Keterlibatan masyarakat dalam memilih dan menentukan calon-calon pemimpinnya merupakan esensi dari sebuah demokrasi. Meniadakan keterlibatan masyarakat secara langsung dianggap sebagai pengingkaran terhadap demokrasi. Pandangan ini kemudian
menjadi dasar sistem pemilihan umum secara langsung yang dipandang sebagai system yang lebih tepat dan demokratis dibandingkan dengan sistem perwakilan. Para pemimpin yang terpilih dalam sistem pemilihan langsung kemudian mengisi
posisi-posisi dipemerintahan dianggap lebih legitimate karena merepresentasikan kehendak mayoritas rakyat. Demokrasi
merupakan wujud pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Demokrasi dapat dipahami sebagai nilai-nilai universal. Dalam ‘Democracy as a Universal Value” Artya Sen mengatakan bahwa nilai-nilai demokrasi menurutnya bisa diterapkan oleh bangsa manapun. Konsep ini juga bisa dijumpai dimanpun bangsa yang telah menganut sistem demokrasi. Konsep itu mencakup tiga pandangan utama, Yaitu,
Pertama, tentang pentingnya hakikat kehidupan manusia. Konsep ini dilandasi oleh pandangan bahwa melalui demokrasi, warga negara dapat menjalankan partisipasi politik dan mempunyai kebiasaan politik dalam statusnya sebagai kemanusiaan seutuhnya. Nilai kemanusian seutuhnya itu merupakan nilai-nilai yang diakui oleh bangsa dan ajaran agama secara universal.
Kedua, peran pembantu dalam mengerakan dorongan politik. Menurut konsep demokrasi ini, pemerintah akan bertagung jawab dan terbuka dalam menjalankan pemerintahannya.
Ketiga, fungsi pembangunan dalam pembentukan nilai-nilai. Menurut pandangan ini, demokrasi setiap bangsa dapat membentuk nilai-nilai dan membangun kesepahaman tentang kebutuhan, hak, dan kewajiban. Kesepahaman perlu dibangun oleh suatu bangsa, jika mereka ingin mewujudkan demokrasi di negara mereka. Sehingga demokrasi menurut Sen adalah demokrasi yang yang memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk menentukan pilihannya sendiri.
Dengan adanya Pemilihan Kepala Daerah Serentak akan menjadi kompetisi politik yang di laksanakan lima tahun sekali di Indonesia sebagai cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan di pemerintahan pada level Gubernur, Walikota dan Bupati. Secara nasional, Indonesia ditahun 2024 ini merupakan tahun dimana partai politik dan politisi-politisinya menyusun strategi untuk berkompetisi pada PILKADA. Dengan berbagai produk dari partai dan politisi ini mencoba untuk mensosialisasikan kepada masyarakat, baik dengan terjun langsung ke masyarakat maupun dengan jargon-jargon yang dibuatkan di spanduk-spanduk dan baliho.
Fenomena Demokrasi Lokal Kepulauan Sula
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan sebuah fenomena politik lokal di Kabupaten Kepulauan Sula yang sangat mengkhawatirkan. Panggung demokrasi, yang seharusnya menjadi arena pertukaran ide dan aspirasi, perlahan-lahan berubah menjadi medium saling menjelekkan, penyebaran hoax, pelanggaran hukum, perpecahan ditengah masyarakat hingga seperti pasar terbuka. Di sini, alih-alih mendengar debat sengit tentang kebijakan, visi masa depan dan rencana strategis sebagai program kerakyatan justru malah menjadi ajang saling menjatuhkan, perpecahan, mobilisasi ASN dan aparatur desa dan transaksi jual-beli suara yang dilakukan secara terang-terangan.
Berkaca pada fakta beberapa kali pelaksanaan demokrasi lokal di kepulauan Sula, khususnya menjelang PILKADA. Banyak bermunculan agen-agen perusak demokrasi yang menjual kebohongan pada masyarakat dan menyesatkan masyarakat, dengan money politik, menyebar kebencian, dan mempertontonkan kesesatan. Hal tersebut, tidak ulahnya seperti setan atau iblis yang menggoda dan menyesatkan pemikiran manusia.
Praktik politik uang adalah bentuk korupsi yang paling merusak, karena tidak hanya mencederai proses demokrasi, tetapi juga melahirkan pemimpin yang tidak kompeten dan korup. Ketika suara pemilih dibeli dengan uang, janji-janji politik tidak lagi relevan, dan program kerja hanya menjadi formalitas.
Namun, bagi mereka yang dengan sadar menukar suaranya demi keuntungan sesaat, ada peringatan serius: tunggulah laknat Allah. Dalam ajaran Islam, suap adalah perbuatan haram yang sangat dikecam. Rasulullah SAW bersabda, “Pemberi suap dan penerima suap, keduanya di neraka.” (HR. Tirmidzi).
Perbuatan ini bukan hanya menghancurkan tatanan sosial dan keadilan, tetapi juga mendatangkan murka Allah. Masyarakat Aceh Tengah, khususnya yang terlibat dalam praktik politik uang, harus segera bertaubat dan berkomitmen untuk menjaga integritas demokrasi.
Memang tak bisa kita nafikan realitas bahwa banyak orang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, kita juga harus melihat bahwa permasalahan politik uang ini sebenarnya bersifat struktural. Ada kesenjangan antara masyarakat yang minim edukasi politik dan kesadaran pelaku politik, sehingga membuat mekanisme pasar dalam proses demokrasi lokal semakin ramai.
Antara Rakyat dan Politisi, Siapa yang Menyesatkan?
Pada posisi ini entah siapa yang pintar dan bodoh, rugi ataupun untung, kedua elemen ini sudah berbaur dalam suatu perilaku politik uang yang sangat kental. Seperti larutan kopi dan susu dalam satu gelas, sehingga susah di diteksi siapa yang paling salah dan menyesatkan. Di tengah hiruk-pikuk politik, sebuah fenomena menarik muncul di lingkungan kita. Beberapa oknum, menganggap diri mereka “Hebat dan Bangga” dalam permainan politik seperti ini.
Sementara sebagian kelompok dalam lapisan masyarakat seperti pemulung rupiah musiman, dengan lihai mengumpulkan “amplop keramat” dari berbagai calon politisi yang berlalu-lalang dan mendistribusikan kepada sesama dengan alasan cukup beragam. Sambil mengedipkan mata penuh arti, mereka berbisik, “Ambe Saja, Me Jang Pilih” ada menggunakan istilah dalam “Haja” yang dalam Bahasa Daerah Kabupaten Kepulauan Sula disebut “hambur” atau bagi-bagi uang secara terang-terangan. Sehingga muncul stigma, siapa yang tidak punya uang tidak layak di pilih atau tidak perlu mencalonkan diri.
Sementara itu, di sisi lain para politisi mengamati fenomena ini dengan perhitungan dingin dan Seolah membenarkannya. Mereka melihat ‘celah’ yang begitu menggiurkan – sebuah kesempatan emas untuk memanfaatkan kebutuhan mendesak ditengah kondisi ekonomi masyarakat yang terus merosot. Dengan penuh percaya diri, mereka menyatakan jumlah tabungan mereka dengan nilai Miliaran untuk siap di edarkan. Di benak mereka, mungkin terlintas pemikiran, “Dengan jumlah uang yang banyak, dalat membeli suara atau pilihan masyarakat dengan tarif tertentu.” Namun, di tengah tarian rumit antara pemilih yang merasa cerdik dan politisi yang penuh perhitungan ini, muncul sebuah pertanyaan yang mengganggu: Siapa sebenarnya yang memegang kendali dalam skenario ini? Apakah masyarakat yang dengan bangga mengumpulkan ‘Pundi-Pundi Rupiah’ dari berbagai kubu? Ataukah justru para politisi yang dengan sabar menciptakan politik ketergantungan dan loyalitas jangka panjang.
Pada posisi seperti itulah terlihat jelas bahwa dalam pelaksanaan demokrasi lokal yang penuh dengan intrik buruk seperti berputar-putar pada labirin etika dan pragmatisme. Di satu sisi, kita mengutuk praktik politik uang. Namun di sisi lain, kita menyaksikan beberapa orang yang mampu membayar tagihan listrik, belanja makanan dan pakaian baru berkat ‘bonus’ musim pemilu. Seharusnya pendapatan itu diperoleh sebagai dampak dari kebijakan pemerintah daerah yang pro terhadap peningkatan ekonomi masyarakat, bukan justeru perputaran ekonomi terlibat lancar ketika menjelang Pilkada. Disinilah masyarakat diharapkan untuk menginginkan perubahan, tanpa tergoda oleh iming-iming keuntungan jangka pendek.
Transaksi Pasar Bertopeng Demokrasi
Ditengah kemelut penuh kebimbangan tiada akhir ini, muncul fenomena bahwa arena politik kita telah berubah menjadi pasar dagangan, di mana nilai-nilai demokrasi diperdagangkan dengan harga yang belum Variatif. Mungkin sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Pada permainan ini, apakah diterima sebagai suatu kehendak sosial, atau sampah demokrasi yang perlu di bersihkan?
Ideal dari pelaksanaan demokrasi bahwa setiap warga negara memiliki suara yang setara dan berharga bukan untuk diperdagangkan. Namun, dalam sistem yang kini berkembang, suara rakyat telah menjadi komoditas atau bahan dagangan yang bisa ditawar dan diperjualbelikan. Perbedaannya sangat mendasar dan mengkhawatirkan: sementara demokrasi menghargai pendapat dan partisipasi, sistem transaksional ini hanya peduli dengan jumlah rupiah yang bisa dikeluarkan, dan apa keuntungan yang akan diperoleh. Imbasnya adalah pemimpin yang lahir dari proses seperti ini akan menjadikan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebagai pengganti kerugian atau pengeluarannya selamat pencalonan pada momentum PILKADA.
Sedangkan sudah ada regulasi yang melarang adanya Politik uang, karena politik uang termasuk tindak pidana. Dalam undang-undang pemilu no. 3 tahun 1999 dinyatakan bahwa : “ barang siapa pada waktu diselengarakannya pemilihan umum. Menurut undang-undang ini jika memberikan uang untuk menyuap seseorang. Baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya orang itu tidak menjalankan haknya dengan cara tertentu. Di pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun pidana dan pidana itu juga disangsikan kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian uang atau janji untuk memberikan sesuatu.
Dalam peraturan tersebut diatas telah jelas diatur bahwa pemberian uang atau politik uang merupakan tindak pidana. Aturan main yang mengatur untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah untuk tetap bermain fair dan bersih dari praktek jual-beli suara sudah jelas dan terang. Namun begitu praktek dilapangan penulis melihat terjadi pergeseran dikarenakan lemahnya kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum. Selebihnya Hljanya sebatas penegakan hukum bagi pelaku tangkap tangan yang melakukan politik uang, yang mana pelaku ini juga merupakan disuruh oleh tim sukses atau kandidat.
Suatu catatan penting bahwa demokrasi sejati harus dibangun di atas fondasi partisipasi aktif, kebebasan berpendapat, dan transparansi. Sementara itu, sistem transaksional hanya menghasilkan ketergantungan, pembungkaman, dan kejahatan politik. Esensi dari pelaksanaan demokrasi yakni kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun dalam sistem transaksional, kekuatan hanya milik mereka yang memiliki modal terbesar. Sedangkan hasil demokrasi akan muncul diktator yang merasa telah membeli suara rakyat sehingga bertindak sesuka hati tanpa ada beban sama sekali.
Perlu di tegaskan lagi bahwa, suara rakyat jauh lebih berharga dari besaran nilai uang yang ditawarkan. Esensi demokrasi yang sebenarnya adalah memilih berdasarkan visi dan integritas, bukan jumlah rupiah. Pada akhirnya, kualitas demokrasi kita ditentukan oleh integritas atau harga diri masyarakat.
Apa Solusinya?
Untuk mencegah terjadinya politik uang atau money politics? Menurut penulis.
Pertama, pendekatan kultural dan norma masyarakat. Budaya dan norma yang berlaku ditenggah masyarakat kabupaten Kepulauan Sula tentu menjadi hal yang dapat menjadi filter utama dalam penangulangan perilaku aktor politik dan pemilih. Faktor norma masyarakat kepulauan Sula sejak dulu tidak membenarkan adanya penyuapan yang terjadi untuk memuluskan suatu kepentingan pribadi atau kelompok dalam hal meraih kemenangan kandidat didalam PILKADA. Sederhananya Orang Sula itu punya harga diri.
Kedua, penegakan hukum terhadap tindak pidana politik uang harus ditegakan dan tegas menindak pelaku, baik itu kandidat maupun tim suksesnya yang memberikan uang atau barang untuk membeli suara pemilih maupun juga masyarakat/pemilih yang menerima suapan uang atau barang. Penegakan hukum yang tegas akan memberikan dampak jera kepada pelaku politik uang.
Ketiga, penyelengara (KPU dan Bawaslu) lebih banyak lagi memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya politik uang. Agar masyarakat/pemilih bisa mendapatkan pendidikan politik. Agar kedepannya politik uang tidak lagi terjadi dan PILKADA bersih itu dapat tercapai.
Keempat, kepada partai politik dan politisi yang punya tanggung jawab dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat juga ikut melakukan sosialisasi. Karena dampak dari cerdasnya masyarakat dalam politik adalah penentuan pilihan politiknya semakin berkualitas.
Kelima, tugas dari orang terpelajar, terdidik untuk juga ikut berpartisipasi dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat. Karena itu adalah bagian dari fungsi dan tanggung jawab atas pengetahuan yang dimilikinya.
Keenam, untuk memperoleh PILKADA yang bersih, demokrasi yang sehat tanpa politik uang atau money politics perlu kesadaran bersama seluruh lapisan masyarakat untuk sama-sama memberantas terjadinya politik uang disetiap tahapan pemilihan, baik itu pemilihan Bupati atau Gubernur. Karena perlu disadari bersama bahwa politik uang itu sangat berbahaya untuk proses berjalannya demokrasi yang bersih, dan akan selalu menimbulkan korupsi, walaupun tidak semua motif korupsi itu adalah politik uang, tetapi penyumbang utama dalam terjadinya korupsi dinegara ini adalah berawalnya dari money politic atau politik uang.
Penulis: Sahrul Takim, S.Pd.I., M.Pd.I (Ketua STAI Babussalam Sula).