Berarsitektur unik, Istano Pagaruyung ini beratap melengkung dan runcing mirip tanduk kerbau terbuat dari daun ijuk, berbentuk empat persegi panjang yang terbagi dua, muka dan belakang.
Keunikan atapnya itulah yang menginspirasi arsitek Ton van de Ven dari Belanda. Ia mengadopsi desain Rumah Gadang pada bangunan The House of the Five Senses. Dioperasikan sejak 1996, bangunan ini menjadi gerbang utama dari Taman Hiburan Efteling, Belanda.
Dinding istano Pagaruyung berbahan baku papan yang dipasang vertikal penuh ukiran seperti tumbuhan rambat, akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Ada juga motif geometri bersegi tiga, empat dan genjang.
Tak ada bahan baku bangunan seperti semen dan paku di rumah ini. Penyangga rumah berupa tiang-tiang yang panjang yang bertumpu di atas batu. Seluruh sambungan pertemuan tiang dan kasau (kaso) besar mengunakan pasak kayu.
Kendati demikian, laman wikipedia.org menuliskan, rumah ini memang tahan gempa. Ketika bumi bergoyang, Rumah Gadang istano Pagaruyung akan bergeser secara fleksibel seperti menari di atas batu datar tempat tonggak atau tiang berdiri. Irama yang sama juga terjadi di setiap sambungan yang terhubung pasak kayu.
Untuk naik ke atas rumah, hanya ada satu tangga yang terletak di bagian depan. Bagian depan banyak terdapat ornamen bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi empat dan genjang. Bagian luar belakang dilapisi belahan bambu.
Seluruh bagian rumah merupakan ruangan terbuka, kecuali kamar tidur. Tiang-tiang di dalam rumah menjadi penanda pembagian ruang. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari kiri ke kanan menandai ruang.
Menurut adat Minangkabau, rumah gadang ini dibangun melalui ritual adat yang ketat. Misalnya, untuk tiang utama rumah yang disebut tonggak tuo itu saja berasal dari pohon juha yang sudah tua berdiameter 40-60 cm dari dalam hutan.
Sebelum dijadikan tiang, pohon juha direndam dalam kolam bertahun-tahun. Baru kemudian diangkat melalui prosesi adat yang disebut mambangkik batang tarandam (membangkitkan pohon direndam). Selanjutnya pembangunan rumah gadang pun berproses sampai selesai.
Sejatinya, rumah gadang ini menjadi sebuah penghormatan untuk para perempuan di Padang, sebab memang dikhususkan sebagai tempat tinggal keluarga besar terutama kaum perempuan.
Bahkan ketentuan adat menetapkan, jumlah kamar rumah gadang pun harus sesuai dengan jumlah perempuan yang ada di rumah itu.
Dibangun di atas tanah milik keluarga induk, rumah ini hanya dimiliki dan diwarisi oleh kaum perempuan. Di halaman rumah biasanya didirikan bangunan rangkiang (tempat menyimpan padi), selain itu di sayap kiri dan kanan rumah ada ruang anjuang (anjung) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat. Itulah sebabnya rumah ini juga disebut Baanjuang.
Lalu di mana tempatnya para lelaki? Nah, biasanya tempat bagi para lelaki dibangun tak jauh dari kompleks Rumah Gadang. Disebut surau yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan dan juga sekaligus tempat tinggal lelaki dewasa yang belum menikah.
Makna rumah gadang ini dapat dipetik dari sebuah pepatah lokal, “Rumah Gadang basa batuah, Tiang banamo kato hakikat, Pintunyo banamo dalil kiasan, Banduanyo sambah-manyambah, Bajanjang naik batanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu, Biliak¬nyo aluang bunian. “Maknanya, sebuah rumah tak dipandang seberapa besar ukurannya, yang paling penting adalah luasnya fungsi rumah. Sumber Berita Satu
Oleh: M Nazwira Hidayat