”Natur sebuah bangsa perlu digerakkan untuk mendorong terpecahnya segregasi sosial sebagai penentu jalan politik sebuah bangsa di bangun, mengingat pentingnya konsolidasi kebangsaan dalam rangka menjawab isu besar sebuah proyek kebangsaan, yakni kesejahteraan”.
Sekiranya sudah sekitar 103 tahun Indonesia mengarungi samudra kebangsaan dengan berbagai centang perenangnya, ia bangkit dengan identitas keindonesiaan yang tercorak dalam satu gagasan besar kebangsaan dengan di rumuskan dalam konsep kemerdekaan yang ideal.
Sejak kemerdekaan bangsa Indonesia terbilang begitu berdarah darah merangkak dan mulai berdiri dan berlari untuk keluar dari pengapnya pembangunan nasional bangsa ini, dalam artian bahwa sejak awal Indonesia memang berdiri dengan jalan pikiran dan gagasan besar para pejuang kemerdekaan terdahulu.
Jika kita Tarik jauh ke belakang, Politik kebangsaan kita pasca Orde Baru telah membuka kotak pandora yang selama puluhan tahun dikunci rapat oleh rezim Soeharto, yakni terdistribusinya kekuasaan di berbagai ruang politik, tak terkecuali di tubuh partai politik. Partai politik yang tumbuh berkembang selama periode ini adalah hasil inkubasi aliansi bisnis dan politik, yang tak pelak menjadi bagian dari proses akumulasi kekuasaan para pemodal.
Realitas politik kepartaian tersebut telah menunjukkan ingkarnya janji-janji Reformasi. Warga negara dihadapkan pada harapan kosong atas perubahan politik.
Demokratisasi yang disuntik melalui agenda ekonomi pasca krisis ekonomi Asia sekitar tahun 1997 nyatanya tidak membuat corak kekuasaan kita berubah secara substansial.
Lembaga-lembaga baru, termasuk rezim elektoralnya, hanya membuat terdistribusinya kekuasaan lama ke medium baru, tak terkecuali partai politik. Partai politik yang seharusnya menjadi wahana perjuangan politik warga negara lagi-lagi tersandera kekuatan lama yang bengis: oligarki. Dari fakta tersebut, kita patut skeptis terhadap janji perubahan melalui proses elektoral.
Relasi oligarki telah mendasari beroperasinya tatanan politik dan perkembangan sosial yang lebih luas, dipertahankan dan direproduksi melalui aliansi predatoris yang terjalin antara politisi birokrat dengan pengusaha. Aliansi ini terbentuk karena persaingan kepentingan antara politisi dan birokrat yang memiliki sumber daya terbatas dengan pengusaha yang membutuhkan akses ke politik dan hukum. Mereka sama-sama bertujuan mengakumulasi dan mempertahankan kekayaan dan kekuasaan.
Perlu digaris bawahi bahwa Politik elektoral merupakan salah satu saluran para oligarki untuk mempertahankan kekayaan. Oligarki dapat memilih untuk mendukung, membiayai, atau bahkan terlibat langsung sebagai elite politik. Praktis, kelompok oligarki selalu mengupayakan keadaan kesenjangan material dan politik secara ekstrem.
Transformasi Politik Oligarki
Pendekatan relasi oligarki dibangun diatas kritik mengenai kelembagaan baru pasca reformasi, Argumen penting dari pendekatan ini adalah bagaimana oligarki politik dan bisnis secara kompleks mampu mengatur ulang kekuatan mereka dan mengamankan kepentingan kolektifnya. Kita bisa memeriksanya di dua krisis ekonomi Indonesia, pertama krisis moneter 1997 dan kedua krisis pandemic covid 19.
Relasi oligarki di masa krisis pada 1997 mampu menyesuaikan gejolak ekonomi yang mereka hadapi. Oligarki yang kolaps karena menghadapi krisis akhirnya bisa mengorganisasi ulang kekuatannya dan menghadapi ”pendisiplinan pasar”. Dua pemikir oligarki yakni Robison dan Hadiz menyebutkan bahwa relasi oligarki telah mampu membentuk formasi sosial yang baru dengan cara membajak dan memanfaatkan lembagalembaga baru pasca Reformasi.
Dengan demikian, Relasi kekuasaan yang terbentuk pasca krisis pada 1997 terlihat juga pada krisis pandemi covid 19, bagaimana relasi-relasi politik dan bisnis menangani krisis dengan menempatkan kepentingan ekonomi sebagai agenda utama, hingga bagaimana konfigurasi kekuasaan yang bersifat predatoris terkonsolidasi pada situasi krisis kesehatan yang hadapi bangsa Indonesia beberapa tahun lalu.
Dengan demikian, Setidaknya ada tiga corak kekuatan relasi oligarki yang telah menyesuaikan diri dan bertransformasi pasca Orde Baru. Pertama, tidak seperti pada era Orde Baru yang aliansi politik-bisnisnya selalu “merepotkan” ekonomi pasar, relasi oligarki pasca Orde Baru telah mampu beradaptasi dengan kehendak pasar. Ini, bisa dilihat pada kemampuannya menangani pandemi berbasis kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pro korporasi. Kedua, agenda desentralisasi sebagai resep ampuh pasar pasca krisis 1997 telah membuat relasi oligarki terdistribusi dan menguat di level lokal. Dari level pemerintah pusat hingga level pemerintah daerah, simpul-simpul formasi politik bisnis terbentuk dan menguat. Ketiga, terbentuknya kelembagaan baru yang “unik” pasca Orde Baru yang kelak menjadi medium anyar bagi relasi-relasi oligarki.
Wacana Politik Gagasan
Hingga memasuki pemilu 2024 atau pemilu keenam pasca reformasi, kontestasi pemilu elektoral belum beranjak dari politik kekuasaan dalam terminologi Machiavelli dan Thomas Hobbes. Menurut Machiavelli, kekuasaan memiliki otonomi yang terpisah dari moral sehingga merebut dan mempertahankan kekuasaan bisa dilakukan dengan segala cara. Hobbes menganggap manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo hominilupus). Karena itu, negara harus menjadi Leviathan, makhluk pemangsa yang ditakuti agar manusia tidak saling memangsa satu sama lain.
Politik kekuasaan yang diperagakan partai-partai peserta pemilu mungkin tidak seganas yang digambarkan Machiavelli dan Hobbes. Namun, indikasinya cukup kuat untuk menegaskan bahwa orientasi politik kekuasaan jauh lebih dominan ketimbang politik gagasan, meminjam terminologi demokrasi, jika politik kekuasaan berbicara soal bagaimana kekuasaan direbut dan dikelola, politik gagasan berbicara soal bagaimana kekuasaan diawasi dan untuk kepentingan siapa kekuasaan dikelola.
Orientasi politik kekuasaan lebih terasa pada Pemilu 2024 usai putusan MK soal batas usia capres dan cawapres, hal demikian terlihat bagaimana kekuasaan menggunakan instrument hukum sebagai jalan untuk merawat politik dinastinya. Hiruk pikuk calon presiden dan wakil presiden pun makin terlihat memanas pasca debat cawapres pada pekan lalu, dimana etika dan moral terlihat berserakan antara yang tidak etik dan yang paling etik.
Dengan demikian, kemenangan demokrasi bukanlah pada mereka yang akan memenangkan kontestasi politik tapi kemenangan demokrasi sesungguhnya adalah memegang sepenuhnya bahwa daulat rakyat menjadi agenda sebuah perubahan itu dirancang atas kebutuhan rakyat akar rumput sebagai kekuatan Bangsa ini, jika kita berdemokrasi namun kemiskinan dan kesenjangan masih marajalela di mana-mana maka cara berdemokrasi kita perlu dicek ulang.
Penulis adalah :
Mohtar Umasugi, S.Ag, M.Pd
Presiden Direktur MGG