By: Nurul Maulidia
NPM: 20220000011
Mahasiswi Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Daerah Universitas Indonesia Maju, Jakarta
SKRINING HIPOTIROID KONGENITAL (SHK) merupakan skrining yang dilakukan pada bayi baru lahir untuk melihat apakah bayi tersebut kekurangan hormon tiroid atau tidak. Sebagaimana diketahui bahwa akibat kekurangan hormon tiroid sejak saat bayi dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode emasnya yaitu periode pembentukan jaringan otak dan pertumbuhan pesat yang terjadi pada masa kehamilan hingga tiga tahun pertama kehidupan.
Penyebab hipotiroid kongenital (HK) antara lain karena kelainan primer dari kelenjar gondok seperti kelainan pembentukan kelenjar yang tidak terbentuk, kelenjar kecil atau posisi kelenjar tidak pada tempatnya (ektopik), kemudian gangguan pada pembuatan hormon tiroid dan kekurangan iodium pada ibu hamil.
Hipotiroid (HK) pada bayi bisa bersifat permanen (menetap) atau sementara (transien). Disebut sebagai HK transien bila setelah beberapa bulan atau beberapa tahun sejak lahir kelenjar gondok mampu memproduksi sendiri hormon tiroidnya, maka pengobatan dapat dihentikan.
Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) dilakukan pada bayi usia 48-72 jam, dengan cara mengambil 2-3 tetes darah dari tumit Bayi dan diteteskan ke dalam kertas saring, dan selanjutnya diperiksa di laboratorium untuk diketahui kadar TSH dalam darahnya. Skrining ini dapat dilakukan di fasilitas kesehatan pemberi layanan Kesehatan Ibu dan Anak terdekat (baik FKTP maupun FKRTL), sebagai bagian dari pelayanan atau fasilitas kesehatan milik pemerintah untuk bisa mendapatkan pemeriksaan secara gratis.
Gejala khas baru muncul seiring bertambahnya usia anak (Kemenkes, 2022). Oleh karena itu, kegiatan SHK ini sangat penting dilakukan sebagai upaya promotif preventif. Bila pada skrining ditemukan hipotiroid kongenital, maka dilakukan pengobatan segera dalam periode emas (kurang dari 1 bulan).
Program SHK pertama kali dimulai pada tahun 1972 di Amerika Utara. Di Indonesia sendiri, pemerintah sudah memulai program skrining ini pada tahun 2008 di 8 provinsi, yakni Sumbar, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, Jatim, Bali dan Sulsel. Namun pada saat itu SHK belum
Diwajibkan oleh pemerintah, dan belum disosialisasikan ke seluruh propinsi di Indonesia, dan sempat tidak berjalan mulus beberapa tahun setelah itu, kemudian tahun 2016 mulai digaungkan lagi ke seluruh Provinsi di Indonesia namun sifatnya belum wajib. Nah disini pada saat itu masih sangat banyak fasilitas kesehatan yang tidak mau melakukan SHK karena berbagai faktor seperti belum kompetennya petugas dalam pengambilan sampel darah bayi atau orang tua bayi yang tidak bersedia sampel darah bayinya diambil, waktu pengambilan sampel yang susah untuk bayi yang dilahirkan secara persalinan normal karena pada bayi yang dilahirkan secara persalinan normal, maka bayi akan pulang sebelum 48 jam sementara SHK dilakukan pada waktu minimal 48 jam setelah kelahiran, dan banyak faktor penghambat lainnya.
Di Provinsi Sumatera Barat sendiri khususnya di Kabupaten Pasaman Barat saat itu juga masih belum siap dalam pelaksanaan SHK ini karena kurangnya dana untuk mengadakan pelatihan SHK ke seluruh petugas terkait, sehingga kurang juga dalam sosialisasinya, serta waktu kirim yang lumayan memakan waktu karena saat itu laboratorium yang memeriksa sampel SHK berada di RS Hasan Sadikin Bandung. Selain itu karena kurangnya kompetensi petugas dalam pengambilan sampel darah bayi maka banyak hasil yang ditolak (tidak terbaca). Pada tahun 2019, pelaksanaan SHK pada bayi di Kab. Pasaman Barat ada sebanyak 365 namun sebanyak 46 sampel ditolak (tidak bisa terbaca), dan pada tahun 2021 ada sebanyak 296 sampel yang dikirim oleh RSHS bandung ke Kab. Pasaman Barat, namun hanya 127 sampel yang terpakai dan dari 127 sampel tersebut ada sebanyak 13 ditolak (tidak bisa terbaca).
Namun pemeriksaan SHK sangatlah penting dilakukan mengingat bahayanya akibat yang terjadi kepada anak yang hipotiroid, salah satunya bisa menyebabkan stunting (pendek). Sebagaimana diketahui bahwa kasus stunting di Indonesia masih dikatakan kategori tinggi. Berdasarkan angka Nasional dari Riskesdas tahun 2013 angka stunting tercatat sebanyak 51,54% dan tahun 2018 35,10%, berdasarkan data SSGI tahun 2021 stunting tercatat sebanyak 24,0% dan SSGI tahun 2022 tercatat sebanyak 35,5%.
Berdasarkan angka dari e-PPGBM di Kab. Pasaman Barat tahun 2018 anak stunting tercatat sebanyak 28,4%, tahun 2019 sebanyak 17,8%, tahun 2020 sebanyak 21,0%, tahun 2021 sebanyak
18,3%, tahun 2022 sebanyak 16,7% dan tahun 2023 sebanyak 15,4%. Dan dari pengukuran bulan Februari 2023 di Kab. Pasaman Barat di dapatkan anak Stunting sebanyak 15,4% atau sebanyak
5.168 dari 33.618 balita yang ada.
Beranjak dari hal tersebut maka pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah tentang kewajiban untuk melakukan SHK kepada semua bayi baru lahir, melalui Kepmenkes no. HK.01.07/MENKES/1511/2023 dimana dalam Kepmenkes tersebut menyebutkan bahwa persalinan JKN mulai tanggal 1 September 2023 hanya dibayarkan jika dilakukan pengambilan SHK pada bayinya, kecuali bayi tidak dimungkinkan untuk diambil sampel atau kondisi akses geografi jauh dari laboratorium rujukan, dan disusul dengan keluarnya surat dari BPJS nomor 2475/II-05/0823 tentang tindak lanjut dari Kepmenkes tersebut.
Sontak hal ini membuat ramai dikalangan pelayanan kesehatan dan juga dikalangan masyarakat, karena kebijakan ini terkesan dipaksakan demi memenuhi target nasional, namum persiapannya kurang, terlihat dari sampel darah yang diambil oleh petugas sangatlah jauh dari kriteria yang sudah ditetapkan sehingga hasil dari sampel darah yang diambil tidak bisa terbaca (ditolak) di laboratorium rujukan, dan BMHP SHK yang dikirim oleh Kemenkes ke Kab/Kota belum sesuai dengan jumlah seluruh bayi baru lahir yang sudah diusulkan oleh Kab/Kota sehingga banyak faskes yang belum mendapatkan kertas saring sampel SHK tersebut, belum lagi penolakan dari pihak keluarga yang tidak mau anaknya diambil darahnya, sementara klem BPJS tergantung dari sampel SHK tersebut, sehingga banyak dilema yang muncul disini.
Banyaknya pro kontra yang terjadi di lapangan membuat kebijakan ini menjadi kurang efektif karena ada beberapa hal yang dirugikan seperti bayi misalnya apabila yang mengambil sampel darah bayi adalah petugas yang tidak kompeten maka hasil SHK yang di dapat/di teteskan ke kertas saring tidaklah sempurna sehingga akan mendapatkan hasil yang tidak terbaca (ditolak) sementara tumit kaki Bayi sudah ditusuk untuk diambil sampel darahnya, bahkan ada Bayi yang mengalami komplikasi pasca tindakan seperti perdarahan karena kurangnya anamnesis petugas terhadap Bayi sebelum melakukan tindakan, belum lagi cara penggunaan jarum yang tidak benar sehingga banyak jarum yang rusak, sementara jatah jarum yang diberikan hanya untuk 1 bayi 1 jarum dan 1 kertas saring, artinya dalam hal ini petugas tidak boleh membuat kesalahan karena tidak ada pengganti untuk kerusakan masing-masing BMHP nya. Ditambah lagi hasil dari pemeriksaan SHK yang lama keluarnya sehingga membuat ibu Bayi merasa tidak ada manfaat dari pengambilan darah tumit bayinya, padahal hasil negatif hanya sampai di dinas kesehatan saja.
Menyikapi hal ini sebaiknya sebelum Kemenkes mengeluarkan keputusan wajib pelaksanaan SHK untuk semua bayi yang lahir alangkah baiknya ini dipersiapkan dulu secara matang mulai dari mempersiapkan setiap tenaga ponolong persalinan agar kompeten dalam pengambilan sampel darah tumit bayi dengan melakukan pelatihan SHK, kemudian menyediakan BMHP SHK sesuai dengan seluruh jumlah sasaran bayi baru lahir hidup disetiap Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia dan memfasilitasi bagaimana proses permintaan BMHP tersebut lancar dan terpenuhi dengan cepat, kemudian memberikan pilihan kepada ibu bayi untuk dapat memilih mau atau tidak dalam pemeriksaan SHK ini melalui formular infomed consen tersendiri khusus untuk SHK.