(Tinjauan Permedikbud 30 tahun 2021 dalam prespektif pendidikan Agam Islam)
Oleh : Safrudin Nawazir Jambak
Ketua umum Forum Literasi Kab Agam/anggota DPRD agam FPKS
1.Prolog
Bismillah, semoga Allah SWT senantiasa menurunkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Tulisan kali ini berbicara soal tema kekerasan seksual menanggapi Permendikbud no 30 tahun 2021 yang telah menuai protes keras dari berbagai kalangan tetapi mas mentri Nadim makarim sampai artikel ini dibuat masih menunggu kelengkapan aspirasi untuk mau mervisi atau barangkali masih sangat keberatan untuk merobah beberapa pasal yang sangat multi tafsir dan berpotensi melegalkan seks bebas di dunia kampus.
Secara ilmiyah telah cukup banyak dilakukan diskusi publik dan seminar terkait Permendikbud ini digedung DPR oleh fraksi-fraksi dan komisi untuk mengkaji baik dalam prespektif moral, hukum dan konstitusi salah satunya yang diadakan oleh Fraksi PKS DPR RI dalam diskusi yang bertema ‘Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 Dalam Perspektif UUD NRI tahun 1945’ itu menghadirkan sejumlah narasumber seperti Dr. Bachtiar SH., MH; Dr. Joko Riskiyono, SH., MH; dan Dr. Neng Djubaedah SH., MH. Hadir juga Rektor Unpam Dr. E. Nurzaman A. M., MM., MSi; Ketua Yayasan Sasmita Jaya, Dr. (HC) Drs. H. Darsono, dan Wakil Rektor IV Unpam, Dr. Dewi Anggraeni SH., MH.
Pada umumnya hasil diskusi diberbagai tempat berkesimpulan bahwa Permendikbud no 30 tahun 2021 bertentangan dengan konstitusi baik nilai Pancasila maupun UUD 1945, terutama adanya frasa “tanpa persetujuan korban “ pada Pasal 5 Ayat 2 Huruf L dan M dari peraturan itu. Selanjutnya dibanyak pasal terdapat ketidak pastian hukum terhadap objek perlindungan dalam hal ini si korban dan dinilai mengandung kerancuan dan sebahagian pasal berpotensi melabrak nilai-nilai keagamaan.
Seharusnya dengan telah nyata bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi Permendikbud ini mestilah segra direvisi karena dalam kajian hukum penjenjangan didasarkan asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Asas tersebut sesuai dengan Stufen Theory atau Teori Tangga dari ahli hukum Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1945).
Tulisan ini akan melihat dalam prespektif pendidikan mencoba menginterprestasikanya antar konsep dan teori dengan menghimpun berbagai data dari berbagai sumber baik permendikbud no 30 tahun 2021,draf RUU TPKS, keputusan MUI,sikap berbagai ORMAS Islam dan pendapat para ahli bahwa dalam prespektif pendidikan terutama pendidikan Agama Islam bahwa sebuah peraturan dan sanksi hukum diharapkan disamping menegakkan keadilan, kepastian hukum dan juga mengandung nilai pendidikan, nilai moral serta kemanusiaan dimana diharapkan menimbulkan efek jera baik bagi pelaku pelanggaran dan juga bagi masyarakat umumnya sehingga upaya prefentif secara dini dapat dilakukan agar terhindar dari setiap prilaku penyimpangan baik secara hukum maupun moral agama.
2.Antara Kekerasan dan Kejahatan seksual dalam prespektif Pendidikan Agam Islam
Secara terminologi kekerasan seksual adalah tindakan yang mengarah pada ajakan seksual tanpa persetujuan.[1] Ini juga termasuk tindakan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada anak atau individu yang terlalu muda untuk menyatakan persetujuan, ini disebut dengan pelecehan seksual terhadap anak.(wikipedia)
Dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal I poin 1 RUU PKS yang telah diganti dengan RUU TPKS dijelaskan kekerasan seksual adalah:
“Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik.”
Sementara pada Bab dan pasal yang sama dalam RUU TPKS, kekerasan seksual diartikan sebagai: “Setiap perbuatan yang bersifat fisik dan atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis.”
Berbeda dengan kekerasan, kejahatan dalam kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata ja·hat a sangat jelek, buruk; sangat tidak baik (tentang kelakuan, tabiat, perbuatan): orang itu — hatinya, suka sekali menghina orang yang tidak mampu; berikutnya kata ber·ja·hat v (1) berbuat jahat (seperti berzina); berbuat dosa; (2)bercakap-cakap menjelek-jelekkan nama baik orang lain; memfitnah(kan); lebih lengkapnya KBBI mendefinisikan bahwa kejahatan “perilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku yang telah disahkan oleh hukum tertulis”(KBBI)
Berbicara seksual, kita tidak cukup sekedar berbicara soal kekerasan, seksual adalah hubungan biologis antar manusia yang perlu diatur oleh aturan Agama, bicara seksual bukan sekedar tindak kekerasan tetapi menyangkut halal dan haram, sebab agama manapun didunia ini memiliki seperangkat pedoman hubungan lawan jenis sebagai tanda kemanusiaanya guna menghindari hubungan antar lawan jenis yang jatuh menyerupai makhluk Allah selain manusia, perbuatan seksual/hubungan lawan jenis yang tidak mengindahkan aturan agama meski dilakukan tanpa kekerasan adalah sebuah pelanggaran yang bisa dikatakan sebuah kejahatan apalagi dilakukan dengan kekerasan.
Jauh berbeda di dunia barat dimana kehidupan disana berpaham liberal bahwa kebebasan individu dalam beragama dan melakukan seks bebas menjadi hal yang tidak dipersoalkan, dengan banyaknya kasus kekerasan seksual didunia barat dan termarjinalkanya hak-hak perempuan menjadikan isu kekerasan seksual dan kesetaraan gender menjadi isu yang krusial disana. Ditambah dengan paham sekulerisme dunia barat tidak menjadikan agama menjadi pedoman hidup masyarakat barat dan tentunya hal ini tidak sesuai dengan budaya ketimuran yang kuat memegang nilai agama dan moral.
Di dalam Islam petunjuk mengenai hubungan lawan jenis/seksualitas sangat lengkap diatur di dalan Al Qur’an, Jika kita rujuk ayat-ayat dalam Al Qur’an yang berbicara soal pernikahan dan seksualitas diantaranya Al isra’ 32, Annur 30, Annur 33, Azzariyat 49, Annisa’ 1,Annisa’ 21, Al Qiyamah 39,Al hujurat 13,Ar Rum 21, dan juga hadis Rasulullah SAW Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Menikah itu termasuk dari sunahku, siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka ia tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena sungguh aku membanggakan kalian atas umat-umat yang lainnya, siapa yang mempunyai kekayaan, maka menikahlah, dan siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena sungguh puasa itu tameng baginya,” (HR Ibnu Majah)
Selanjutnya jika kita tinjau isi Permedikbud 30 tahun 2021 dan dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan Islam sangat jelas banyak pasal yang perlu ditinjau dan mendatangkan peluang untuk melakukan seks bebas karna terdapat frasa “tanpa persetujuan korban” pada beberapa pasal sehingga secaram “mafhum mukhalafah” (makna yang berbeda) bisa ditafsirkan jika korban setuju dan mendiamkan perpuatan seksual di kampus menjadi sah dan tidak ada larangan, selanjutnya mari kita cermati secara utuh substansi pasal-pasal yang kontraversial tersebut.
Isi Permendikbud No 30 tahun 2021 Pasal 5
(1) Seks Kekerasanl mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Seks Kekerasanual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
sebuah. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
B. alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
C. ucapan yang berisikan konten rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa pada Korban;
D. membocorkan korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video yang bernuansa korban meskipun sudah dilarang;
F. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban
yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
G. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
H. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
Saya. melihat atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
J. berjanji, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang disetujui oleh Korban;
k. memberi atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
M. membuka pakaian tanpa persetujuan Korban;
n. paksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
Hai. praktik budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
P. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
Q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
R. paksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
S. paksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
T. membiarkan terjadinya Kekerasanual dengan sengaja; dan/atau
u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
(3) Persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:
a. memiliki usia belum dewasa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
B. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
C. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
D. mengalami sakit, tidak sadar, atau terbangun;
e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
F. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g. mengalami kondisi terguncang.
Jika kita analisis dalam prespektif pendidikan Islam bahwa Pasal 5 ini mengandung pengajaran bahwa persetujuan korban menjadi alasan bahwa hubungan seksual tersebut dikatakan sah atau tidak dan menjadi alasan disebut sebuah tindakan kekerasan tanpa mengiraukan halal dan haramnya hubungan tersebut, selanjutnya menjadi kontraversial dan multi tafsir pada ayat (3) dimana persetujuan dianggap tidak sah jika korban dibawah umur dan lain sebagainya dimana dalam kaca mata pendidikan seolah pesan yang ditangkap melegalkan hubungan seks bebas bagi yang sudah cukup umur meskipun tanpa syarat yang sah menurut ketentuan agama, maka demikianlah substansi Permendikbud ini jauh dari nilai agama, tercerabut dari nilai Pancasila dan UUD 45.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pembentukan sebuah peraturan tidak boleh lepas dari nilai moral pancasila dan UUD 45 yang memuat nilai ketuhanan yang maha esa/nilai agama oleh karena itu frasa kekerasan lebih tepat digantikan dengan frasa kejahatan dimana mengandung nilai kemanusiaan, kesusilaan, keagamaan dan etika, sebab kejahatan adakalanya dilakukan dengan kekerasan seperti memperkosa, merampok dan sebagainya dan juga ada kalanya kejahatan dilakukan tanpa kekerasan seperti berzina, hipnotis dalam rangka menipu dan lainya, maka andai suatu kejahatan dilakukan tanpa kekerasan pastilah ia melanggar norma kesusilaan, keagamaan dan moral pancasil dan perlunya sanksi hukum bagi si pelanggar.
Pesan pendidikan Islam selaras dengan pendapat pengamat hukum dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ahmad Supardji mengatakan, ada tiga syarat agar sebuah peratutan perundang-undangan dikatakan baik dan ideal.”Pertama, UU yang dihasilkan harus “predictability” atau bisa memprediksi kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang harus bisa mengatasi masalah yang akan terjadi sekarang dan di masa mendatang dan tidak mudah berubah sehingga ada nilai kepastian.
“Kedua, sebuah peraturan harus bisa menciptakan “stability” atau keseimbangan seharusnya bisa menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari berbagai pihak. UU, kata dia harus akomodatif dan aspiratif sehingga kepentingan para pihak yang bersaing bisa ditampung semuanya dan Ketiga peraturan per udang-udangan harus mengandung unsur “fairness” mengandung nilai keadilan karena hakekat hukum dan UU adalah keadilan.
Dari pendapat pengamat hukum tersebut diatas Permendikbud 30 tahun 2021 jelas tidak memenuhi unsur yang ideal dimana tidak mengahsilkan “predictability” dimana tidak memperhitungkan akan lahirnya peluang pergaulan bebas dilingkungan kampus dengan adanya frasa”tanpa persetujuan korban”, substansinya telah menciptakan instabilitas dan kegaduhan serta keresahan ditengah ummat Islam dan juga penganut agama lainya, tidak fair serta karna jauh dari rasa keadilan.
3.Epilog
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa Permendikbud No 30 tahun 2021 sebahagian ketentuanya terutama pasal-pasal yang menuai kontraversial sebagaiama dibahas pada tulisanya ini sangat jauh dan bertentangan dengan nilai pendidikan Agama Islam, tercerabut nilai-nilai Pancasila dan UUD 45 sebagai landasan filosofis dan yuridis semua produk hukum di Indonesia.
Substansi peraturan mas mentri Nadim makarim ini yang banyak kalangan berpendapat nota bene banyak menyadur substansi RUU TPKS yang masih menimbulkan kontra versi dan sebahagian besar ditolak oleh ummat Islam/Ormas Islam justru didukung penuh oleh Kementrian Agama yang dipimpin Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mendukung kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim terkait Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi tanpa mencermati substansi yang berpeluang akan melegalkan atau mendorong pergaulan bebas/zina dilingkungan kampus. Semoga suara dan aspirasi ummat Islam untuk meminta direvisinya Permendikbud No 30 tahun 2021 dapat didengar dan ditindak lanjuti oleh Pemerintah.
Waallahua’lam bissawab