Tubaba, Investigasi.news – Polemik terkait penahanan ijazah dan kartu Program Indonesia Pintar (PIP) siswa oleh SMAN 3 Tulang Bawang Tengah (TBT), Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) semakin memanas. Sekolah tersebut diduga melakukan tindakan yang merugikan siswa dan potensi kerugian negara melalui penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
SMAN 3 TBT dituduh melakukan pungutan liar (pungli) dan intimidasi terhadap siswa. Ketidakjelasan mengenai pengelolaan dana BOS yang dikucurkan dalam jumlah fantastisโdalam kisaran puluhan juta rupiah per tahunโmenambah keresahan. Dana BOS seharusnya mencakup biaya administrasi sekolah, tetapi ada indikasi bahwa sekolah melakukan pungutan tambahan dari siswa.
Ketua Forum Komunikasi Pemberantasan Korupsi (FKPK) Tubaba, Wahidin, mengungkapkan kekecewaannya. “Penahanan ijazah dan kartu PIP dengan alasan administrasi jelas merupakan pungli. Semua biaya administrasi sudah dianggarkan melalui dana BOS,” ujarnya. Wahidin juga mencurigai adanya permainan dalam pengelolaan dana BOS yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Menurut Wahidin, penggunaan dana BOS di SMAN 3 Tubaba selama tiga tahun terakhir menunjukkan angka yang signifikan:
– **Tahun 2021**:
– Tahap 1: Rp. 9.300.000
– Tahap 2: Rp. 8.658.000
– Tahap 3: Rp. 6.450.000
– **Tahun 2022**:
– Tahap 1: Rp. 20.812.000
– Tahap 2: Rp. 17.535.000
– Tahap 3: Rp. 17.506.000
– **Tahun 2023**:
– Tahap 1: Rp. 17.232.000
– Tahap 2: Rp. 24.967.000
Wahidin mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk mengungkap secara transparan realisasi penggunaan dana BOS di SMAN 3 dan menindak tegas pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran. “Kami menuntut tindakan tegas dari APH. Siapapun yang terbukti bersalah harus dipecat secara tidak hormat dan diproses hukum,” tegasnya.
Kepala SMAN 3 TBT, Sukeri, memberikan klarifikasi terkait penahanan ijazah dan kartu PIP. Menurut Sukeri, penahanan ijazah dilakukan karena administrasi belum selesai. “Kami tidak menahan ijazah tanpa alasan. Orang tua siswa harus menyelesaikan administrasi terlebih dahulu. Jika tidak, ijazah tidak bisa diserahkan,” ujarnya.
Sukeri juga membenarkan bahwa kartu PIP ditahan untuk alasan pengamanan. “Kartu PIP kami tahan di sekolah untuk mencegah kehilangan. Jika kartu hilang, kami yang harus bertanggung jawab dan membuat laporan,” jelas Sukeri. Namun, Sukeri tidak menjelaskan secara rinci jumlah penerima bantuan PIP dan besaran bantuan yang diterima siswa.
Orang tua siswa juga melaporkan masalah terkait penahanan ijazah dan kartu PIP. Cik Ning, salah satu orang tua siswa, mengeluhkan penahanan ijazah anaknya yang sudah berlalu setahun. “Kami kesulitan mendapatkan pekerjaan karena ijazah masih ditahan sekolah. Kami tidak mampu melunasi tunggakan karena kondisi ekonomi kami yang sulit,” keluhnya.
Ela, orang tua siswa lainnya, menambahkan, “Anak saya belum mendapatkan ijazah meskipun sudah lulus. Sekolah mengklaim bahwa SPP belum lunas. Kami bingung dengan kebijakan sekolah yang mengklaim pendidikan gratis.”
Nilawati dan Egy, orang tua siswa lainnya, juga mengeluhkan ketidakjelasan mengenai bantuan PIP. Mereka hanya mengetahui bahwa anak mereka mendapatkan bantuan tanpa rincian jumlah bantuan karena kartu PIP masih dipegang oleh pihak sekolah.
Wahidin menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Dinas Pendidikan dan pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah masalah serupa di masa depan. “Kami meminta Gubernur Lampung untuk mengevaluasi kinerja Dinas Pendidikan dan memperbaiki sistem pengawasan agar nama baik dunia pendidikan di Lampung tidak tercoreng,” pungkasnya.
Fitrah