Padang, Investigasi.news — Pemerintah daerah dinilai belum berpihak dalam memperjuangkan nasib guru honorer di Sumatra Barat. Selain gaji yang terbilang kecil, peluang guru honorer untuk diangkat melalui skema PPPK juga kian menipis lantaran kuata penerimaan yang dipangkas.
Seruan tersebut menjadi salah satu tuntutan yang disampaikan oleh ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa se Sumatra Barat (BEM SB) saat berunjuk rasa di depan kantor Gubernur Sumatra Barat, dalam peringatan Hari Guru, Kamis 25 November 2021.
“Pemda Sumatra Barat belum memprioritaskan guru honorer dalam kebijakan-kebijakan yang diambil, terutama dalam memaksimalkan realisasi jatah kuota guru honorer untuk diangkat melalui mekanisme Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK),” ujar salah satu orator Imam Wahyudi mahasiswa Universitas Negeri Padang dalam orasinya.
Ia menyampaikan, pemerintah pusat telah memberikan jatah sebanyak 3 ribu kuota formasi untuk guru honorer mengikuti PPPK. Namun dalam realisasinya Pemda Sumatra Barat hanya mengusulkan sebanyak 750 kuota.
Kondisi tersebut, menurut Imam menyebabkan kuota PPPK bagi guru honorer Sumatra Barat yang tidak dapat dimaksimalkan sepenuhnya, sehingga berujung dengan merosotnya jumlah guru honorer yang memiliki peluang untuk diangkat sebagai pegawai PPPK.
“Berkurangnya jumlah kuota usulan dari Pemda Sumbar kepada pusat mengenai pengangkatan guru honorer ini, telah menjadi indikasi bahwasanya Pemprov Sumbar belum memiliki keberpihakan yang jelas terhadap nasib guru honorer yang padahal memiliki tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa lewat UUD 1945,” ujar Imam.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Mahasiswa Universitas Andalas, Teza Kusuma, bahwa guru di Sumatra Barat belum mendapatkan tiga aspek penting yang seharusnya dijamin oleh negara, yaitu kesejahteraan, perlindungan dan peningkatan kualitas.
“Di beberapa wilayah di Sumatra Barat, kota maupun kabupaten, di sekolah swasta maupun negeri, masih ada guru honorer yang mendapatkan gaji yang rendah dan tidak layak, sedangkan kualitas, saat ini kita tahu bahwa proses pengangkatan guru honorer menjadi pegawai melalui mekanisme PPPK semuanya menggunakan sistem komputerisasi,” ujarnya.
Sedangkan guru honorer, menurut Teza saat ini sudah banyak yang berusia tua dan perlu mendapatkan penambahan keterampilan penggunaan teknologi supaya mereka mendapatkan kesempatan yang sama dengan guru honorer muda untuk mengikuti seleksi PPPK.
“Guru-guru honorer yang telah berusia tua dan tak kunjung mendapatkan status kepegawaian yang jelas serta rela digaji kecil selama bertahun-tahun demi mencerdaskan kehidupan bangsa, akhirnya diikutkan kedalam suatu kompetisi yang tidak adil dengan sistem. Komputerisasi dalam mekanisme PPPK, apakah ini adil?, ” ujarnya.
Dalam aksi tersebut massa membawa berbagai poster berisikan protes dan kritik terhadap pemerintah yang belum berpihak pada guru honorer. Seperti, Guru Honorer Bukan Budak Pendidikan”, “Sumbar Gagal Prioritaskan Guru Honorer” dan berbagai spanduk ungkapan kekecewaan atas tak kunjung membaiknya nasib guru honorer di Sumbar Lainnya.
Massa juga meminta untuk bertemu dengan Gubernur Sumbar Mahyledi untuk menyampaikan secara langsung aspirasi tersebut. Namun para mahasiswa yang bisa menemui Kepala Dinas Pendidikan Sumbar, Adib Alfikri. Di hadapan massa aksi, Adib menyampaikan akan mengkaji dan menyampaikan aspirasi mahasiswa tersebut kepada Gubernur Sumatra Barat.
Sementara itu, Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan peraturan presiden mengenai standar upah minimum nasional bagi guru non-Aparatur Sipil Negara (ASN). “Urgensi Perpres ini untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan guru bukan ASN, yaitu guru honorer termasuk guru sekolah atau madrasah swasta,” kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim.
Meskipun sudah ada guru PPPK sebagai bagian dari ASN, namun sambung Satriwan, skema ini belum mengakomodir keberadaan guru honorer yang jumlahnya hampir 1,5 juta orang. Seleksi guru PPPK baru menampung 173 ribu guru honorer dari formasi yang dibuka, yaitu 506 ribu secara nasional.
Ia menjelaskan, fakta di lapangan upah guru honorer dan guru sekolah/madrasah swasta menengah ke bawah sangat rendah, jauh di bawah UMP atau UMK buruh. Berdasarkan laporan jaringan P2G di daerah, kata Satriwan, UMK buruh di Kabupaten Karawang Rp 4,7 juta. Namun upah guru honorer SD Negeri di sana hanya Rp 1,2 juta. Kemudian UMP/UMK Sumatera Barat Rp 2,4 juta per bulan, sedangkan upah guru honorer SD negeri di 50 Kota dan Kabupaten Tanah Datar hanya Rp 500-800 ribu per bulan.
Di Kabupaten Aceh Timur, upah guru honorer sekitar Rp 500 ribu per bulan. Di Kabupaten Ende, guru honorer di SMK negeri Rp 700-800 ribu per bulan. Di Kabupaten Blitar, upah guru bervariasi tergantung lama mengabdi, misalnya Rp 400 ribu untuk honorer baru, Rp 900 ribu yang sudah lama.
“Jadi rata-rata upah di bawah Rp 1 juta per bulan, bahkan tak sampai 500 ribu. Sudahlah kecil, upah pun diberikan rapelan mengikuti keluarnya BOS. Padahal mereka butuh makan dan pemenuhan kebutuhan pokok setiap hari,” katanya.
Menurut Satriwan, pemerintah bisa melahirkan standar upah minimum bagi buruh, sedangkan bagi guru tidak. Jika upah guru honorer ditentukan besarannya oleh kepala sekolah dan pemda dengan nominal semaunya, jelas melanggar UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 ayat 1 (a). Bunyi aturan itu, “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak (a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial”.
Regulasi upah layak bagi guru, kata Satriwan, penting demi penghormatan profesi. Sehingga profesi guru punya harkat dan martabat di samping profesi lain. Juga mendorong anak-anak bangsa yang unggul dan berprestasi mau dan berminat menjadi guru.
“Kenyataannya profesi guru tak dihargai, tak bermartabat, karena upahnya tidak manusiawi. Upah guru honorer selama ini sudah melanggar UU Guru dan Dosen serta aturan UNESCO dan ILO. Guru honorer minim apresiasi dan proteksi dari negara,” ujar Satriwan.
Sementara itu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi ( Mendikbudristek ) Nadiem Anwar Makarim menyampaikan, pemerintah tahun depan akan terus mendorong rekrutmen pegawai PPPK untuk memastikan semua guru honorer bisa mengikuti tes seleksi dan yang lolos mendapatkan formasi sehingga guru honorer pun bisa lebih sejahtera.
“Itu sudah pasti prioritas pertama kita karena kalau tidak bisa menafkahi keluarga bagaimana bisa berkualitas,” kata Nadiem.
Kemudian, lanjut Nadiem, Kemendikbudristek akan meluncurkan berbagai macam platform teknologi yang akan meningkatkan kualitas dan mutu guru. Menurutnya, Kemendikbudristek tidak hanya akan memberikan laptop ataupun projektor namun akan memberikan berbagai pelatihan online yang bisa diikuti guru secara mandiri sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
(red)