BANUHAMPU, investigasi.news – Kamis (21/4) sekitar pukul 3:30 dini hari, rombongan Tim Safari Ramadan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) yang dipimpin Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah satu per satu bangkit, beberapa dari iktikafnya yang khusyuk, sebagian besarnya dari tidurnya yang pulas di masjid Al-Ikhlas, Jorong Pandan Gadang, Nagari Sungai Tanang; negeri elok di kaki Singgalang yang berhadapan dengan Marapi; kampung kecil tenang yang menginspirasi Oslan Husein untuk menuliskan baris-baris lirik lagu klasik ‘Babendi-Bendi’.
Tak sampai seperempat jam, rombongan lalu bertolak menuju kediaman pasangan Ridho (32) dan Yulinda (29) di Jorong Salimpariak, Nagari Padang Lua. Ridho, atau sering disebut Kayo, dan Linda, panggilan akrab Yulinda, adalah pasangan petani sayur yang menghuni rumah teratas di kaki Singgalang. Tak ada lagi tempat tinggal warga setelah rumah mereka.
Dengan mobil, rombongan menyusuri jalan yang dinamai Tandikia, jalan beton selebar satu mobil yang mengantar siapa saja ke pinggang Singgalang. Lalu disambung dengan berjalan kaki melalui jalan setapak yang cukup terjal dan licin karena hujan semalaman di Agam. Medi Iswandi, Kepala Bappeda Prov. Sumbar, sampai harus berhenti dan mengatur ulang nafasnya di tengah pendakian ini. Secara keseluruhan, butuh lebih dari setengah jam bagi rombongan untuk sampai ke kediaman keluarga Kayo di Salimpariak dari Sungai Tanang.
Rumah Kayo sederhana dan seadanya. Seperti sebuah balok tak rumit dengan satu kamar saja di dalamnya, selebihnya ruangan lepas yang dinding-dindingnya ditempeli _wallpaper_ bermotif bata. Tak ada dapur, tak pula terlihat kamar mandi. Jika disigi ke seluruh ruangan, akan tampak seutas kabel menonjol, melintas dari salah satu sudut rumah ke tengah; mengalirkan listrik tetangga ke lampu LED cukup besar yang menjadi satu-satunya sumber penerangan rumah.
Ketika rombongan datang, Kayo, Linda, bersama anak-anak, paman, dan ibu mereka telah menanti di dalam. Kayo mengenakan parka biru tua tebal. Di lehernya terlihat sarung yang dililit demikian rupa seperti syal, persis dandanan orang Jepang di awal musim dingin pada paruh kedua Desember.
Di dalam rumah, Gubernur Mahyeldi dan rombongannya, dan Kayo serta keluarganya lalu berbincang sembari menyantap hidangan sahur yang tersaji dalam kotak. Kayo yang merupakan warga asli Solok Ambah, Sijunjuang, misalnya, ditanyai Gubernur tentang bagaimana mula pertemuannya dengan Linda.
“_Ambo diimbau dek_ jodoh _ka_ puncak Singgalang, Pak,” jawab Kayo puitik.
Sejurus lalu, Gubernur bertanya bagaimana cara keluarga Ridho memenuhi kebutuhannya akan air bersih. Disebutkan Kayo, keluarganya sepenuhnya bergantung pada air hujan, rumah tetangga, dan masjid yang tak dekat dari rumah.
“_Aia_ kami _aia_ hujan _se_, Pak. _Babuekan panampuang ciek_. Kadang _bajapuik aia ka_ rumah di bawah _ko_. Kok _indak pai ka musajik_ bawah _ko_,” jawab Kayo.
Obrolan terus berlanjut hingga hidangan sahur habis. Sebentar saja, tak lama. Ditutup dengan penyaluran bantuan senilai Rp25 juta dari Baznas Provinsi Sumbar untuk keluarga Kayo. Bantuan tersebut diharapkan dapat membantu Kayo memperindah kediamannya. Gubernur dan rombongan kemudian pamit untuk meneruskan perjalanannya ke masjid Sakinah yang masih terletak di jorong yang sama guna menggelar Subuh Mubarakah.
(Diskominfotik Sumbar)