PDAM seharusnya menjadi solusi, bukan malah menjadi beban tambahan. Aksi palang kantor yang dilakukan karyawan harus menjadi alarm bagi pemerintah daerah untuk segera turun tangan.
Ada beberapa langkah yang harus segera diambil untuk mengatasi krisis ini:
a. Evaluasi Manajemen PDAM, Jika manajemen saat ini terbukti tidak mampu mengelola perusahaan dengan baik, maka pergantian pimpinan menjadi keharusan. Tidak boleh ada kompromi dalam penyelamatan perusahaan publik seperti PDAM.
b. Audit Keuangan yang Transparan, Jika persoalannya ada pada anggaran, maka audit menyeluruh harus dilakukan. Kemana larinya dana yang seharusnya digunakan untuk operasional dan kesejahteraan karyawan?
c. Dialog Terbuka dengan Karyawan, Menindak tegas aksi palang kantor tanpa memahami akar masalah justru akan memperburuk situasi. Pemerintah dan manajemen harus duduk bersama dengan karyawan untuk mencari solusi terbaik.
d. Intervensi Pemerintah Daerah, Sebagai pemilik PDAM, pemerintah daerah tidak boleh lepas tangan. Jika ada kebijakan yang menghambat kinerja PDAM, maka perlu ada revisi kebijakan yang lebih pro terhadap keberlanjutan perusahaan dan kesejahteraan karyawannya.
Aksi demo dan pemalangan kantor PDAM ini adalah puncak gunung es dari krisis yang lebih besar. Jika tidak segera ditangani, maka bukan hanya PDAM yang mati suri, tetapi juga pelayanan publik yang semakin terpuruk. Pemerintah harus bertindak cepat, manajer harus bertanggung jawab, dan karyawan harus diberikan kepastian.
Jika PDAM terus dibiarkan tidak berjalan, maka kita tidak hanya kehilangan air bersih, tetapi juga kehilangan kepercayaan terhadap tata kelola pemerintahan yang baik.
Oleh: Rahman Latuconsina
(Pewarta Investigasi Biro Kepulauan Sula).



