Air Mata di Tengah Doa, Ternyata Masih Ada

Baca Juga

Lubuk Basung, Investigasi.news — Suasana haru menyelimuti sebuah mushala sederhana di kawasan Talago Bawah, Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sabtu malam (31/5/2025). Usai shalat Isya berjamaah, sebuah peristiwa kecil namun penuh makna terjadi: seorang santri tak kuasa membendung air mata saat sang imam memimpin doa.

Imam muda malam itu adalah Ibrahim, salah satu santri senior. Seusai shalat dan zikir bersama, ia melantunkan doa yang dalam dan penuh penghayatan. Doa itu rupanya menyentuh relung hati seorang santri, hingga membuatnya larut dalam tangis.

Awalnya, mushala hening. Namun beberapa santri mulai memperhatikan satu teman mereka yang terlihat menunduk sambil menyeka air mata. Sebagian menghampiri dan bertanya dengan cemas, “Ada apa?” Tapi santri itu hanya menggeleng sambil berkata lirih, “Tidak apa-apa.”

Seorang pembina yang akrab disapa Ayah turut menghampiri. Meski ditanya, santri tersebut tetap menjawab dengan tenang, “Tidak ada apa-apa, Ayah.”

Namun saat santri lain diminta keluar dari mushala, Ayah kembali mendekat dan bertanya lebih lembut. Kali ini, air mata yang sempat tertahan akhirnya mengalir lagi.

“Tadi ana terharu saat berdoa. Ana sering lihat Ayah menangis saat berdoa… dan tadi, entah kenapa, spontan saja ana ikut menangis,” ungkap sang santri.

Santri tersebut diketahui masih duduk di kelas 1, dan momen itu menjadi pengalaman spiritual pertamanya yang begitu mendalam. Hubungan erat dengan Ayah, yang tak lain adalah pimpinan pondok, menjadi salah satu faktor emosional yang memicu keharuan tersebut.

Ayah memang dikenal sangat dekat dengan para santri. Ia senantiasa membersamai mereka, mulai dari jam 03.30 pagi untuk membimbing shalat dan kegiatan dini hari, hingga malam hari selepas Maghrib hingga waktu mereka tidur. Kedekatan ini tak hanya mendidik, tapi juga menumbuhkan rasa aman dan kasih sayang yang dalam bagi para santri.

Dengan senyum hangat, Ayah mengantar santri itu keluar dari mushala. Mata sang anak masih basah, namun penuh ketenangan. Mereka lalu membonceng bertiga menuju asrama bersama Ibrahim, sang imam muda.

Ayah mengaku tak tahu pasti apakah momen haru itu ada kaitannya dengan nasihat selepas shalat Ashar tadi sore. Tapi yang jelas, ia mengenal anak itu sebagai santri yang taat, sopan, dan bersungguh-sungguh.

“Pagi tadi, karena libur, ana ajak dia jogging ringan. Kami tak bicara banyak, hanya menikmati udara pagi. Tapi kadang, hal kecil seperti itu justru menumbuhkan kedekatan yang dalam,” ucap Ayah dengan mata berkaca-kaca.

Momen itu sederhana, namun menyimpan makna yang dalam. Tangisan santri bukan karena masalah, tapi karena ketulusan dan rasa syukur yang datang dari relung jiwa. Sebuah pelajaran sunyi yang mengajarkan bahwa doa yang tulus dapat menyentuh hati paling keras sekalipun.

Di tengah derasnya arus modernisasi dan gempuran gawai di dunia santri, pemandangan seperti ini mengingatkan kita: ketundukan dan rasa haru dalam doa masih hidup di kalangan generasi muda, meskipun tak sering tampil di media sosial.

Semoga para santri kita tumbuh menjadi pribadi yang beradab, santun, dan kokoh dalam nilai-nilai spiritual, sebagaimana harapan para guru dan orang tua di setiap bait doa mereka.

Penulis: Hasneril, SE

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest

More articles