Hoax, Media Sosial, Dan Penguasa

More articles

Oleh : Benedikta Maria Sinta

Penggunaan alat teknologi informasi dan komunikasi menjadi sesuatu yang integral dalam kalangan dewasa ini. Dalam hal ini, media sosial menjadi alat untuk memudahkan manusia untuk mendapatkan informasi baru dan mengakses segala kepentingan inividu maupun kelompok. Namun, yang menjadi problematis ialah pengguna media sosial sering menggunakannya untuk melanggengkan kepentingan pribadi. Tidak sedikit dari mereka menggunakan media sosial untuk memporakporandakan kepentingan individu di atas kepentingan bersama.Media sosial tidak lagi menjadi wadah yang cocok untuk memberikan informasi baru dan berguna bagi masyarakat umum, tetapi dijadikan alat untuk memanipulasi masyarakat. Hal ini tampak dalam berita media sosial yang provokatif. Artinya, berita itu sering menggugah masyarakat sekaligus menjadikan berita itu sebagai indikator untuk membangun kehidupan bersama yang dalam tataran ini belum tentu ada kevalidan dari berita tersebut. Ketika sampai pada taraf ini akan sangat sulit bagi masyarakat untuk mengalihkan pemahaman akan sesuatu yang baru dengan pemahaman kebenaran yang sesungguhnya. Melihat fenomena yang terjadi sangat penting bagi penulis untuk mencoba membaca realitas tersebut dengan teori parrhesia Michel Foucault.

Akhir-akhir ini wacana mengenai hoax sangat familiar di kalangan masyarakat. Hal ini terlihat fenomenal dalam pemilihan legislatif yang mana pada saat itu didramatisasi oleh Ratna Sarumpaet. Peristiwa tersebut menjadi lokus dari masyarakat pada saat itu, hingga sampai sekarang term hoax tidak asing lagi bagi masyarakat. Bahkan,menjadi sebuah tema diskursus di ruang publik, sebab menggairahkan bagi kepentingan kelompok tertentu, dan menjengkelkan atau meresahkan bagi segelintir orang. Hoax menjadi sesuatu yang meresahkan, karena dengannya orang bisa mempropagandakan kepentingan tertentu.

Pada tataran ini, hoax menjadi musuh yang perlu dibinasakan. Namun, tak dapat disangkal oleh masyarakat bahwa biang di balik persoalan ini ialah para penguasa. Para penguasa menjadikan media sosial sebagai alat untuk menyalurkan segala aspirasi yang berkaitan dengan kepentingan individu atau kelompok mereka. Hoax sering dikaitkan dengan penguasa, sebab mereka memiliki keahlian dan mandat untuk melancarkan segala aksi yang berkaitan dengan kepengurusan dalam pemerintahan. Atau hal lain yang perlu diketahui bahwa media sosial menjadi wadah yang cocok bagi para penguasa untuk menyampaikan atau mengumbar hoax.

Baca Juga :  Kenapa Harus Mo-De ? (Mara Ondak – Desrizal)

Dalam artikel yang berjudul “Hoax dan Demokrasi” (Tempo, 11/1/2017), Rocky Gerung, Dosen Filsafat UI dan Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, sebagaimana yang dikutip oleh Peter Tan dalam buku Paradoks Politik, menulis demikian: “pembuat hoax adalah penguasa”, sebab mereka memilki peralatan lengkap untuk berbohong; statistik, intelijen, editor,panggung, media, dan seterusnya.Memperjelas kedudukan para penguasa dalam kehidupan bersama yang memilki mandat untuk memerintah, begitu pun dalam berbagai kesempatan pun mereka menggunakan kekuasaan tersebut untuk menjembatani kepentingan individu di atas kepentingan bersama.

Media sosial menjadi ajang pertarungan antara berita yang benar dan berita hoax. Dengan kata lain, di tengah pertarungan yang semakin marak terjadi penguasa tampil dengan berwajah hakim untuk menentukan mana yang benar dan tidak benar atau mana yang hoaks dan bukan hoaks. Di tengah situasi yang memperhatinkan ini, kehadiran penguasa bukan untuk menjernihkan segala isu-isu yang tidak benar tersebut, tetapi lebih kepada melanggengkan kepentingan tertentu. Sebab para penguasa memiliki kekuasaan untuk mengendalikan sekaligus mengontrol setiap berita yang dipublikasikan dalam media sosial. Melalui mandat tersebut, para penguasa menggunakan media sosial sebagai alat untuk mengakses kepentingan individu atau kelompok.

Kebohongan yang dilakukan oleh para penguasa dalam media sosial tentunya menjadi wacana umum yang perlu diperbincangkan oleh semua pihak. Tak sedikit orang gencar dengan tindakan yang dilakukan oleh para penguasa. Hal ini disebabkan karena hoaks mengaburkan kebenaran dan menutup jalan kepada tindakan yang rasional dan sehat. Bisa dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan penguasa bersifat kebablasan yang di mana mereka tidak memahami diri mereka sebagai pejabat pemerintah yang pada hakikatnya dipercayakan sebagai perwakilan dari rakyat untuk membangun kehidupan bersama beradasarkan asas kebaikan.

Baca Juga :  Sehat Itu Adalah Anugerah

Melihat fenomena yang terjadi sangat penting untuk membacanya dari perspektif teori parrhesia Michel Foucault, seorang filsuf terkemuka abad ke-20. Istilah Parrhesia berasal dari bahasa Yunani yang berarti bebicara secara jujur dan terbuka, berbicara bebas dan berkata benar. Kebenaran yang dimaksudkan ialah kebenaran otentik. Artinya, subjek yang berbicara mengatakan kebenaran tanpa ada intervensi dari pihak lain. Tidak ada pengaruh dari pihak luar untuk menyatakan kebenaran. Sebab dari dirinya, subjek benar dan tak ada yang menghalanginya untuk mengatakan kebenaran.

Berbicara mengenai kebenaran jarang ditemukan dalam konteks dewasa ini. Perkembangan alat teknologi dan komunkasi membuat manusia hidup dalam representasi dan bayang-bayang. Seperti yang dibicarakan oleh Jean Baudrillard “simulation”. Manusia kurang akses dalam realitas yang sesungguhnya, tetapi lebih pada aktivitas dalam media sosial. Inilah bahaya modernisme yang menjadikan manusia tidak mempedulikan orang lain. Dengannya, timbul berbagai tindakan yang kurang memperhatikan keberadaan orang lain atau lebih parahnya melihat yang lain sebagai objek untuk diperalat. Makanya, tak sedikit orang mengumbar kebohongan dalam media sosial. Kenyataan ini tak dapat dimungkiri oleh setiap orang, sebab itu merupakan bagian dari perkembangan hidup manusia.

Parrhesia lebih kepada menyatakan kebenaran daripada persuasi atau berbicara yang benar walaupun mengandung resiko bagi dirnya maupun orang lain. Parrhesia semacam komunikasi verbal antara subjek dan orang lain atau juga dengan diri sendiri dengan maksud untuk mendekatkan diri pada kebenaran. Sangat menarik teori parrhesia untuk menyita persoalan hoaks dalam media sosial oleh penguasa. Bagaimana kebenaran itu menerjangi seluruh pribadi para penguasa, supaya meminimalisir kasus hoaks tersebut. Para penguasa yang memegang kendali atas seuruh lini kehidupan manusia sangat diharapkan untuk mengadopsi teori parrhesia yang pada prinsipnya untuk mengatakan kebenaran yang sesungguhnya.

Hoaks dikaitkan para dengan penguasa, begitulah pendapat Rocky dalam artikelnya. Pendapat Rocky memberikan sebuah penegasan bahwa penguasa yang memiliki otoritas tertinggi dalam sebuah negara. Dalam artian bahwa penguasa yang memegang kendali atas penggunaan media oleh publik. Penguasa yang memonitoring dalam seluruh proses pelaksaan penggunaan media sosial tersebut. Inilah yang dinamakan dengan kekuasaan dalam dunia maya, yang di mana penguasa yang mengakses penuh atas media sosial tersebut.

Baca Juga :  Peran Generasi Muda Dalam Pusaran Ancaman Dan Harapan Konsolidasi Demokrasi Pada Pemilu 2024

Kekuasaan dalam media sosial membuat penguasa memberanikan diri untuk melakukan apa saja yang menjadi kepentingan mereka, terlepas dari kevalidan dari berita yang dipublikasikan. Penguasa kadang tidak memperhatikan konsekuensi dari argumentasi yang mereka lontarkan atau boleh jadi mereka menyadari hal tersebut, tetapi karena tuntutan dari dalam diri mereka untuk melanggengkan kepentingan individu atau kelompok. Teori parrhesia yang di dalam dirinya untuk mengatakan kebenaran sangat perlu diamini oleh para penguasa dengan tujuan untuk mengendalikan segala tindakan hoax dalam media sosial. Oleh karena itu, penguasa harus menanamkan benih-benih kebenaran dalam dirinya, agar media sosial menjadi wadah yang cocok untuk mengatakan kebenaran.

Merebaknya kasus hoaks oleh penguasa di negara ini dibutuhkan cakrawala berpikir yang krits dan rasional dari masyarakat dalam menyikapi setiap berita yang ada dalam media sosial. Perlunya sikap tersebut supaya masyarakat tidak membabibuta dalam membaca berita yang ada dalam media sosial. Dengannya, masyarakat tidak menjadi korban dari ujaran-ujaran yang berasaskan kebohongan, sehingga “patologi hoax” dalam diri penguasa tidak merambah pada individu dalam masyarakat.

Sebagimana teori parrhesia yang dicanangkan oleh Foucault, kita harus mendekati kebenaran dan menyatakan sesuatu berdasarkan apa adanya bukan apa yang diingini oleh pihak atau kelompk tertentu. Dengan mendekatkan diri pada kebenaran akan sangat mudah bagi kita untuk memahami berita hoaks alam media sosial dengan kebenaran yang ada dalam diri setiap orang. Dengan demikian, menyatakan kebenaran merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia dewasa ini yang dipenuhi dengan perkembangan dan kemajuan.

Penulis : Mahasiswi UNIKA St. Paulus Ruteng Prodi PBSI

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest