Cinta dan kasih sayang tak selalu terlahir dari darah yang sama. Ada ikatan yang lebih dalam dari sekadar genetik—ikatan batin yang tumbuh karena keikhlasan, karena kebersamaan dalam perjuangan, karena cita-cita yang sama untuk masa depan yang diridhai Allah. Dan ikatan itulah yang mengikat hati saya dengan anak-anak di Pondok Pesantren Alquran Darul Inqilabi Lubuk Basung.
Saya bukan ayah kandung mereka. Tapi ketika anak-anak itu memanggil saya dengan sebutan “ayah,” hati saya bergetar. Seolah Allah sendiri yang menitipkan mereka untuk saya jaga, saya bimbing, saya cintai.
Kadang saya bertanya dalam diam, “Mengapa hati ini begitu menyayangi mereka?” Jawabannya pun datang dari lubuk hati sendiri—karena mereka bukan sembarang anak. Mereka adalah anak-anak pilihan, titipan langit, yang sedang berjuang jauh dari pelukan orang tuanya demi satu tujuan: membahagiakan ayah dan bundanya kelak dengan membawa cahaya Alquran.
Senin malam itu, jam menunjukkan pukul 11.30 WIB. Saya sudah di mobil, siap pulang. Tapi hati saya memanggil untuk kembali. Saya turun, membuka pintu asrama pelan-pelan. Semua anak sudah tertidur lelap. Saya berdiri memandangi wajah-wajah polos itu satu per satu. Sepuluh menit saya berdiri dalam diam, hanya untuk menatap mereka, membacakan doa dalam hati.
Di antara mereka ada anak kandung saya sendiri. Tapi malam itu, saya tak mampu membedakan mana anak kandung, mana bukan. Karena semuanya, dalam pelukan hati saya, adalah anak-anak saya.
Saya menutup pintu perlahan dan duduk di bangku depan pondok. Hujan rintik-rintik jatuh membasahi bumi, menambah hening dan haru dalam malam itu. Saya berdoa—semoga mereka betah, kuat, dan tumbuh menjadi anak-anak saleh dan salehah. Di saat anak-anak lain tertidur nyaman di rumah bersama ayah bundanya, anak-anak ini memilih tidur di asrama sederhana, demi ilmu, demi masa depan yang mereka yakini akan membahagiakan orang tuanya.
Saya termenung hampir 10 menit, lalu kembali ke mobil. Tapi kaki ini enggan melaju. Hati ini masih ingin tinggal. Maka saya rebahkan kursi mobil dan terlelap di sana, di depan pondok, di bawah gerimis malam. Dua jam saya tidur dalam rasa damai yang tak bisa dijelaskan kata-kata, sebelum akhirnya pulang setelah hujan reda.
Anak-anak itu bukan darah daging saya. Tapi cinta saya pada mereka tulus, seperti cinta ayah kepada anak-anaknya sendiri. Karena sesungguhnya, kasih sayang itu tak butuh bukti biologis. Ia tumbuh dari pengabdian dan keikhlasan—dan atas nama itulah saya hadir di sini: sebagai pembina, sebagai ayah, sebagai sahabat perjalanan mereka menuju cahaya.
Oleh: Hasneril, SE



