Batam, Investigasi.news – Ada yang busuk di Teluk Mata Ikan Nongsa, dan baunya kian menusuk. Suara mesin penyedot pasir meraung siang-malam, menandai betapa hukum hanya jadi penonton. Ironisnya, aparat yang seharusnya berwibawa justru tampak lumpuh, bahkan kalah telak melawan pengendali tambang ilegal yang disebut warga: SRT.
Di lapangan, aktivitas haram itu bukan lagi sembunyi-sembunyi. Mesin berdiri pongah, truk-truk pengangkut pasir melintas seenaknya, jalan raya berubah jadi jalur emas mafia pasir. Warga menunjuk satu nama yang mengatur semuanya: SRT — sang “dalang” tambang ilegal.
“Mesin boleh beda pemilik, tapi semua ada di bawah kendali dia,” kata seorang warga, getir.
Tanpa satu pun izin terpampang, bisnis kotor ini berjalan dengan percaya diri. UU Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 158 dengan tegas menyebutkan pelaku tambang ilegal bisa dipidana 5 tahun penjara dan denda Rp100 miliar. Tapi pasal-pasal itu di Teluk Mata Ikan justru tampak ompong, tak bergigi.
Pertanyaannya: ke mana Polda Kepri? ke mana Dinas Lingkungan Hidup? ke mana pengawas tambang? Apakah mati rasa, atau pura-pura mati?
Di balik kelumpuhan aparat, warga mencium aroma kongkalikong. Diduga ada aliran uang yang membuat tambang ilegal ini kebal. Uang mengalir, mulut tertutup, kuasa digenggam. Sementara kerusakan lingkungan makin parah: air keruh, tanah longsor, jalan rusak, dan telinga warga terus dipaksa mendengar deru mesin tambang.
Tambang pasir ilegal ini bukan lagi sekadar pencurian sumber daya. Ini perampokan terang-terangan di depan mata hukum. Selama aparat memilih diam, selama instansi pura-pura buta, mafia pasir akan terus menertawakan negara.
Borok Teluk Mata Ikan Nongsa kini telanjang: tanah dikeruk, uang dihisap, hukum dilenyapkan. Dan SRT, sang pengendali tambang ilegal, berdiri kian kuat di atas puing-puing kewibawaan aparat.
Hingga berita ini diturunkan, pewarta masih memburu konfirmasi dari pihak Kepolisian, DLH, dan SRT sendiri.
Fransisco Chrons



