Jakarta, Investigasi.news– Di tengah gempuran hoaks dan gelombang disinformasi yang meracuni ruang digital, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menyuarakan seruan penting: humas pemerintah tidak lagi cukup menjadi tukang siar informasi semata. Mereka harus naik kelas—menjadi arsitek narasi bangsa.
“Kita harus proaktif. Jangan menunggu isu jadi liar baru kita sibuk klarifikasi. Kita harus hadir sejak awal, membangun narasi yang kuat, dan menjadi sumber kebenaran di tengah hiruk-pikuk informasi, ” tegas Meutya saat membuka Rapat Koordinasi dan Pelatihan Humas Pemerintah, di Pusdiklat Kemkomdigi, Rabu (26/2/2025).
Dengan mengangkat tema “Sinergitas Humas Pemerintah Mewujudkan Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045,” rapat tersebut menjadi momentum penting untuk menyatukan langkah seluruh lini komunikasi pemerintahan, dari pusat hingga daerah.
Meutya mengibaratkan humas seperti kesebelasan sepak bola: tanpa strategi, koordinasi, dan konsistensi, maka lapangan opini publik akan dikuasai lawan. “Jika kita tidak bersatu dalam komunikasi, jangan heran jika kebijakan baik pun tenggelam ditelan hoaks, fitnah, dan narasi sesat yang dibangun secara sistematis,” ujarnya tegas.
Dengan dominasi media sosial sebagai sumber informasi utama masyarakat—73 persen menurut Katadata dan 43 persen Gen-Z yang lebih percaya media sosial dibanding media konvensional—humas pemerintah harus mampu bertransformasi secara radikal.
“Kita tidak bisa lagi mengandalkan rilis berita dan konferensi pers konvensional. Humas harus jadi kreator konten, influencer kebijakan, dan pengendali percakapan digital,” kata Meutya. “Instagram, TikTok, YouTube—itu medan tempur kita sekarang.”
Ia menekankan, memberikan akses informasi yang akurat adalah hak publik, dan sekaligus bentuk penghormatan terhadap demokrasi. Maka, ketika ruang publik dijejali kabar palsu, diam bukan pilihan.
“Kalau kita tidak bicara, maka orang lain yang akan mendominasi percakapan. Pertanyaannya: apakah mereka membawa kebenaran? Belum tentu,” ujar Meutya, mengingatkan pentingnya kecepatan, kecerdasan, dan ketepatan dalam mengisi ruang publik.
Mengutip filsuf komunikasi Marshall McLuhan, Meutya menegaskan bahwa setiap teknologi membawa dampak budaya yang mendalam. Oleh karena itu, humas tidak hanya harus mampu menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk pola pikir, menciptakan makna, dan menumbuhkan kepercayaan.
“Kita bukan hanya bagian dari percakapan publik, kita adalah pengarahnya. Itulah peran sejati humas di era digital,” tegasnya.
Ia pun mengapresiasi peran Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) yang selama ini telah menjadi tulang punggung komunikasi strategis pemerintah. Menkomdigi menekankan pentingnya sinergi antarhumas di seluruh kementerian dan lembaga agar informasi kebijakan publik tidak hanya tersampaikan, tetapi dipahami dan dipercaya.
Komunikasi Adalah Strategi, Bukan Pelengkap
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang turut hadir, menambahkan bahwa komunikasi bukan lagi sekadar pelengkap. “Komunikasi adalah napas kebijakan. Jika komunikasi gagal, kebijakan sehebat apapun bisa tidak sampai ke rakyat.”
Ia mendorong setiap lembaga untuk memiliki tenaga komunikasi yang andal, profesional, dan adaptif terhadap perubahan ekosistem media.
Menkomdigi dan Hasan Nasbi sepakat bahwa pertarungan narasi tidak akan pernah berhenti. Maka, humas pemerintah harus tampil sebagai pemimpin narasi, bukan pengikut isu.
“Kita tidak bisa membiarkan ruang publik diisi kebohongan. Narasi yang benar tidak terbentuk sendiri, kitalah yang harus menciptakannya, dengan strategi, sinergi, dan keberanian,” pungkas Meutya Hafid.
Zulmi